Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bisnis dan Hijab : “Wirausaha Muslimah Santri” di Kota Bandung 2010-an Menemukan Identitas (Suatu Catatan Awal)

Diperbarui: 4 April 2017   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Fashion Hijab : Hijab menjadi bisnis dan popular culture (kredit foto http://img2.bisnis.com/bandung/posts/2013/09/27/437049/060413_RHN-BISNIS-02-HIJAB-TUTORIAL.jpg))"][/caption]

 

Waktu saya kuliah dahulu , salah satu kajian sejarah yang saya suka  ialah tenatng santri dan dunia bisnis pernah  menjadi fenomena sejarah sosial ekonomi  pada akhir abad ke19 hingga tahun  1920-an. Sejumlah karya sejarawan dalam dan luar negeri  mengungkapkan sejumlah komoditi  perdagangan  terutama di dunia tekstil  dan kerajinan  di sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Sumatera Barat. Santri di sini mengacu pada muslim yang taat pada Agama Islam, menurut terminologi  Clifford  Geertz.   Para pengusaha pribumi santri ini   punya etos kerja yang tak kalah dengan orang-orang Tionghoa yang pada masa kolonial dominan pada tataran perdagangan perentara.   Sejumlah literatur juga menyebutkan terdapat hubungan signifikan antara pedagang santri  dengan  organisasi massa  Islam, seperti Muhamadyah (sebetulnya juga NU) ,  pergerakan politik  Islam, Sarekat Islam, PSII yang menunjukkan komitmen mereka terhadap perkembangan   agama Islam.  

 

Sejarawan Kuntowidjojo   misalnya  menelaah bahwa sejak awal abad ke 20 terjadi kebangkitan borjuis pribumidi 102 daerah perkotaan di Jawa tempat 8,51% penduduk Jawa dan Madura tinggal. Kelas baru ini terdiri dari kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota. Mereka menggeser pengaruh kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut sebagai golongan priyayi-kecuali di Surakarta dan Yogyakarta.

 

Dalam empat tahun terakhir ini  saya  kerap membeli  Pikiran Rakyat, Bandung  untuk mengamati  kesinambungan sejarah Kota Bandung  periode 1930-an hingga 1990-an  yang saya sedang teliti dengan masa kini.   Biasanya yang saya  klipping adalah persoalan tata kota, gaya hidup dan  ekonomi-politik lokal seperti yang saya tulis berseri.  Tetapi ternyata ada rubrik  lain yang menarik,  yaitu  rubrik “Geulis” dan sejumlah rubrik lain   di harian Pikiran Rakyat dan juga harian lain di Kota Bandung  pada 2012-2016  sering menampilkan  sosok muslimah berhijab yang sukses menjadi pengusaha, sekalipun masih dalam skala kecil (punya toko dan memperkerjakan karyawan dalam jumlah dihitung dengan jari)  namun jumlahnya cukup  signifikan.  Selain berhijab mereka masih berusia muda, kira-kira  20  hingga 40 tahun,   punya latar belakang pendidikan paling tidak lulus  setingkat SMA, namun didominasi mereka yang lulus perguruan tinggi.  

 

Mereka menggunakan kemudahan yang disediakan teknologi dengan baik, aktif di media sosial dan mempunyai jaringan yang tidak eksklusif bahkan ada yang menembus mancanegara.    Tentu peran para muslimah entrepreneur ini tidak sedigaya para  pedagang santri awal abad 20  yang menjadi motor pergerakan, tetapi etos kerja mereka sebangun dan mereka adalah bagian dari UKM-UKM yang sedang menggeliat di Kota Bandung dalam satu atau dua dasawarsa ini.  Selain itu mereka seperti sudah menjadi komunitas ekonomi yang punya identitas.

 

Wawancara dengan Ketua  DPW  Ikatan pemberdayaan  Pedagang Kecil Indonesia, IPPKINDO DKI Jakarta Heri Sumantri  pada 24 November 2015 mengakui bahwa UKM di Bandung punya kelebihan dibanding dengan DKI Jakarta, karena jumlah SDM alumnus perguruan tinggi di kota itu yang terjun menjadi wirausaha cukup besar. Letak perguruan tinggi yang tidak terlalu berjauhan menciptakan zona warga terdidik yang cukup besar per kilometernya dan di zona itu  umumnya  UKM-UKM bermunculan1.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline