Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Saran Saya, Ridwan Kamil Sebaiknya (Memilih untuk) Melanjutkan Karya di Bandung

Diperbarui: 9 April 2017   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ridwa Kamil (Kredit Foto: Infobandung)

Pilkada Jawa Barat tidak sepanas PIlkada DKI Jakarta.  Berapa calon yang disebut dalam media dan survei cenderung lurus dan tidak mengundang resistensi  yang besar. Netty Heriawan, isteri Ahmad Heriawan, Gubernur Jawa Barat saat ini   sekalipun dicibir sebagai bagian dari fenomena dinasti, tetapi penolakan hanya dari kalangan kritis dan bukan dari grass root.  Calon lain ialah Wakil Gubernur Deddy Mizwar hanya ditolak oleh orang-orang yang tidak suka pada PKS dan saya tidak yakin apakah di grass root demikian.  Secara integritas di mata saya tidak ada masalah sebetulnya dengan Deddy Mizwar.

Calon kuat lain datang dari Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang berapa waktu lalu dideklarasikan oleh Partai Nasdem dan Bupati Purwakarta Deddy Mulyana yang kemungkinan diusung oleh Partai Golkar.   Ada juga nama Dede Yusuf yang kemungkinan diajukan oleh Partai Demokrat.  Secara integritas ketiganya tidak punya masalah. 

Hanya saja bagi Ridwan Kamil hanya karena dia didukung oleh partai yang dianggap pendukung penista agama bakal menjadi tanda tanya, khususnya untuk Partai Gerindra dan PKS, pengusungnya dulu pada Pilwakot Bandung 2013.

Dari kalangan pendukung Ridwan Kamil sewaktu mencalonkan diri menjadi Wali Kota Bandung  tidak bulat. Sebagian masih lebih suka Ridwan Kamil lebih baik memilih opsi mencalonkan kembali menjadi Wali Kota Bandung untuk periode 2018-2023.   Hingga saat ini saya, warga Jawa Barat, termasuk di antara yang lebih suka Kang Emil meneruskan jabatannya.

Revitaliasi Taman dan Trotoar Memang Membuat Warga Happy

Bagi para pendukungnya Kota Bandung sudah banyak berubah. Sejumlah taman di kota Bandung menjadi hidup.  Mulai dari alun-alun, Taman Musik, Taman di Ujungberung, Taman Vanda, Taman Pers, Taman Pramuka dan masih ada sejumlah taman.  Jalur bagi pedestrian atau trotoar juga diperbaiki. Saya kalau ke Bandung gemar berjalan kaki bisa duduk di bangku sepanjang Jalan Braga dan Asia Afrika.  Sejumlah trotoar akan diperbaiki.

Walaupun bagi yang kritis apa yang dilakukan Kang Emil masih berupa kosmetik, tetapi setidaknya menurut saya warga Bandung yang ingin cari hiburan atau meredakan stress dan tidak punya uang banyak, masih ada saluran gratis. Sejumlah taman dan trotoar akan terus dibenahi, sekalipun masih di sekitar pusat kota atau yang dilalui wisatawan. Jadi masih perlu lima tahun untuk keseluruhan Bandung.  

Revitalisasi Taman Tegallega, misalnya  diharapakan  baru tuntas dalam empat tahun. Taman yang luasnya 16 hektar ini akan dilengkapi perpustakaan dan ruang pameran di ruang bawah tanah.   Pedagang Kaki Lima diakomodasi tetapi hanya untuk jenis kuliner di sisi Barat waktunya bergantian dengan parkir.  Sebanyak 30-40 persen dari taman dibangun, namun tetap ada resapan air. Revitalisasi  taman ini perkirakan menelan biaya Rp88 miliar (Pikiran Rakyat, 9 Februari 2017).

Persoalan yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau ini ialah peruntukkan lahan Eks Palaguna. Menurut pemerhati  kebudayaan dari Bandung Herry Dim  kawasan itu erat kaitannya dengan legenda Sumur Bandung  dan Adipati Wiranata Kusumah II ketika menancapkan tongkatnya pada 25 Mei 1811 sebagai permulaan alun-alun Bandung  dan keberadaan Kota Bandung. Kawasan itu adalah kawasan budaya yang harus dilindungi.

Bagi saya kawasan eks Palaguna adalah salah satu bagian dari  romantis historis. Waktu kecil, pada 1970-an kerap diajak main ke Elita Teater oleh Bibi saya (Kakak dari Ibu) ketika berlibur ke Bandung atau oleh ayah saya ketika diajak menonton film.  Begitu juga ketika Nusantara Teater dibangun dan akhirnya jadi Palaguna pada 1980-an hingga 1990-an menjadi tempat hang out kami sekeluarga ketika berada di Bandung. 

Saya lebih suka kalau pun menjadi areal komersial bangunan di lahan eks Palaguna mempertahankan karakter umum kawasan kota lama, yaitu bangunan berderet dengan lantai rendah  satu hingga tiga lantai.   Aji Binarsono dari Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung malah menyebutkan bangunannya hanya 1 hingga 2 lantai.   Dia mengecam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ditetapkan Desember 2015 yang memberikan legitimasi pemanfaatan lahan untuk bangunan dengan banyak lantai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline