Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Wajah Media Sosial yang Sudah Serupa "Two Face"

Diperbarui: 6 April 2017   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada 2009 ketika diajak beberapa kawan untuk membuat akun di Facebook, saya berulang kali menampik. Sebagai seorang yang cenderung melankolis, lebih menyukai menulis diary kalau ingin curhat terhadap hal yang pribadi  atau memberikan tanggapan terhadap suatu kejadian yang dianggap penting – sebagai seorang yang kesadaran sejarahnya kuat-membuka diri kepada orang lain, sekalipun dekat hal  yang dihindari.  Apalagi memamerkan foto-foto pribadi  bagi saya waktu itu masih merupakan hal yang tabu.

“Teman-teman (sekampus) sudah pada punya akun Facebook, Van?” bujuk Wiwik, salah seorang adik kelas saya di Fakultas Sastra UI.   Katanya facebook bisa membuat saya bertemu dengan kawan-kawan yang berjauhan, bahkan di luar negeri.  Teman sekantor saya di sebuah tabloid telekomunikasi juga tak henti membujuk. “Masa anak Telko nggak punya akun media sosial?”

Saya luluh.  Saya kemudian membuat akun Facebook.  Dengan cepat pertemanan saya bertambah mula-mula kurang dari 100 kemudian di atas 500  dan kini di atas 1000.  Awalnya saya share hal-hal yang bersifat silaturahim atau sedang butuh teman mengobrol waktu lewat tengah malam.  Jumlah foto hanya belasan.  Saya sangat hati-hati memberikan komentar di wall orang lain. Memberikan pernyataan bersifat politik saja pantang bagi saya.  Apalagi mencaci.

Kawan-kawan saya bukan hanya teman sekampus atau satu satu SMA atau rekan kerja, tetapi juga narasumber.  Rentang usianya juga beragam mulai dari ABG hingga paruh baya. Saya mulai berani share foto-foto perjalanan atau kegiatan yang saya anggap penting.  Tiga tahun pertama facebook menyenangkan.  Apalagi ada perangkat Blackberry bisa diakses kapan saja. Berita suka cita, berita duka cita, undangan bisa melalui media sosial.

Namun kemudian facebook diganggu oleh hacker.  Suatu hal yang tidak terpikirkan oleh saya. Saya sendiri juga pernah kena bajak. Untuk apa membajak akun orang? Untuk apa pula bersembunyi dengan identitas palsu atau pakai orang lain? Belakangan saya tahu itu ada yang  bermotivasi ke arah kriminal, walau sebagian lebih karena iseng, pamer kehebatannya di IT. Mungkin juga ada motivasi tidak suka atas apa yang dishare.  

Tetapi apa pun alasannya artinya sama saja merampas lahan tanah orang. Kalau tidak suka mengapa tidak kritik terbuka? Bukankah media sosial untuk silaturahmi dan saling berdialog?

Menimbulkan iri hati atau tidak suka atas apa yang dishare (baik foto maupun cerita) seseorang juga menjadi hal lain yang tidak menyenangkan dari media sosial. Misalnya, Saya pernah menengok perdebatan di wall kawan perempuan saya karena mencibir soal dada six pack cowoknya.  Kawan itu tentu aja bereaksi dan dengan sinis memberikan tips punya dada six pack.

Belum lagi soal bully yang tidak patut dilakukan.  Misalnya untuk apa membully pacar seorang pelaku tabrak lari? Apa salahnya dia?  Lalu tidak suka pada seorang politisi, gaya anak perempuannya dijadikan ejekan.

Ketika Media Sosial Dijadikan Ajang Kampanye Politik

Sejak tiga tahun media sosial menjadi semakin tidak menyenangkan gara-gara Obama menggunakannya untuk kampanye Pilpres.  Orang Indonesia menjadikan contoh untuk pilpres 2014. Celaka benar karena pilihan hanya dua.  Silaturahim menjadi retak hanya karena suka atau tidak suka, bahkan ada yang mengunfriend. Loh, kalau tidak suka mengapa dulu mengiyakan atau meminta pertemanan?  Mengapa tidak ditolak dari awal?

Mutiple effect-nya bukan saja soal pertemanan, tetapi sistem sosial terguncang. Media mainstream rontok, karena anak muda lebih suka mendapatkan berita dari media sosial entah Facebook, Twitter atau apa.  Sekalipun berita itu hoax atau berita lama yang dipublikasi kembali. Celaka benar, berita SARA juga menyebar lewat media sosial dengan identitas akun palsu lebih dipercaya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline