Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Cerita Saya tentang Pedagang Kaki Lima di Cinere

Diperbarui: 13 Agustus 2016   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satpol PP Kota Depok dan Pedagang Kaki Lima di Blok A Cinere (kredit foto Wartakota.Tribunnews.com)

Herman  hanya bisa bersandar  dengan wajah  lesu di dinding sebuah apotik di kawasan Ruko Kompleks Blok A Cinere, Depok.   Penjual Koran dan majalah itu harus merelakan   dua lapaknya  di dekat trotoar tak jauh dari bangunan apotik itu digusur satpol PP Kota Depok dibantu aparat kepolisian.  Siang itu,  Kamis 11 Agustus 2016 dia dan rekannya yang menjadi juru parkir di kompleks itu,

 bersama belasan pedagang makanan dan pemilik kios rokok  tidak diperkenankan lagi berdagang di lahan parkir kompleks ruko itu.  Herman menyambut pelukan simpati saya, karena sejak  lima tahun terakhir ini saya menjadi pelanggannya untuk membeli  aneka surat kabar seperti Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakjat hingga Republika.  Almarhum ayah saya sebelum meninggal kerap membeli majalah Tempo dan National Geographic Indonesia  dari lapak ini.

Saya sebagai warga tidak mendapat penjelasan yang cukup.   Sebagian warga termasuk saya merasa pedagang-pedagang sudah menjadi bagian  sejarah tinggal di Cinere selama 33 tahun. Misalnya saja,  Doel, tukang sate ayam Madura dikenal  keluarga saya ketika masih berdagang dengan gerobak keliling.  Rambutnya kini sudah memutih dan ketika saya temui dia masih belum tahu apa yang harus dilakukannya.  Setiap  menjelang lebaran Doel dan setidaknya dua pemuda yang membantunya kerap menerima pesanan lontong dari warga.  Doel selalu mengantarkannya tepat waktu.     

Memang soal legalitas masih perdebatan.  Tidak terlalu jelas halaman ruko di kompleks itu wewenang warga kompleks, pemilik ruko atau Pemkot Depok.  Daerah Cinere bukan daerah protokol Kota Depok.   Banyak warga yang membeli makanan para pedagang kaki lima ini mulai dari pagi hingga malam hari. Pemkot Depok mungkin mengira semua warga kompleks adalah orang-orang kaya.  Padahal  ada pensiunan, janda, serta mereka yang tidak lagi mempunyai penghasilan tinggi, tetapi dahulu mampu mempunyai rumah.  Sekalipun bukan rumah besar.  

Saya tahu ada pedagang nasi uduk yang tinggal di belakang masjid, seorang janda, suaminya pengurus masjid di kompleks, meneruskan usaha sampingan suaminya untuk mencari nafkah.  Dia masih membantu mengantarkan surat-surat undangan pengajian.  Seorang rekan saya  mantan aktifis masjid bahkan menitipkan jualan camilan  sebagai penghasilan sampingannya sebagai copy writer periklanan yang kadang ada proyek, kadang tidak.   Lapak nasi uduknya kerap menjadi tongkrongan sebuah komunitas sepeda, orang-orangtua  tiap akhir pekan, serta karyawan di hari kerja. 

Di depannya  ada Warung Bakmi Bang Karim almarhum yang saya sudah saya kenal sekitar  sejak  dua puluh tahun lalu  berjualan di tempat yang sama.  Almarhum seorang pekerja keras, pantang untuk mengemis,  Anak-anaknya sudah pada kuliah.  Suatu hari pada 1999  saya mengobrol dengan Bang Karim soal politik.  Dia gusar ketika sejumlah elite politik menolak Megawati menjadi presiden karena dia perempuan.

  Dia kemudian menggugat seharus politisi partai Islam memberdayakan para pengemis dan saya setuju.   Datang seorang pengemis kepada kami dan saya memberi satu keping Rp100, karena tidak ada uang kecil lain.  Pengemis itu merengut. Bang karim gusar dan membela saya: “Harusnya kamu terima kasih! Tidak mau kerja maunya minta uang!”  Filosofi pedagang kaki lima ini tidak ada pekerjaan yang hina asalkan halal  dan hidup dari keringat sendiri.  Kini usaha almarhum diteruskan isteri dan anak-anaknya serta pegawainya bernama Rino yang sudah ikut  mereka sejak masih kecil.

Apakah orang-orang ini yang minggir demi kepentingan orang berduit yang sebetulnya belum tentu dirugikan?  Relokasi ke Pasar Segar  tak jauh dari situ  secara ekonomis tidak menguntungkan.  Siapa yang mau beli? Pelanggannya banyak dari kompleks-kompleks  sekitar mal atau pegawai ruko.  Masa kami harus naik angkot atau jalan kaki?  Dengan uang Rp10 hingga Rp15 ribu saya bisa sepiring nasi uduk dengan telur, lima tusuk sate ayam dengan nasi,  setengah porsi sate Padang,  semangkok bakmi ayam Bangka dengan bakso, sepiring nasi soto ayam, sepiring bubur ayam.  

Masa saya  dipaksa makan di  basement mal yang kualitasnya tak jauh beda dari pedagang kaki lima, tetapi jauh lebih mahal? Memang nya gaji saya besar?  Sekali-sekali boleh. Tetapi setiap hari ogah!  Ibu sudah tua dan tidak bisa memasak setiap hari.    Memangnya gaji pegawai   yang berkantor di ruko-ruko  bisa dinaikan  agar bisa makan siang di mal atau di KFC setiap hari?  Padahal makin sulit mencari pekerjaan dengan gaji yang layak pada masa ini.

Kalau memang tidak pedagang kaki lima tidak boleh berdagang di pelataran parkir, ya mengapa tidak dari dahulu ditegakkan aturannya.  Harusnya sejak ruko-ruko mulai eksis dan bukannya ketika mereka sudah rutin membayar iuran.  Bukankah sudah ada warung makan padang yang sudah permanen  harus dibongkar.    Saya mendengar cerita seorang pedagang rokok yang tergusur kebingungan bagaimana   menghidupi empat anaknya.  

Saya kecewa dengan pemenang Pilwakot Depok yang katanya  dari PKS dan Gerindra dua partai yang harusnya membela para pedagang kaki  lima itu.  Ada anak masjid  Wahai politisi PKS Depok  yang menjadi korban.  Mana juga suara PDI Perjuangan yang membela wong cilik?  Salah satu yang digusur itu pengikut setia Megawati  tanpa pamrih.  Ingat tanpa pamrih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline