[caption caption="dr.Djundjunan Setiakusumah (Kredit Foto Magle 26 Mei 2005)"][/caption]
Pada awal November 1958 sebuah klinik bersalin bertempat di Jalan Aceh/79 dibuka secara resmi. Klinik bersalin ini menempati gedung bekas perawatan orangtua yang terlantar ini merupakan klinik pertama yang merupakan usaha PMI Cabang Bandung. Klinik bernama Bayu Tresna ini dibawa pimpinan dokter ahli kebidanan Dr.J.E. Karamoy dan bidang Ny. Sutriasih Sukono. Klinik disokong oleh Ny.Oja Somantri, Ny.Priyanat Kusumah, Ny. Mr.Tresna, Ny.Jerman Prawiranegara dan sejumlah isteri petinggi di Kota Bandung.
Ketua PMI Bandung waktu itu adalah dr. Djundjunan (ada yang menggunakan ejaan Djoendjoenan ) Setiakusumah menyebutkan bahwa rumah bersalin ini adalah usaha PMI yang sudah lama dicita-citakan sejak 1950, setelah PMI mengupayakan sanitarium penderita paru di Bukit Dago. Nama dr. Djundjunan) sebagai seorang dokter praktek tidak terlalu banyak ditemukan di Pikiran Rakjat 1950-an. Majalah Mangle edisi 26 Mei hingga 1 Juni 2005 menyebutkan Dr.Djundjunan lahir 1 Agustus 1888 di Ciawi Taksimalaya. Dr.Djundjunan putra pertama dari pasangan Raden Kanduruan Argakusumah dan Rd Ratnadewi Ramana. Ayahnya camat di Cimaragas, Banjar, Tasikmalaya. Sewaktu masih mahasiswa STOVIA Djundjunan menikah dengan Nyi Rd Sasih Wulan putri Bupati Sumedang pada 1916.
Selepas dari STOVIA dan mendapatkan gelar Indis Art pada 28 Mei 1918 (dengan keahlian ilmu pengobatan), pembedahan dan kebidanan) Djundjunan mengabadikan dirinya di Rumah Sakit CBZ Semarang. Djundjunan ikut memberantas wabah influenza di kota itu 1918. Selama terjadinya wabah influenza tenaga kesehatan pemerintah di Semarang kerja sampai lembur. Sejumlah daerah di Hindia Belanda pada masa itu dilanda pendemi influenza antara 1917 hingga 1920 menewaskan puluhan ribuan jiwa. Daerah yang diserang antara lain Kota Semarang.
Menurut penelitian yang dilakukan Nofita Rosdiana Dewi dan Septina Altianingrum ( 2013) menyebutkan pada 1920 di rumah sakit CBZ (Central Burgelijk Ziekenrichting) sebanyak 88 pasien tewas. Djundjunan juga pernah ditugaskan ke Purwokerto,ketika terjadi serangan Kolera. Sebanyak 1000 pasien dia tangani. Pada waktu itu pencegahan dengan suntikan dilakukan pada 20 ribu jiwa dan dalam dua bulan bisa ditangani.
Dia kemudian bertugas ke Sawahlunto di mana Djundjunan bertugas di rumah sakit perusahaan pertambangan antara 1919-1921. Rumah Sakit itu menampung 600 hingga 800 pasien. Di antara pasiennya juga orang rantai (orang hukuman yang dijadikan pekerja paksa). Selain menjadi dokter di perusahaan pertambangan ia juga bertugas sebagai dokter sipil yang mengawasi lancarnya vaksinasi terhadap cacar. Di Sawah Lunto itu terjadi kasus 48 buruh tambang jadi korban runtuhnya tambang. Sewaktu di Sawah Lunto, anak ketiganya lhir diberi nama Kartimi.
Djundjunan kemudian sempat bertugas di Jakarta, Purwakarta, Sumedang dan Banten dan pada 1928 dipulangkan ke Bandung. Dia bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Gemeente Juliana di Bandung (Kemudian menjadi Rumah Sakit Rancabadak dan sekarang menjadi Rumah Sakit Hasan Sadikin). Pada waktu rumah sakit itu beroperasi hanya ada 6 dokter berkebangsaan Belanda dan 2 orang dokter berkebangsaan Indonesia, yaitu dr. Tjokro Hadidjojo dan dr. Djundjunan Setiakusumah.
Kiprahnya di dunia pergerakan dr.Djundjunan mendirikan Paguyuban Pasundan dan sempat menjadi sekretaris I ketika masih kuliah di STOVIA pada 1914. Pada masa pergerakan Djundjunan pernah menjadi anggota Budi Utomo sewaktu menjadi mahasiswa di STOVIA. Sewaktu aktif di Budi Utomo, Djundjunan tidak memisahkan sayap Sunda dan Jawa. Dia juga aktif dalam organisasi Indische Partij di Jakarta. Djundjunan juga membantu pekerjaan propaganda penyebaran Sarekat Islam di Jakarta. (Bandung 1956 (6) Heboh Pamflet Front Pemuda Sunda dan Terbentuknya DPRD Peralihan: Dinamika Politik Agustus-September)
Pada masa pendudukan Jepang Djundjunan ditunjuk menjadi Kepala Kesehatan Kota melingkupi rumah sakit Santo Yusup, Cicendo, Imanuel. RS Juliana sendiri diduduki tentara Jepang. Djundjunan ikut melatih ratusan orang desa latihan PPPK dan para pemuda rombongan pasukan bahaya udara. Sewaktu perang kemderkaan Djundjunan termasuk tokoh-tokoh Pasundan yang dikabarkan akan diculik, seperti Oto Iskandar di Nata,Ukar Bratakusumah, Otto Subrata dan Adjat Sudrajat. Namun tidak ada kejadian yang menimpanya. Tetapi Oto memang diculik. Pada November 1945 keluarganya diungsikan ke Majalaya dan Djundjunan sendiri memilih tetap bertugas di Bandung.
Ketika terjadi Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946 sebagian rakyat Bandung mengungsi bersama para pejuang,Djundjunan membagi dua para medis. Sebagian ikut mengungsi dan sebagian tetap di rumah sakit di Situsaeur. Sewaktu terbentuknya Negara Pasundan, dr. Djundjunan ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan. Sesudah perang usai Djundjunan menjadi Kepala Jawatan Kabupaten Bandung pada 1950. Pengalamannnya sejak masa Hindia Belanda rupa-rupanya memberikannya wawasan yang cukup tentang kesehatan rakyat.
Sekalipun tidak terlalu mencolok dr. Djundjunan beberapa kali memberikan pandangan terhadap isu politik di Jawa Barat. Pada 1953 ketika gerakan kedaerahan mulai merebak dia mengeluarkan pernyataan bahwa tidak benar ada separatism di Jawa Barat, tetapi federalism ada. Hal ini menurut Djunjudnanberhubungan dengan soal kemakmuran dan juga soal kebudayaan (Pikiran Rakjat, 23 Maret 1953). Dr.Djundjunan juga pernah menjadi anggota parlemen, yaitu DPRD Peralihan Jawa Barat mewakili PNI. Sayang saya belum menemukan apa saja yang dilakukannya selama menjadi anggota parlemen.