Anomali Ekonomi , Diplomat RRC dan Rumitnya Pemidahan Pedagang Asing Tionghoa: Priangan Agustus-Desember 1959
Dampak lain pasca sanering 25 Agustus 1959 dialami para pedagang dan ibu-ibu rumah tangga ketika berbelanja sulit untuk mendapatkan uang receh. Apabila sebelum sanering memegang uang Rp1000 dan Rp500 memiliki gengsi yang tinggi, kini pedagang eceran bahkan pedagang besar, serta konsumennya berebut mendapatkan uang kecil. Akibatnya mata uang Rp10 hingga 50 sen bahkan 5 sen menjadi barang langka pada akhir Agustus 1959.
Para pedagang kelontong menyiasati kelangkaan itu dengan menyediakan barang-barang yang harganya murah. Untuk pertamakalinya dalam sejarah kembang gula digunakan sebagai uang kembali. Misalnya saja harga barang Rp13,50. Seorang pembeli membayar Rp25, maka si pedagang mengembalikan Rp10 ditambah beberapa bungkus kembang gula sebagai pengganti uang Rp1,50. Masalah yang lebih pelik ialah transaksi antara kaum ibu ketika berbelanja sayur yang nilainya hanya berkisar 10 hingga 15 sen. Untuk uang kembali pedagang menawarkan sayuran lain yang harganya sesuai uang kembali.
Dampak lain berakibat pada gaya hidup ialah toko-toko terkemuka ramai-ramai menawarkan barang dengan korting 10 hingga 20%, bahkan sampai 40% secara masif. Korting-korting besar ini biasanya hanya dilakukan menjelang Lebaran atau Natal dan Tahun Baru. Toko-toko itu antara lain Toko Raja Sutra V. Kushordes di Jalan Asia Afrika nomor 20, Toko Victory di Jalan Asia Afrika nomor 13, Toko Pakaian Anak-anak Emille di Jalan Naripan 5C, Toko Niagara NV Jalan Lembong nomor 4 A -6, Toko Welcome Jalan Barga 60, Toko Batik Go Kang Ho. Kebanyakan yang memberikan korting ialah toko pakaian. Misalnya saja kain piyama seharga Rp50 dijual dengan harga Rp35 per meter.
Pemerintah tidak menghitung sampai sejauh itu. Strategi para pedagang yang punya toko di Kota Bandung menjual barangnya dengan obral –umumnya persedian lama-memang membuat mereka bisa bertahan. Pedagang kecil di pinggir jalan juga berlomba menawarkan kebutuhan sehari-hari seperti sabun Sunlight, sabun Lux, rokok pada pertengahan September 1959. Padahal sebelumnya barang-barang sempat sulit didapat.
Masalahnya barang-barang yang dijual ada yang kadaluarsa. Rokok merek Comodore, Kansas, Lancer banyak ditemukan sudah berbau apek. Pada pertengahan Oktober 1959 harga per pak rokok untuk Escort dan Kansas berkisar Rp7 hingga Rp7,50, sementara Commodore berkisar Rp9 hingga Rp10 per pak. Sudah harga mahal dan di beberapa menghilang, yang ada pun masih juga ada yang berbau apek
Persoalan Pemindahan Pedagang Asing
Bukan hanya karena sanering, obral produk seperti rokok ada hubungannya dengan likuidasi para pedagang asing di perdesaan dan kota-kota kecamatan akibat kebijakan pemerintah. Cara penjualan obral itu berhasil memukul para pedagang kecil nasional yang sedang mempersiapkan diri untuk menggantikan kegiatan para pedagang asing di kota kecamatan untuk dilakukan di kota yang lebih besar.
Kebijakan ini dikeluarkan Pemerintah Djuanda pada 14 Mei 1959, yaitu PP No. 10/1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Awal November 1959 penduduk asing dari kota-kota kecamatan dilaporkan mulai berpindah ke Tasikmalaya dan Bandung. Sekalipun tidak semulus yang diinginkan pemerintah.
Dalam PP 10/1959 itu padaPasal 2 disebutkan Perusahaan-perusahaan perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing jang terkena larangan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Mei 1959 No. 2933/M sudah harus tutup selambat-lambatnja pada tanggal 1 Djanuari 1960, dengan tjatatan:bahwa terhitung mulai tanggal berlakunja Peraturan Presiden ini diambil langkah-langkah kearah likwidasi perusahaan-perusahaan termaksud;bahwa ketentuan tersebut tidak berarti bahwa orang-orang asing jang bersangkutan harus meninggalkan tempat tinggalnja, ketjuali kalau Penguasa Perang Daerah berhubung dengan keadaan keamanan menetapkannja.
Awal November 1959 penduduk asing dari kota-kota kecamatan dilaporkan mulai berpindah ke Tasikmalaya dan Bandung. Sekalipun tidak semulus yang diinginkan pemerintah. Sebanyak 83% atau 1286 surat pernyataan yang masuk (dari 2046 pedagang eceran asing di seluruh Jawa Barat) tidak bersedia tutup, mengoper atau memindahkan usahanya. Bahkan sebanyak 521 pedagang tidak mengirim surat pernyataannya. Sisanya sebanyak 38 menutup usaha, 82 mengoper dan 137 memindahkan usahanya. Untuk Kota Bandung keputusan Menteri dilaksanakan pada 1 Desember 1959. Kapten Hermawan dan PUPKP menyediakan tempat penampungan pedagang asing di Ujungberung dan kawasan cadangan di daerah Padalarang.