Saya mengapresiasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengurungkan pembatalan sejumlah peraturan daerah tentang minuman keras. Penundaan itu dilakukan hingga DPR selesai membahas Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol (Minol). “Sampai undang-undang itu jadi, tidak akan ada pembatalan perda,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Dodi Riyadmadji seperti yang dirilis Republika.co.id 23 Mei lalu. Saya khawatir kalau tidak ditunda soal pembatalan ini dijadikan isu politik yang seksi dan menambah masalah. Apalagi menjelang Ramadan.
Perdas Miras ini mengundang pro dan kontra. Di satu sisi memang minuman keras terbukti memicu tindak kriminalitas, seperti tindakan kekerasan dan perkosaan ada benarnya. Kalau ada yang menyebutkan bahwa orang di beberapa negara Barat mengkonsumsi minuman beralkohol tetapi kasus pemerkosaan kecil itu karena kulturnya berbeda. Di sana mengkonsumsi minuman beralkohol untuk menghangatkan tubuh di udara dingin dan bagian dari budaya mereka. Masalah di sini menegak minuman beralkohol mulai dari bir hingga kadar alkohol lebih keras dipersepsikan agar menjadi laki-laki dan biar berani.
Mungkin ada benarnya di negara-negara yang mengkonsumsi minuman beralkhol tinggi tetapi tidak berhubungan dengan kriminalitas rendah penegakan hukum kuat, sistem pendidikan berbeda. Saya setuju bahwa faktor perkosaan karena budaya patriarki, tetapi mengkonsumsi minuman beralkohol juga tidak bisa diabaikan.
Dalam berapa kasus di Indoensia terbukti mereka yang memperkosa dan mengkonsumsi minuman keras datang dari kalangan pendidikan rendah dan yang mabuk berbuat kriminal datang dari pendidikan rendah. Bisa jadi kebanyakan minuman keras yang dikonsumsi adalah oplosan. Jadi sebetulnya yang harus diatur membatasi bahkan melarang peredaran minuman keras secara penuh tetap penting. Bukan soal menang-menangan moral atau pro syariat Islam di sini. Propinsi Papua yang minoritas muslim juga punya Perda Pelarangan Minuman Keras.
Kalau dibilang perda minuman keras berbenturan dengan kepentingan pariwisata, ya bergantung pada daerahnya. Sejauh apa keberadaan minuman penting bagi mereka. Kan bisa dibuat pasal pengeculian yang boleh membeli minuman keras hanya warga negara asing. Tempatnya juga dibatasi agar akses bagi mereka yang suka mabuk terbatas, misalnya di hotel atau di bar dan kafe tertentu. Harganya harus dibuat mahal. Kalau muncul black market buat aturan bahwa pelanggaran itu dihukum berat.
Kalau dibatasi umurnya 21 tahun ke atas, yang saya tahu celah itu dipakai oleh para remaja dan ABG yang ingin menjadi laki-laki meminta temannya yang memenuhi syarat membeli minuman dan akhirnya dikonsumsi ramai-ramai. Jadi memang minuman keras sekali pun bir tidak boleh dijual di mini market atau super market yang dekat dengan pemukiman apalagi perkampungan. Di luar warga negara Indonesia tertentu juga bisa beli minuman keras di tempat terbatas di mana Warga Negara Asing juga beli.
Masukan lain jadikan saja membuat minuman keras oplosan atau liar dijadikan pasal dengan sangsi pidana. Hingga barang siapa yang membuat, mengedarkannya dikenai sangsi. Namun yang terpenting menurut saya ialah mindset mengkonsumsi minuman beralkohol untuk jadi laki-laki harus dirubah. Caranya dengan membuka akses dan katup pengaman bagi remaja.
Dulu banyak lapangan bermain untuk main kasti, sepakbola, serta banyak cara menjadi warrior. Sekarang ruang publik menyempit dimakan keserakahan. Warung internet dipenuhi remaja ingin main game menyalurkan energi agresifitasnya. Tawuran marak karena ruang terbuka berkurang. Pada 1970-an tawuran hanya terjadi di sekolah yang itu-itu saja di Jakarta, sekarang meluas bahkan hingga mahasiswa. Bully semakin marak sejak ruang-ruang itu makin dibatasi.
Mereka yang mendukung minuman beralkohol mungkin karena budaya dan kepercayaan mereka tidak melarang hal itu memang harus dihormati juga, tetapi mereka juga harus menghormati mereka yang tidak suka ada yang mabuk di sekitar mereka. Cerita dari kawan alasan lain untuk minum bir, mungkin anggur lebih karena persahabatan atau merayakan sesuatu dan bukan dimaksudkan untuk jadi laki-laki atau warrior. Tetapi lakukan di lingkungan atau tempat yang tidak berbenturan dengan publik yang tidak suka. Misalnya di kantor atau di rumah, pondok dl luar kota di luar bar atau kafe.
Saya pernah nongkrong dengan kawan-kawan dekat yang mengkonsumsi bir, saya tidak ikut minum dan saya menghormati mereka yang minum dan mereka tidak menganggu saya. Seumur hidup saya hanya sekali mengkonsumsi minuman alkohol, karena naik gunung jatuh ke sungai dari ketinggian sepuluh meter malam hari di daerah Gede-Pangrango sekitar 1990-an. Saya ditolong satu kelompok pencinta alam dan diberikan minuman alkohol agar badan panas. Baju dilepas dan diberikan selimut kering hingga pagi. Saya tidak mabuk dibuatnya dan lolos dari hipotermia.
Saya setuju perda yang berkaitan dengan minuman keras tetap perlu ada disesuaikan dengan sosial dan budaya masyarakat di daerah, apakah seratus persen dilarang termasuk bir, atau yang alkohol ringan, atau aturan cara membeli dan mendapatkannya diperketat. Sudah saatnya pemerintah pusat untuk lebih peka terhadap hal-hal yang berkaitan dengan persoalan sosial, budaya dan adat lokal.
- Irvan Sjafari