Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Masih Belum Terlambat untuk Memindahkan Ibu Kota

Diperbarui: 6 Juli 2017   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: THINKSTOCKS/AlfinTofler

Saya termasuk yang setuju pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke kota lain, walau tidak akan semudah membalik telapak tangan.  Selama puluhan tahun Jakarta menjadi ibukota sekaligus sebagai pusat bisnis dan jumlah uang yang terbanyak  beredar mendatangkan berbagai masalah.

Konsentrasi di Jakarta menjadi arus mudik terbesar bukan main repotnya setiap lebaran, beban urbanisasi yang terus menerus meningkat, membuat Jakarta terlalu padat, menimbulkan efek berantai, seperti kemacetan, sampah, banjir dan lain sebagainya.

Dengan ibu kota yang dipindahkan akan membuat beban itu menjadi terbagi.  Setidaknya dengan pindahnya  kantor-kantor pemerintahan, kedutaan besar asing, dengan membawa kesibukannya masing-masing, juga uang yang beredar membuat beban itu terbagi- tetapi juga seharusnya dibuat pusat bisnis baru untuk memecah konsentrasi untuk tidak hanya di Jawa.

Hanya saja solusi seperti ini sudah terlambat. Harusnya sejak puluhan tahun yang lalu dilakukan.  Sebetulnya kalau dilakukan pada 1950-an, mungkin tidak akan separah ini Jakarta.  Pertanyaan pertama pada 1950-an kota mana yang pantas jadi ibu kota. Sebetulnya ada dua kota yang disebutkan dalam referensi sejarah.

Bandung

Pada masa Hindia Belanda dan sebetulnya juga pada 1957 Bandung pernah menjadi wacana ibu kota. Pada saat itu secara planologis-para ahli Belanda pasti sudah punya hitungan matang-saat terbaik Bandung menjadi ibu kota RI. 

  1. Jika Ibu kota Bandung, Jakarta menjadi pusat perdagangan dan bisnis, jarak kedua kota tidak terlalu jauh.  Masih rasional. Bukankah Washington DC dan New York, atau Sidney-Melbourne jaraknya setidaknya sebangun dari akses transportasi.  Tetapi kalau Bandung dipilih itu harusnya dilakukan sejak 1950-an akhir atau awal 1960-an,  ketika kota Bandung masih nyaman dan masih ada tanah untuk kantor pemerintahan.  Masih banyak bangunan peninggalan Belanda yang bisa digunakan.
  2.  Bandung memenuhi syarat menyediakan tenaga untuk direkrut menjadi pegawai pemerintahan.  Selain Fakultas Teknik dan MIPA UI yang kemudian jadi ITB pada 1959,  Universitas Padjadjaran baru saja berdiri pada 1957 bersama Universitas Parahyangan, diikuti Universitas Pasundan, Universitas Islam Bandung, IKIP Bandung, Sekolah Tinggi Pariwisata, STT Telkom sudah ada dan masih ada Universitas NU, Sariwegading dan sebagainya.   
  3. Untuk gaya hidup Bandung punya bioskop yang lebih baik dari Jakarta, pusat kebudayaannya hidup, restoran, hotel punya.
  4. Bandung berhasil menyelenggarakan KAA dan Bandung adalah pusat Asia dan Afrika.

Bandung yang paling memenuhi syarat untuk jadi ibu kota masa itu. Hanya saja waktu itu faktor politik dan keamanan seperti masih ada gangguan Darul Islam di selatan. Namun apakah hanya itu? Saya kira ada faktor lain yang politis yang masih saya teliti.

Yogyakarta

Pilihan lain sebetulnya adalah Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota masa Perang Kemerdekaan. Hanya saja jaraknya dengan Jakarta (kalau jadi pusat perdagangan dan bisnis) cukup jauh. Sekalipun untuk menjadi kota menarik setidaknya masih ada tanah untuk tempat pemerintahan, kotanya belum padat penduduknya.  Hanya saja di sana ada "Kesultanan Yogyakarta"  membuat problem lain kalau jadi ibu kota permanen. 

Tetapi kalau seandainya Yogyakarta dipilih sejak 1950-an akan dua budaya yang berkembang, budaya ibu kota yang bersahaja dan lengket dengan budaya tepa seliranya, serta kota Jakarta yang jadi kota perdagangan yang metropolis.   

Palangkaraya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline