Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Review “Dreams”: Fatiiiiiin!

Diperbarui: 10 Maret 2016   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Poster Dreams (kredit foto Muvila)"][/caption]Saya memutuskan untuk ikut vote Fatin dalam Indonesian X-Factor 2013  dengan alasan selain suaranya unik, penampilannya juga unik,  seorang anak SMA di pinggiran kota Jakarta dari keluarga kebanyakan  yang mengingatkan saya waktu sekolah dulu yang tampil apa adanya,  kalau salah di panggung menunjukkan ekspresi dan gestur tubuh yang begitu manusiawi, bicara kerap “ceplas-ceplos”.  Sikap dia di panggung atau di jagat maya sama ketika saya temui waktu saya wawancara beberapa tahun lalu.  

Pendeknya Fatin itu  mewakili saya.  Alasan rasional dan emosional bercampur jadi satu.  Alasan dia berhijab? Mungkin juga  terlintas di benak saya waktu itu , tetapi itu tidak jadi alasan saya memilih kontestan berhijab  lainnya di X Factor Musim Kedua dari kategori girl.   Baru setelah sepuluh besar saya memilih Desy Nathalia dari kategori overage, bukan karena dia berhijab tetapi suaranya yang negro “banget” seperti Whitney Houston.  Ini sekadar testimoni. 

Ketika saya menyaksikan Dreams  seperti kembali memutar memori tiga tahun lalu ketika Fatin masih anak “kampung Jakarta”.  Hanya saja   Fatin diceritakan bukan anak SMA tetapi anak kuliahan yang berteman dengan personel  Krosboi Band  dan Kiki (Nimas Dewantari).  Fatin  adalah putri tunggal dari Bahar Lubis (Mathias Muchus) yang diceritakan seorang guru  dan ibunya (dimainkan Inez Tagor), juga tinggal neneknya (Dewi Irawan). 

Kemudian cerita  bergulir menjadi dua alur pertama  Fatin yang bermimpi menjadi penyanyi.  Cita-citanya itu dituangkan dalam buku hariannya yang ia beri nama Dreams.  Dia mengikuti kompetisi menyanyi.  Tetapi  di sisi alin orangtuanya lebih suka  Fatin menyelesaikan kuliahnya.   Konflik ini sudah dimulai sejak awal ketika Fatin  ikut kontes Sunny June di mana ia bertemu seterunya Karina Putri (Ardina Rasti). 

Sya suka ekspresi  muka Fatin  ketika berhadapan  dengan Karina itu memang natural dan itulah Fatin, sedikit takut, sedikit sebal, tetapi tidak membalas:  “Di dunia  ini ada dua orang, yaitu yang tidak punya kaca dan yang tidak tahu caranya ngaca! Kamu tahu kan termasuk  yang mana?”  Genderang perang ditabuh oleh  Karina, tetapi Fatin tidak  bereaksi melawan.  Begitu juga ketika dia diminta melepas jilbabnya kalau menang : ekspresi mukanya itu khas sekali.  Lalu Fatin berlari sambil  keluar air mata tidak lebay.   Selain itu ada sejumlah akting Fatin yang membuat saya menitikan air mata.

Fatin didukung teman-temannya dan seorang blogger bernama Rama (Morgan Oey) mendorongnya untuk ikut lomba lagu Indonesian Dreams secara online.  Tentu tidak mudah, ada  rintangannya.  Bagian ini paling real dalam  film arahan Guntur Soeharjanto, karena kedigayaan media sosial online mampu menjadikan orang biasa menjadi luar biasa.  Dukungan animasi  dengan map kota Jakarta dengan teknik animasi (CGI)  membuat sinematografi menarik. 

[caption caption="Fatin dan personel Krosboi dalam Dreams (kredit foto fatinsl.com)"]

[/caption]Akting Ardina Rasti saya kira menghidupkan karakter yang disodorkan penulis scenario. Hanya saja apakah di dunia nyata  apakah ada   seorang calon penyanyi ikut kompetisi  punya nyali  berkata seperti itu?  Dalam  skenario akting Ardina Rasti yang begitu tidak sportif meninggalkan panggung setelah  tidak menjadi juara (sorry sedikit spoiler, toh penonton juga bisa menebak  Fatin pasti juara dalam film ini)  patut diacungkan jempol.  Tetapi saya nggak yakin bisa terjadi di Indonesian  Idol, X Factor atau kompetisi apa pun.  Karakter Karina-nya yang lebay menurut saya, bukan akting Ardina Rasti.

Akting Morgan Oey, para  personel  Krosboi dan Nimas Dewantary cukup menarik  dan tidak lebay. Dialog-dialog antar mereka dan Fatin adalah dialog sehari-hari.  Hubungan persahabatan Fatin dengan tokoh-tokoh ini begitu kuat dan tulus menjadikan cerita ini menarik.  Pelajaran bagi sinetron Indonesia bahwa hubungan suka antara laki-laki dan perempuan tidak perlu ekspresi dan gestur tubuh yang berlebihan.        

Alur kedua,   Bahar dengan adiknya Ucok harus membela musholah kampung itu yang terancam digusur keserakahan kota. Keberadaan musholah sekalipun di atas tanah wakaf digugat oleh seorang ahli warisnya Iban (Fauzi Baadilah) dan menjual  tanah itu kepada  seorang  pengusaha. Konfliknya menarik (karena kasus lapar tanah ini hal yang umum di Jakarta).  Hanya saja saya agak sangsi apakah  pada kenyataannya ada pengusaha bahkan tingkat  developer sekalipun   berani membeli tanah di mana di atasnya berdiri  sebuah musholah di Jakarta  tanpa berhitung  apakah akibat yang akan menimpanya? Salah-salah malah  kasusnya dimainkan menjadi isu politik yang seksi.    

Saya suka akting Mathias Muchus dan Dewi Irawan yang tidak ada matinya.  Hidup sekali. Begitu juga Fauzi Baadilah memainkan tokoh yang sepintas antagonis, tetapi tidak hitam  putih juga hidup.  Bahar walau pun sempat mendamprat Fatin ketika syuting untuk video untuk keperluan tayangan online, diam-diam bangga menyimpan tabloid yang memuat anaknya.  

Tetapi gengsi diperlihatkan ke anaknya.  Kalau Sang nenek, ada adegan yang  begitu naturalnya Dewi Irawan melihat teman-teman Fatin yang gondrong dan urakan,mulanya takut, tetapi akhirnya mempersilahkan ikut  makan.   Fauzi Baadilah?  Menjelang  akhir cerita saya menitik air mata ketika Iban tokoh ia yang dperankan   melihat  satu anak di pengajian  yang hanya tampil 2-3 scene,  tetapi karakternya menjadi kunci yang masuk akal untuk perubahan sikap.              

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline