[caption caption="Ilsutrasi kegiatan fogging di pemukiman (kredit foto CNNindonesia)"][/caption]Tampaknya Indonesia masih menghadapi masalah kesehatan Demam Berdarah karena terjadi beberapa perkembangan baru yang tidak baik. Fogging yang dianggap bisa mengurangi nyamuk yang berperan sebagai vektor, ternyata semakin tidak efektif. Sudah ada beberapa peringatan mengenai akibat fogging serampangan.
Namun selama ini tidak disertai bukti penelitian, sampai hasil penelitian guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Upik Kesumawati selama 2014 hingga 2015 membuktikan nyamuk Aedes Aegypti dari 35 kelurahaan (35 galur) di Kota Bogor telah kebal terhadap tiga golongan insektisida yang kerap dipakai untuk pengasapan. Penelitian itu dirilis di Bogor, 17 Maret yang lalu.
Di satu sisi status kekebalan dari tiga jenis insektisida itu berbeda-beda. Menurut penelitian Upik 74% nyamuk kebal terhadap malation (golongan organofosfat), 63% resisten terhadap bendiokart (golongan organokarbamat, serta 86% resisten terhadap deltametrin (golongan piretroid sinetrik). Bahkan terdapat fakta 80% galur nyamuk kebal terhadap lebih dari satu golongan insektisida. Namun secara keseluruhan hasil penelitian ini merupakan alarm bagi Dinas Kesehatan Kota Bogor lebih seksama memilih jenis insektida untuk mengendalikan vektor.
Dinkes Kota Bogor perlu memiliki peta resistensi dan rotasi penggunaan insektisida. Pemberian insektisida terus menerus dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan nyamuk resisten.
Penelitian Upik juga menunjukkan gaya hidup manusia modern menciptakan habitat baru bagi nyamuk aedes agypti. Data yang dimiliki Upik pada 8 lokasi penelitiannya menunjukkan varian berbeda bebas jentik, mulai dari 17,8% hingga 88,5%. Angka ini memberikan peluang terjadinya transmisi penyakit. Suatu kawasan bisa disebut aman kalau bebas jentik di atas 95%. Banyaknya taman-taman baru di Kota Bogor bisa memberikan peluang bagi nyamuk-nyamuk untuk bersarang. Mereka tidak hanya bisa bersarang di tempat air atau pot, tetapi juga beberapa jenis pohon yang ditanam daunnya bisa menyimpan air.
Selain Upik, pada awal Maret lalu Balai Besar Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLP) Yogyakarta yang membawahi Jateng-DIY, juga mengeluarkan peringatan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) di semua daerah unuk memperketat tindakan fogging (pengasapan) di lapangan. Kepala BBTKLPP, Hari Santoso melarang tindakan fogging dengan menyebutkan hasil survei menunjukkan fogging itu sangat berbahaya dan justru membuat nyamukaedes aegypti menjadi semakin kebal.
Kecurigaan bahwa nyamuk sudah kebal terhadap obat fogging dilontarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Pada 10 Februari yang lalu Kepala dinkes kabupaten ini, Naniek Isnaneni seperti dirilis Tempo 10 Februari 2016 meminta Kementerian Kesehatan mengirim tenaga ahli untuk meneliti nyamuk penyebar virus demam berdarah di Kabupaten Tangerang. Diduga nyamuk telah kebal (resisten) terhadap obat fogging yang selama ini digunakan. Naniek menduga nyamukaedes aegypti ini kebal terhadap obat fogging jenis aspasida dan malation (salah satu yang disimpulkan peneliti Upik). "Kami meminta agar dilakukan penelitian untuk membuktikan nyamuk di sini sudah mutasi gen," ujarnya.
Perkembangan lain berhubungan dengan Demam Berdarah ialah penemuan vaksin yang digadang-gadang bakal bisa menangani DBD, ternyata belum tentu efektif. Awal Februari lalu Kepala Unit Dengue Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Tedjo Sasmono, di Jakarta, mengungkapkan dari aspek virologi, tak ada perubahan ataupun mutasi virus dengue di Indonesia. Empat jenis serotypevirus dengue yang ada di Indonesia DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Tiap tipe memiliki subtipe atau strain hingga ratusan. Banyaknya variasi strain itu mempersulit upaya menemukan vaksin dengue terbaik. Akibatnya orang yang kebal satu jenis virus dengue belum tentu kebal tipe lain. Kini, vaksin dengue dalam tahap izin di Kementerian Kesehatan. Jika nantinya vaksin bisa beredar, itu tak menjamin penyebaran dengue bisa diatasi karena rantai virus dan vektornya tak putus.
Irvan Sjafari
Sumber: Pikiran Rakyat, 18 Maret 2016,