ilustrasi hula hoop (media.gettyimages.com/)
Awal 1959 warga Kota Bandung dikejutkan dengan kasus aneh yang ditangani kepolisian. Belum pernah sebelumnya polisi sampai terlibat dalam permainan yang bersifat kepercayaan hal-hal yang gaib dan berbau tahayul. Kasusnya terjadi di Jalan Paledang bukanlah kawasan popular sebagai tempat keramaian mendadak menjadi ramai ketika ada praktek permainan jalangkung yang dianggap meresahkan dan menipu masyarakat.
Polisi menutup jalan itu dan menyita barang bukti berupa boneka jalangkung, sisir yang disebut keris, tutup pemanas air yang disebutnya mas dan mata pulpen yang disebut kuningan. Sejumlah orang merasa dibohongi dalam mengalami kerugian yang belum diketahui (Pikiran Rakjat, 7 Januari 1959). Praktek penipuan dengan permainan jalangkung dengan janji menggandakan barang menjadi bernilai mencerminkan dua hal. Pertama masih kuatnya kepercayaan terhadap tahayul dan kedua kehidupan ekonomi sebagian masyarakat kota dalam keadaan semakin sulit. Tampaknya hal kedua lebih mendorong permainan ini menuat untuk mencari kekayaan dan akhirnya menjadi urusan polisi.
Hampir semua sumber yang saya telusuri sepakat bahwa asal penggunaan istilah "Jailangkung" atau jelangkung diduga berhubungan dengan sebuah Kepercayaan tradisional Tionghoa yang telah punah. Ritual ini adalah tentang adanya kekuatan dewa "Poyang" dan "Moyang" (mirip istilah "nenek moyang") yaitu Cay Lan Gong ("菜篮公", "Dewa Keranjang") dan Cay Lan Tse yang dipercaya sebagai dewa pelindung anak-anak. Permainan Cay Lan Gong juga bersifat ritual dan dimainkan oleh anak-anak remaja saat festival rembulan. Jelangkung merupakan bagian dari flokfore di Jawa.
Awal tahun baru ada dua hal baru yang ditangani kepolisian Reskrim Keresidenan priangan. Sesudah jelangkung, polisi juga harus menangani tren baru yang dianggap bertentangan dengan ahlak, yaitu Tari Hula Hoop. Entah mengapa tari anak muda ini juga menjadi hantu menakutkan. Permainan Hula Hoop ialah menggoyangkan semacam cincin besar dari bambu atau plastik di atas pinggul. Tari Hula Hoop muncul di Amerika pada 1957, bersamaan dengan permainan frisbee. Mulanya tak mengejutkan publik Amerika sampai sebuah perusahaan Wham- O Manufacturing Company memperkenalkan Hula Hoop yang terbuat dari plastik dan ringan, simpel, lingkaran sepanjang 1.06-meter, seharga $1.98 hingga disukai anak-anak dan segala usia. Belakangan orang Australia memperkenalkan Hula Hoop berbahan bambu. Keberadaan televisi membuat permainan ini menjadi populer. Penyanyi Amerika Georgia Gibb kemudian mengungkapkan dalam lagu “The Hula Hoop Song” (rilis September 1958) yang begitu energik dan anak muda (Young, 2004, 115).
Hanya dalam enam bulan sekitar 30 juta remaja laki-laki dan perempuan diperkirakan memainkan Hula Hoop. Bukan hanya dipinggul, tetapi remaja yang mahir Hula hhop dapat memutarkan di tangan dan di leher. Sebetulnya Hula Hoop bagian dari sejarah kebudayaan populer dan kesenangan di tengah kemakmuran dan kelimpahan Amerika Serikat pada 1950-an. Tren Hula Hoop bersamaan dengan tren Rock n roll.(Lindop, 2010, 2003). Hula Hoop kemudian menular ke negara lain.
Masalahnya Hula Hoop diidentikan denganpermainan perempuan (usia gadis). Dan itu yang membuat di tanah air, tarian itu dianggap merangsang nafsu birahi dan bertentangan dengan kesusilaaan timur. Setelah dilaporkan muncul di Jakarta dan Cirebon, tren ini dari mulut ke mulut melanda anak muda Kota Bandung. Pada 5 Februari 1959 Inspektur Flokstra Kepala Public Relation Polisi Priangan mengumumkan tarian itu belum ditemukan, setelah kepolisian melakukan razia di sejumlah tempat (Pikiran Rakjat, 6 Februari 1959).
Namun rupa-rupanya Hula Hoop lebih dipandang negatifnya. Pada 11 Maret 1959 kepolisian Jakarta melarang tari ini dengan alasan dimainkan dengan cara menyinggung perasaan susila. Bangsa bisa terjerumus ke celah demoralisasi. Politisi muslim di DPR, mantan pejuang TKR dari Jawa Barat Arudji Kartawinata menyebutkan permainan Hula Hoop sebagai sport bermanfaat namun tidak boleh dipertontonkan di muka umum. Bandung menyusulmemebrikan reaksi keras. Pengurus Besar Persatuan Guru Teknik Indonesia mendesak pemerintah melarang permainan Hula hoop (Pikiran Rakjat, 19 Maret 1959).
Pihak Reskrim Keresidenan Priangan awalnya meminta para penjual bahan-bahan permaian Hula Hoop diminta segera menghilangkan barang yang berkaitan dengan permainan itu. DPRD Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan pernyataan bahwa permainan Hula Hoop tidak ada manfaatnya. Akhirnya Kepala Reskrim Keresidenan priangan Iman Supojo melarang permainan Hula Hoop bukan saja di tempat umum, tetapi di rumah sendiri dan di tempat tertutup pada 20 Maret 1959. Permainan Hula Hoop kalau dibiarkan menjadi wabah (Pikiran Rakjat,21 maret 1959 dan 24 Maret 1959)
Di negara lain Hula Hoop Segera menjadi tema mode. Sebuah gaun Hula Hoop yang dirilis Christian Dior untuk petang hari menggunakan benang perak menjadi tren kelas atas di Eropa dan Amerika. Gambar gaun ini dipertontonkan di Indonesia tentu saja memberikan konstruksi pikiran bahwa Hula Hoop hanya semua tren daripada sebagai hantu yang menakutkan. Sepanjang sejarah hanya dua negara yang mencekal Hula Hoop: Indonesia dan Jepang. Bagaimana pun juga pencekalan Hula Hoop adalah fenomena menarik dan bagian gerakan anti Budaya Barat, berawal dari anti tari rock n roll, kemudian sejarah mencatat pada musik rock n roll itu sendiri.
Tanpa kesibukan tambahan memburu paar penari Hula Hoop pun, tugas Reskrim demikian sibuknya karena kriminalitas tinggi akibat tekanan hidup. Dalam Januari 1959 polisi dari Reskrim Keresidenan Priangan berhasil menggulung komplotan alap-alap sepeda, termasuk para penadahnya. Sebanyak 20 orang ditahan berikut barang buktinya 20 sepeda, 8 sepeda motor, 8 radio, serta 4 mesin jahit dan satu mesin tik. Komplotan ini mengaku terlibat dalam 125 kali pencurian di antaranya 101 pencurian sepeda, 4 mesin jahit, 2 mesin tik, serta 10 pencurian sepeda motor. Menurut Kepala Reskrim Keresidenan Priangan Komisaris Polisi Iman Supojo sepeda-sepeda yang dicuri di Bandung dibawa keluar kota, pada saat itulah polisi memeriksa ada yang tidak beres pada register sepeda, karena atas nama orang lain (Pikiran Rakjat, 21 Januari 1959).