Bagaimana bisa menjauhkan anak-anak Indonesia (terutama di perkotaan) dari kecanduan pada game di gadget atau komputer di warnet, hingga yang lebih merusak seperti video porno, sementara anak-anak nyaris kehilangan dunianya?
Lagu “Lelaki Kardus” yang membuat heboh karena dinyanyikan anak-anak bukan masalah sesungguhnya, karena anak-anak sekarang sudah terbiasa menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang setiap hari mereka dengar di televisi. Saya juga tidak habis pikir, mengapa si pembuat lagu “Lelaki Kardus” yang orang dewasa meminta anak menyanyikannya dan menyebarkannya.
Pada 1970-an lagu-lagu untuk anak-anak yang edukatif masih muncul dan dinyanyikan oleh anak-anak, seperti lagu karya AT Mahmud “Ambilkan Bulan Bu!”, “Amelia”, “Anak Gembala”, atau lagu seperti “Burung Kutilang”, “Peramah dan Sopan”, “Ruri adalah Abangku” dan sebagainya.
Lirik dan iramanya benar-benar sesuai dengan jiwa anak-anak. Bahkan lagu-lagu untuk penyanyi cilik lebih pop pun seperti “Helly” atau “Taman Mini”, “Kelinciku”-nya Chicha Koeswoyo tetap pada koridor dunia anak-anak.
Pada 1990-an mulai terjadi perubahan. Anak-anak di perkotaan tidak lagi butuh libur ke desa, tetapi ke mal. Taman Mini kalah popular dengan Dunia Fantasi. Anak-anak mulai “digiring” (kalau tidak ingin dikatakan dipaksa) bergaya seperti orang dewasa. Apalagi pada era sesudah hingga sekarang. Kontes Idola Cilik dan sejenisnya tidak diimbangi dengan tersedia lagu untuk anak-anak. Sehingga mereka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, termasuk lagu cinta.
Memang ada perlawanan ketika Tasya berhasil mempopulerkan kembali lagu karya AT Mahmud dan Sherina muncul lagu anak-anak yang bergaya broadway, tetapi berapa anak seperti mereka? Seiring dengan dewasanya Sherina dan Tasya, maka anak-anak tergiring menjadi dewasa.
Booming televisi swasta dan perkembangan teknologi lebih cepat berpacu menawarkan konten yang mengonstruksikan konten dewasa pada anak-anak. Saya percaya masih ada pencipta lagu anak-anak namun tidak punya media dan akses untuk memperkenalkan lagu ciptaan mereka.
Itu baru dari televisi dan gadget. Ketika orangtua mengajak si kecil pergi ke mal atau restoran, hampir semua toko memutar lagu-lagu yang tidak sesuai dengan perkembangan usia si kecil. Inilah yang membuat lagu-lagu anak sepertinya habis dan penyanyi cilik yang menyanyikan lagu anak pun tak lagi laku.
Problem di daerah sebangun. Staf pengajar di Departemen Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Dian Hendrayana mengakui sulit menemukan lagu anak-anak berbahasa Sunda seperti pada era 1970-an. Pada era itu Mang koko berhasil menyuguhkan “Kereta Mesin”, “Tukang Buah”, “Patani”, “Tokecang”, “Oray Bungka”, “Endeuk-endeukan”, “Gumbira”, dan sebagainya.
Pilihan tema Mang Koko hanya berlaku pada zamannya alias tak berumur panjang. Telah terjadi perubahan kebutuhan psikologi anak-anak. Pada masa sekarang kereta mesin, permainan endeuk-endeukan, berhadapan dengan gadget dan permainan dengan teknologi.
Semakin jarang tukang buah yang berkeliling di kompleks-kompleks perumahan di kota-kota besar. Begitu juga dengan penggunaan alat musik kecapi, suling dan kendang berjarak dengan anak-anak generasi sesudah 1980-an.