[caption caption="Fashion Hijab : Hijab menjadi bisnis dan popular culture (kredit foto http://img2.bisnis.com/bandung/posts/2013/09/27/437049/060413_RHN-BISNIS-02-HIJAB-TUTORIAL.jpg))"][/caption]
Waktu saya kuliah dahulu , salah satu kajian sejarah yang saya suka ialah tenatng santri dan dunia bisnis pernah menjadi fenomena sejarah sosial ekonomi pada akhir abad ke19 hingga tahun 1920-an. Sejumlah karya sejarawan dalam dan luar negeri mengungkapkan sejumlah komoditi perdagangan terutama di dunia tekstil dan kerajinan di sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Sumatera Barat. Santri di sini mengacu pada muslim yang taat pada Agama Islam, menurut terminologi Clifford Geertz. Para pengusaha pribumi santri ini punya etos kerja yang tak kalah dengan orang-orang Tionghoa yang pada masa kolonial dominan pada tataran perdagangan perentara. Sejumlah literatur juga menyebutkan terdapat hubungan signifikan antara pedagang santri dengan organisasi massa Islam, seperti Muhamadyah (sebetulnya juga NU) , pergerakan politik Islam, Sarekat Islam, PSII yang menunjukkan komitmen mereka terhadap perkembangan agama Islam.
Sejarawan Kuntowidjojo misalnya menelaah bahwa sejak awal abad ke 20 terjadi kebangkitan borjuis pribumidi 102 daerah perkotaan di Jawa tempat 8,51% penduduk Jawa dan Madura tinggal. Kelas baru ini terdiri dari kaum pengusaha dan cendikiawan yang menguasai cakrawala kehidupan kota. Mereka menggeser pengaruh kaum bangsawan dan pangreh praja yang disebut sebagai golongan priyayi-kecuali di Surakarta dan Yogyakarta.
Dalam empat tahun terakhir ini saya kerap membeli Pikiran Rakyat, Bandung untuk mengamati kesinambungan sejarah Kota Bandung periode 1930-an hingga 1990-an yang saya sedang teliti dengan masa kini. Biasanya yang saya klipping adalah persoalan tata kota, gaya hidup dan ekonomi-politik lokal seperti yang saya tulis berseri. Tetapi ternyata ada rubrik lain yang menarik, yaitu rubrik “Geulis” dan sejumlah rubrik lain di harian Pikiran Rakyat dan juga harian lain di Kota Bandung pada 2012-2016 sering menampilkan sosok muslimah berhijab yang sukses menjadi pengusaha, sekalipun masih dalam skala kecil (punya toko dan memperkerjakan karyawan dalam jumlah dihitung dengan jari) namun jumlahnya cukup signifikan. Selain berhijab mereka masih berusia muda, kira-kira 20 hingga 40 tahun, punya latar belakang pendidikan paling tidak lulus setingkat SMA, namun didominasi mereka yang lulus perguruan tinggi.
Mereka menggunakan kemudahan yang disediakan teknologi dengan baik, aktif di media sosial dan mempunyai jaringan yang tidak eksklusif bahkan ada yang menembus mancanegara. Tentu peran para muslimah entrepreneur ini tidak sedigaya para pedagang santri awal abad 20 yang menjadi motor pergerakan, tetapi etos kerja mereka sebangun dan mereka adalah bagian dari UKM-UKM yang sedang menggeliat di Kota Bandung dalam satu atau dua dasawarsa ini. Selain itu mereka seperti sudah menjadi komunitas ekonomi yang punya identitas.
Wawancara dengan Ketua DPW Ikatan pemberdayaan Pedagang Kecil Indonesia, IPPKINDO DKI Jakarta Heri Sumantri pada 24 November 2015 mengakui bahwa UKM di Bandung punya kelebihan dibanding dengan DKI Jakarta, karena jumlah SDM alumnus perguruan tinggi di kota itu yang terjun menjadi wirausaha cukup besar. Letak perguruan tinggi yang tidak terlalu berjauhan menciptakan zona warga terdidik yang cukup besar per kilometernya dan di zona itu umumnya UKM-UKM bermunculan1.