Baby Dolls 1959 : Indriati Iskak, Baby Huwae, Gaby Mambo dan Lientje Tambayong (Kredit foto: freewebs.com)
Dunia hiburan merupakan salah satu aspek yang mempertahankan kehidupan kota agar tetap optimis. Secara ekonomis tentunya. Sebuah laporan pada Januari 1959 mengklaim bahwa setelah dilakukan nasionalisasi penghasilan bioskop di Kota Bandung naik. Pada Desember 1957 penghasilan kotor NV Sirnagalih dibukukan dengan Rp928.994. Pada Januari dan Februari 1958 penghasilan meningkat masing-masing menjadi Rp967.336,50 dan Rp1.262.564,50. Dari jumlah ini kotapraja mendapatkan Rp337.238,81 (Desember 1957), Rp349.618,73 (Januari 1958) dan Rp448.043 (Februari 1958). Penghasilan tertinggi pada Oktober 1958 di mana dari seluruh bioskop di Bandung diraup Rp1.340.368 dan dari jumlah ini kotapraja Bandung mendapatkan Rp515.400,37 (Pikiran Rakjat, 27 Januari 1959).
Dengan dalih pertimbangan keamanan sudah pulih –namun kemungkinan karena melihat prospek yang makin bagus, pihak KMKB Kota Bandung mempertimbangkan waktu pertunjukkan film di bioskop-bioskop Kota Bandung. Bila biasanya diputar pukul 18.00 dan 21.30, maka akan digeser menjadi pukul 19.00 dan 21.30. Pertunjukkan tambahan pada pukul 15.30 dan 10.00 seperti biasa. Jam tutup toko juga diperbolehkan hingga pukul 20.00 (Pikiran Rakjat, 3 Februari 1959).
Awal 1959 Bandung dipilih menjadi tempat rilis film terbaru Perfini. Pada akhir pekan 24 Januari 1959 “Sengketa” dirilis di Bandung dihadiri Panglima TT III RA Kosasih, Kolonel Latief, Ketua DPRD Bandung dan Publicity Manager Perfini Hamidy T Djamil. “Sengketa” dibintangi Rendra Karno, Aty Savitriy, Indriati Iskak, Mieke Widjaja, Bambang Irawan, Sukarno M. Noor dan bintang baru, adik dari Indriati Iskak bernama Boy Iskak. Film ini bertemakan persengketaan ayah dan anak, serta perubahaan pergaulan laki-laki dan perempuan. Pada 7 Februari 1959 Bandung juga menjadi tempat pertunjukkan perdana film “3 Buronan” dibintangi aktor popular Bing Slamet, Bambang Irawan dan Chitra Dewi. Film ini bercerita soal tiga buronan yang merugikan rakyat yang dikejar seorang anggota Mobil Brigade.
Pada 1950-an akhir Indriati Iskak juga popular sebagai penyanyi dalam grup vokal yang dinamakan Baby Dolls yang juga mahir memainkan lagu-lagu irama Cubana dan Rumba. Selain Indriati Iskak kelompok vokal ini berisi nama Baby Huwae, Gaby Mambo dan Lientje Tambayong. Nama terakhir ini kelak dikenal publik sebagai bintang film popular era 1970-an dengan nama Rima Melati.
Film luar negeri pun kerap dirilis di Kota Bandung pertama kali. Misalnya saja pertunjukkan “A Time to Love and A Time to Die”, yang dibintangi oleh John Cavin pada 6 Februari 1959. Pertunjukkan perdana diperuntukkan untuk perbaikan sebuah masjid di Gang Ateng, antara lain melibatkan Ny. Sadikin Adikusumah dan R. Wintar Angke untuk pembelian tiket (Pikiran Rakjat, 21 Januari 1959).
Pada waktu itu pertunjukkan hiburan apa pun walau tidak ada hubungannya dengan film, menghadirkan aktris. Misalnya Cabaret night di Gedung Panti Budaya menampilkan Chitra Dewi, Aminah Cendrakasih, Noen Zarinah, Noerbaini, Bambang Irawan, Bambang Hermanto dengan harga karcis Rp50. Pertunjukkan itu dipersembahkan dalam rangka Dies Natalis Peguruan Katolik Parahyangan Bandung (Pikiran Rakjat 22 Januari 1959).
Pertunjukkan sandiwara Mitra Sunda juga membuat terobosan dengen mementaskan pertunjukkan religi Yaumil Qiamah pada 12-13 Februari 1959 di Bandung. Kisah yang diambil dari Al Qur’an ini untuk pertama kali penerangan agama tidak harus melalui kutbah atau tabliqg akbar tetapi melalui pertunjukkan sandiwara (Pikiran Rakjat, 24 Februari 1959).
Memasuki 1959 Jawa Barat mulai serius membenahi pariwisatanya. Namun yang mempeloporinya adalah Kensi jawa Barat. Pertangahan Februari 1959 sebuah penitya dibentuk dipimpin R. Sidik Danubrata (BP Kensi Jawa Barat), Wakilnya R. Mohammad Saddak (Savoy Homann) dan MT Sukardi (Direktur Rumah Makan Ambassador), Sekretaris J. Rasyid (PB Kensi) dengan pendukung G. Maltuli (Hotel Astoria), FJ Kosyungan (Grand Hotel Lembang),ROS soemantri (penginapan setia), Abdurrahman (Rumah Makan Harum Manis), DP Palar (Grand Hotel Preanger). Dari susunan nama itu jelas hampir semua stake holder pariwisata di Kota Bandung terlibat dalam persiapan (Pikiran Rakjat, 16 Februari 1959).
Pada 5 Maret 1959 konferensi hotel dan rumah makan ini dibuka dengan sebuah resepsi di Loby Hotel Savoy Homman. Hadir dalam konferensi ini Menteri Perhubungan Mr. Sukardan dan Menteri Perdagangan Rachmadi Muljomiseno. Konferensi ini membahas kesulitan menentukan masalah harga karena penegkangan tarif, akomodasi yang buruk dan yang paling penting banyaknya pegawai negeri dan militer yang menetap di hotel-hotel sementara penyelesaian pembayaran biasanya menunggu sedikitnya enam bulan. Hotel juga diizinkan menerima dollar dari pengunjung. Pemerintah juga diminta supaya melaksanakan usaha pendidikan untuk kepentingan perhotelan (Pikiran Rakjat, 6 Maret 1959).
Pada 8 Maret 1959 konferensi ini mengeluarkan keputusan ditujukkan kepada pemerintah antara lain:
- Pemerintah memberikan fasilitas kepada pengusaha hotel untuk mempermudah barang-barang untuk keperluan hotel.
- Peraturan tarif perhotelan tidak sesuai lagi
- Perlu disediakan sebuah sekolah perhotelan
- Devisen khusus mengimport bahan-bahan yang diperlukan bagi perhotelan.
- Perlu kementerian (setidaknya untuk sebagian tugasnya) untuk mengurus perhotelan, penginapan dan rumah makan.