Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Penggantian Anies Baswedan Hanya karena Faktor Politik?

Diperbarui: 27 Juli 2016   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anies Baswedan (kredit foto panduanmu.blogspot.com)

Sampai saat ini saya tidak habis pikir apa yang ada di pikiran Joko Widodo dan timnya ketika melakukan reshuflle kabinet dan memutuskan mengganti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dijabat Anies Baswedan dengan Prof Muhajir Effendy.  Menurut saya mantan Rektor Universitas Paramadina itu sudah tepat di bidang pendidikan karena dia sudah punya visi membangun SDM Indonesia. 

Di antara hasil karya   pria kelahiran Kuningan  7 Mei 1969 memprakasai Indonesia Mengajar, yaitu sebuah  gerakan sosial yang massif diberbagai pelosok Indonesia.  Konsep Indonesia Mengajar pun dimulai pada akhir 2009, dengan membentuk tim kecil yang kemudian berkembang hingga menjadi organisasi seperti sekarang ini.   Memang apa yang ditanam oleh peraih gelar  doktor dalam ilmu politik dari  bidang ilmu politik di Northern Illinois University  1999 baru bisa disemai sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Langkah itu persis seperti ketika Mahatir dari Malaysia mengirim anak-anak Malaysia belajar di berbagai universitas di Indonesia.  Hasilnya bisa terasa sekarang,  Malaysia lebih maju dari Indonesia.  Nah, saya menangkap  kalau benih yang disebarkan Indonesia Mengajar ini sudah menyebar secara merata, maka  paling tidak SDM yang mumpuni tersebar ke seluruh Indonesia , merambah seperti alang-alang, sehingga SDM-SDM bagus  tidak hanya menumpuk di daerah-derah tertentu.

Semasa menjabat sebagai Mendikbud,   alokasi anggaran pendidikan terus berkembang dan tahun ini saja alokasi anggaran mencapai Rp 407 Triliun. Terobosan lain yang juga dilakukan Anies misalnya membaca buku 15 menit pertama untuk pelajar, orang tua diminta mengantar anak di hari pertama sekolah, penghapusan kekerasan dan pemberian tugas MOS yang tidak mendidik dan lainnya. 

Gerakan membaca buku 15 menit pertama itu paling tidak membangun budaya membaca yang setahu saya tidak banyak dilakukan orang Indonesia. Saya tidak punya datanya, tetapi punya pengalaman empirik. Secara kasat mata saya tahu persis siapa-siapa saja yang datang ke perpustakaan nasional  (sebetulnya juga perpustakaan lain)  dan untuk apa dan di lantai mana mereka berada.  Siapa-siapa saja mencatat  untuk kemudian disalin lagi dan diketik.  Dan saya tahu  lebih banyak  yang hanya hobinya fotokopi  untuk tugas sekolah atau kuliah.  Saya tahu persis anak-anak itu datang jam berapa dan pulang jam berapa, berapa banyak jam dihabiskan untuk membaca, Saya tahu persis  warung internet berisi anak sekolah yang tahan  main game sampai lima jam daripada browsing mencari informasi bermanfaat. Konsisten dengan visinya membangun SDM Indonesia dan memang harus bertahap membangun budaya baca itu.

Kekerasan dan bullying di sekolah memang harus dihapuskan.  Tidak semua anak bisa “move on” dengan trauma buruk yang dialaminya ketika masa kecil dan remaja.  Celakanya kerusakan psikis yang diakibatkan sekolah  bisa berpuluh tahun dan bukan tidak mungkin merusakan potensi anak itu untuk menjadi manusia yang berguna ke depannya. Bahkan tidak mungkin menghasilkan orang-orang yang pendendam, psikopat , anti sosial dan perusak.  Tetapi  menghapuskan budaya kekerasan sejak awal  menciptakan manusia yang cinta damai.  Apa yang dilakukan Anies untuk masa depan bukan disemai sekarang.

Mungkin yang paling mendapat perhatian masyarakat yakni dihentikannya implementasi kurikulum 2013.  Ada  sebagian masyarakat mempertanyakan pergantian kurikulum yang bakal berkosekuensi tambahan pengeluaran sementara bagi guru perubahan kurikulum menjadi pekerjaan tersendiri. Apalagi berdasar hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) hanya 40 persen peserta yang lulus diatas angka rata-rata dan hanya ada 25 persen dengan nilai baik. Sisanya sungguh sangat memprihatinkan. Terobosan untuk peningkatan kualitas guru dalam proses pembelajaran juga belum terlihat hasilnya. Justru yang menyeruak di publik malah terkait persoalan kekerasan di sekolah.  Masalahnya pandangan sebagian masyarakat ini hanya ingin hasil instan bukan bisa tampak sepuluh atau dua puluh tahun lagi. 

Selain itu tentu saja Anies Baswedan adalah tokoh muda dan menjadi rektor pada usia muda umur 38 tahun. 

Profesor Muhadjir Effendy sejauh yang saya baca dari berbagai media adalah orang yang baik. Rektor kelima Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjabat rektor sejak 2000-2016. Kelahiran 1956 ini  menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Pendidikan, Penelitian, Pengembangan dan Kebudayaan periode 2015–2020. Muhadjir seorang sosiolog yang ahli di bidang militer, dan sekaligus sebagai intelektual muslim.  Salah satu Ketua Dewan Pakar Golkar untuk wilayah Malang  gelar doktor bidang sosiologi militer di Program Doktor Universitas Airlangga.  Namun sampai saat ini saya tidak tahu apa visinya untuk pendidikan Indonesia dan seperti apa ke depannya.

Saya khawatir jangan-jangan pertimbangan tim Jokowi adalah Anies Baswedan adalah orang yang potensial yang menjadi Calon Presiden untuk 2019. Bisa menjadi pesaing Jokowi.  Bukankah Anies pernah ikut konvensi untuk suatu partai sebagai Capres?  Apa yang terjadi menjelang Pilpres 2014  Megawati dengan Susilo Bambang Yudhoyono  memang bisa terjadi.  Selain itu  menggandeng Muhadjir bisa dilihat sebagai  langkah untuk meraih dukungan Muhamamadyah dan sekaligus juga Golkar.  Kalau begitu alasannya hanya politik?  Bukankah Anies Baswedan sendiri termasuk tim suksesi Jokowi sewaktu Pilpres 2014 lalu? Apa karena pemerintahan Jokowi perlu dukungan lebih kuat di parlemen?

Mudah-mudahan ada tempat yang lebih baik untuk Anies Baswedan di pemerintahan atau sebaliknya memang dia balik ke kampus.

Irvan Sjafari

Referensi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline