Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Pop Art 1950-an: Tiga Dara

Diperbarui: 12 Agustus 2016   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adegan dalam Tiga Dara (kredit foto www.muvila.com)

Saya bersyukur sempat menyaksikan hasil restorasi salah satu film yang paling monumental dalam sejarah perfilman Indonesia: Tiga Dara, karya Usmar Ismail. Menontonnya juga di Blok M Square pada hari pertama di mana di sekitarnya menjadi lokasi syuting film itu.

Opening scene dengan perayaan ulang tahun Nunung (Chitra Dewi) yang ke 29 di rumahnya dan dihadiri oleh kedua adiknya Nana (Mieke widjaja) dan Nenny (Indriaty Iskak), neneknya (Fifi Young), Sukandar, ayah ketiga dara itu (Hasan Sanusi). Busana yang dikenakan Nunung kebaya, sementara kedua adiknya sudah menggunakan gaun mode masa itu. Hadir juga Herman (Bambang Irawan) pacarnya Nana, seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Soundtrack film bertajuk sama “Tiga Dara” dinyanyikan oleh ketiga perempuan itu.

Harus diakui Usmar Ismail brilian menghadirkan adegan pembuka ini, kalau disimak memperkenalkan masalah: usia Nunung mendekati kepala tiga dan belum menikah. Hingga era 1950-an perempuan tidak menikah menjelang usia 30 tahun membuat cemas para orangtua. Pada era masa kini –sebetulnya sejak 1980-an-jangankan usia 30 tahun, usia 40 tahun saja hal yang tidak menakutkan terutama bagi perempuan berkarir. Dari perbedaan busana sudah terbaca. Nunung: terkesan kuno, kurang bergaul, kaku, suka memasak, rapi dalam mengurus perbedaan rumah tangga.

Cerita terus bergulir. Sang Nenek tampil menjadi tokoh cerewet, ia berkeinginan sebelum ia meninggal, setidaknya ia menyaksikan Nunung menikah, kalau perlu ia sudah menimang cicit. Segala usaha dilakukan Sang Nenek, seperti membujuk ayahnya mendatangkan teman-teman sekantornya. Tetapi apa yang terjadi? Yang datang adalah serombongan lekaki setengah baya yang terpesona menyaksikan keterampilan Nunung bernyanyi sambil bermain piano. Sang Nenek mencak-mencak: kok yang dibawa kakek-kakek?

Lalu ia meminta Nana mendatangkan teman-teman prianya yang bergaya seperti “cowboy” dengan pesta dansa rock n roll. Pada masa itu karena pengaruh film Hollywood seperti A Revel with A Cause dan aneka film musikal dansa menjadi gaya hidup anak muda, begitu juga bergaya cowboy. Pria berdandan mirip Elvis Presley hingga James Dean adalah tren. Begitu juga perempuannya model rambutnya mirip Rita Hayword. Tetapi di mata Sang Nenek dansa rock n roll dianggap gila-gilaan.

Tetapi akhirnya justru Sang Nenek kemudian meminta Nana untuk mengajak Nunung bergaul dengan ikut kegiatan anak muda, mulai dari kegiatan Tari Serampang Dua Belas bergaya Melayu, pesta dansa dan piknik. Komentar dua pemuda melihat Nunung di sebuah pesta menarik : Siapa sih tante itu? Dialog yang mengundang senyum. Konflik utama dalam film ini justru terjadi ketika Nunung tertabrak sebuah skuter secara tak sengaja di kawasan Blok M,Kebayoran, Jakarta oleh seorang anak muda bernama Sutoto (Rendra Karno).

Dia datang ke rumah Nunung membawa bunga, tetapi malah disambut oleh Nana. Sang Adik justru lebih agresif, Herman pacarnya diputuskannya dan justru dekat dengan Nenny. Konflik cerita baru dihadirkan seperti lagu pembukanya: ketika ketiga dara itu sama-sama terpikat asmara: rivalitas antara kakak beradik mulai terjadi. Sang Nenek dan Ayahnya tersentak ketika Nana dengan santai berbicara: dia siap menikah dengan Toto. Itu artinya melangkahi kakaknya, yang pantang masa itu dan juga sekaligus membuat cemburu mantannya.

Wajah Indonesia Pertengahan 1950-an

Tiga Dara benar-benar film yang mencerminkan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat perkotaan Indonesia, terutama Jakarta (sebetulnya lebih-lebih Bandung dan juga terjadi di Surabaya). Bandingkan dengan Lewat Djam Malam yang mengungkap keresahan mantan pejuang menyesuaikan diri dengan masyarakat sipil yang ingin kestabilan setelah Perang Kemerdekaan, maka Tiga Dara yang dirilis pada 1956 sudah menggambarkan kehidupan yang sudah kembali “normal”.

Tiga Dara gambaran remaja masa itu bergaul “lebih bebas” dengan lawan jenisnya dibandingkan seperti era sebelumnya, tetapi tetap menghormati norma-norma berlaku. Cara berpakaian juga sopan, berdansa tidak berlebihan. Itu sebabnya film ini sukses besar dari segi pasar. Menonton bioskop berpasangan adalah hal yang biasa begitu juga ikut pesta dansa di akhir pekan. Nana adalah cerminan remaja perempuan urban yang berubah. Perempuan tidak lagi menunggu, tetapi juga bisa berinisiatif.

Dari segi tren dan pop art, Tiga Dara mempunyai pengaruh besar. Lomba mirip bintang Tiga Dara digelar diberbagai kota. Dari lomba itu muncul Suzanna yang mirip Indriati Iskak dan kelak menjadi aktris popular 1970-an setelah debutnya lewat Asmara Dara juga karya Usmar Ismail pada 1960. Gaya berpakaian, rambut ditiru oleh para remaja putri pada masa itu. Jelas bhawa menonton bioskop di Metropole termasuk bergengsi masa itu, walau harus memberi karcis dari tukang catut. Pada masa itu tukang catut karcis bioskop merupakan femonema 1950-an, terutama di Jakarta dan Bandung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline