Orang Inggris di Pedalaman Jambi Awal Abad ke 19
Beberapa bulan lalu saya membongkar gudang milik almarhum ayah saya yang punya hobi serupa dengan saya mengoleksi buku dan arsip, sekalipun belum tentu semua dibaca. Sekalipun latar belakang disiplin ilmu ayah saya adalah biologi, tetapi dia juga suka mengoleksi buku sejarah. Di antara buku yang saya temukan, ada sebuah buku karya William Marsden berjudul Sejarah Sumatera. Buku ini aslinya berjudul History of Sumatera, ditulis oleh Marsden pada 1780-an hingga 1800-an (ditilik dari setting cerita yang ditulis), karena dia sendiri adalah seorang pegawai EIC (East India Company) yang bertugas di Bengkulu. Buku ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008.
Kelahiran County Wicklow, 16 November 1754 tiba di Bengkulu pada 1771 dalam usia masih remaja. Dia menjabat sekretaris umum dan membuatnya mendapatkan akses mempelajari Bahasa Melayu yang merupakan modal utamanya. Marsden menulis beberapa buku berkaitan dengan dunia Melayu, selain History of Sumatera, ia menulis Grammar and Dictionary of the Malay Language pada 1812 dan menerjemahkan karya Marco Polo dan 'La-uddı̄n Nakhoda Muda.
Ada beberapa bab yang menurut saya menarik dalam Sejarah Sumatera karena membuat informasi dari kesaksian dari sumber pertama tentang situasi masyarakat Sumatera abad ke-18. Di antaranya Bab 17 dengan tajuk “Perbedaan Penduduk”, memberikan deskripsi yang menarik tentang penduduk di Kerinci, Muko-muko, Sungai Tenang, Ipu dan Serampei (Serampas?) yang mengacu pada wilayah Jambi sekarang. Karena penuturnya adalah orang Inggris yang mengadakan ekspedisi ke wilayah itu, maka fakta yang diungkapkan mempunyai nilai akurasi tinggi dan otentik.
Penjelajah pertama bernama seorang ahli tumbuh-tumbuhan dan ahli bedah dari Skotlandia, Charles Campbell meneliti kawasan Kerinci pada 1800. Marsden mendapatkan informasi dari penjelajah ini melalui koresponden ketika dia sudah kembali ke London. Campbell melukiskan penduduk Kerinci bertubuh lebih pendek dibandingkan dengan orang-orang Melayu. Para laki-lakinya bertubuh kekar, kalau bergerak gesit dan cekatan. Kaum laki-laki disebutkan mencurigai kaum pendatang, tetapi kaum perempuannya menunjukkan sikap ramah dan sopan. Campbell tiba di desa yang disebutnya sebagai In-Juan di tepi Danau Kerinci.
“Mereka menghibur kami dengan dansa-dansa dan menampilkan semacam pantone (pantomime?). Saya dapat menambahkan bahwa penghuni daerah pegunungan ini memiliki roh-roh yang lebih kuat daripada di dataran bawah. Mereka bernafas dengan semangat kebebasan. Karena seringnya perang antar desa, maka mereka selalu siap menghadapi serangan. Mereka sangat tersinggung dengan paket besar bawaan kami yang berisi barang-barang kami dan hanya bisa diangkut oleh enam orang. Mereka menekankan bahwa di paket tersebut kami menyembunyikan periuk apu, cara mereka menyebut mortar atau howitzer (senjata api kecil). Periuk apu pernah digunakan untuk menyerang sebuah desa yang memberontak dan dipimpin seorang anak Sultan Muko-muko yang berkhianat…”(halaman 280)
Penuturan Campbell yang dikutip Marsden ini menjelaskan bahwa pedalaman Jambi sudah dijelajahi orang Eropa sejak abad ke 18 terbukti dengan kenalnya penduduk Kerinci terhadap senjata api yang dijual kepada penduduk yang saling berperang. Senjata yang digunakan begitu menakutkan dan mematikan, sehingga wajarlah kalau penduduk sekalipun bersikap ramah mencurigai kedatangan orang Eropa.
Penduduk desa itu menurut cerita Campbell mempunyai alat musik yang terbuat dari pohon palem iju. Bentuknya seperti harpa. Orang Kerinci mempunyai kekayaan kuliner dan ahli memasak. Mereka mengolah daging rusa yang mereka ikat dengan tali rotan, bebek liar dari sungai, merpati hijau dan berapa jenis ikan. Orang Kerinci juga mengenal kentang. Mereka juga makan sayur-sayuran dan umbi-umbian.
Campbell juga singgah di Muko-muko, sebuah kampung kecil dan terletak lebih ke hulu Sungai Si Luggan di mana berkuasa seorang Sultan. Penduduk Muko-muko membeli garam, bahan pakaian, besi, baju dan candu dari orang gunung. Mereka menjual hasil pertanian, kayu, serta sedikit emas halus. Ikan-ikan dijual dengan sangat murah. Muko-muko pernah memiliki dagang dengan Singapura. Perjalanan dari Muko-muko hingga kaki gunung diceritakan memakan waktu tiga hari.
Tempat lain yang menjadi kunjungan Campbell adalah Sungai Tenang. Penduduknya diceritakan lebih padat, sebagian besar penganut Islam dan tunduk pada Sultan Jambi. Warga Sungai Tenang mengenal budi daya kapas dan tembakau. Penduduk memang memakai pakaian dari katun sama halnya dengan penduduk pantai Barat Sumatera. Para laki-laki ketika dilihat Campbell memakai baju berlengan berwarna biru di lengan dan putih di badannya dengan garis berwarna merah atau warna lain di sekitar punggung.
Ekspedisi Militer Inggris di Tanah Jambi
William Marsden juga membuat jurnal dari seorang perwira tentara Inggris Letnan Hasting Dare yang memimpin sebuah ekspedisi militer dari Benteng Marlborough di Bengkulu ke Ipu, Serampei, dan Sungai Tenang yang berbatasan dengan Kerinci. Pada 1804 Sultan Asing, saudara dari Sultan Muko-muko bersama dua Ketua Bukit Pa Muncha dan Sultan Sidhi, tinggal di Pekalang-Jambu dan Jambi melakukan penyerangan terhadap Ipu yang waktu itu dikuasai Inggris. Pasukan bersenjata Sultan Asing ini membakar berapa desa dan menculik beberapa penduduk. Para penjaga Melayu di sana dikalahkan pasukan itu.
Pada 22 November 1804 Letnan Hasting Dare dengan kekuatan 83 serdadu Sepoy (tentara Inggris asli India) dan perwira, dengan 5 laskar, 22 tahanan Bengal dan 8 prajurit Bugis bertolak dari benteng. Namun karena medan berat baru tiba di Ipu pada 3 Desember dan pasukan Sultan Asing sudah mengundurkan diri ke Sungai Tenang dan membuat benteng di Kuto Tunggoh, sebuah dusun tempat para petualang kerap ditampung (perompak?).