[caption caption="Poster Dreams (kredit foto Muvila)"][/caption]Saya memutuskan untuk ikut vote Fatin dalam Indonesian X-Factor 2013 dengan alasan selain suaranya unik, penampilannya juga unik, seorang anak SMA di pinggiran kota Jakarta dari keluarga kebanyakan yang mengingatkan saya waktu sekolah dulu yang tampil apa adanya, kalau salah di panggung menunjukkan ekspresi dan gestur tubuh yang begitu manusiawi, bicara kerap “ceplas-ceplos”. Sikap dia di panggung atau di jagat maya sama ketika saya temui waktu saya wawancara beberapa tahun lalu.
Pendeknya Fatin itu mewakili saya. Alasan rasional dan emosional bercampur jadi satu. Alasan dia berhijab? Mungkin juga terlintas di benak saya waktu itu , tetapi itu tidak jadi alasan saya memilih kontestan berhijab lainnya di X Factor Musim Kedua dari kategori girl. Baru setelah sepuluh besar saya memilih Desy Nathalia dari kategori overage, bukan karena dia berhijab tetapi suaranya yang negro “banget” seperti Whitney Houston. Ini sekadar testimoni.
Ketika saya menyaksikan Dreams seperti kembali memutar memori tiga tahun lalu ketika Fatin masih anak “kampung Jakarta”. Hanya saja Fatin diceritakan bukan anak SMA tetapi anak kuliahan yang berteman dengan personel Krosboi Band dan Kiki (Nimas Dewantari). Fatin adalah putri tunggal dari Bahar Lubis (Mathias Muchus) yang diceritakan seorang guru dan ibunya (dimainkan Inez Tagor), juga tinggal neneknya (Dewi Irawan).
Kemudian cerita bergulir menjadi dua alur pertama Fatin yang bermimpi menjadi penyanyi. Cita-citanya itu dituangkan dalam buku hariannya yang ia beri nama Dreams. Dia mengikuti kompetisi menyanyi. Tetapi di sisi alin orangtuanya lebih suka Fatin menyelesaikan kuliahnya. Konflik ini sudah dimulai sejak awal ketika Fatin ikut kontes Sunny June di mana ia bertemu seterunya Karina Putri (Ardina Rasti).
Sya suka ekspresi muka Fatin ketika berhadapan dengan Karina itu memang natural dan itulah Fatin, sedikit takut, sedikit sebal, tetapi tidak membalas: “Di dunia ini ada dua orang, yaitu yang tidak punya kaca dan yang tidak tahu caranya ngaca! Kamu tahu kan termasuk yang mana?” Genderang perang ditabuh oleh Karina, tetapi Fatin tidak bereaksi melawan. Begitu juga ketika dia diminta melepas jilbabnya kalau menang : ekspresi mukanya itu khas sekali. Lalu Fatin berlari sambil keluar air mata tidak lebay. Selain itu ada sejumlah akting Fatin yang membuat saya menitikan air mata.
Fatin didukung teman-temannya dan seorang blogger bernama Rama (Morgan Oey) mendorongnya untuk ikut lomba lagu Indonesian Dreams secara online. Tentu tidak mudah, ada rintangannya. Bagian ini paling real dalam film arahan Guntur Soeharjanto, karena kedigayaan media sosial online mampu menjadikan orang biasa menjadi luar biasa. Dukungan animasi dengan map kota Jakarta dengan teknik animasi (CGI) membuat sinematografi menarik.
[caption caption="Fatin dan personel Krosboi dalam Dreams (kredit foto fatinsl.com)"]
[/caption]Akting Ardina Rasti saya kira menghidupkan karakter yang disodorkan penulis scenario. Hanya saja apakah di dunia nyata apakah ada seorang calon penyanyi ikut kompetisi punya nyali berkata seperti itu? Dalam skenario akting Ardina Rasti yang begitu tidak sportif meninggalkan panggung setelah tidak menjadi juara (sorry sedikit spoiler, toh penonton juga bisa menebak Fatin pasti juara dalam film ini) patut diacungkan jempol. Tetapi saya nggak yakin bisa terjadi di Indonesian Idol, X Factor atau kompetisi apa pun. Karakter Karina-nya yang lebay menurut saya, bukan akting Ardina Rasti.
Akting Morgan Oey, para personel Krosboi dan Nimas Dewantary cukup menarik dan tidak lebay. Dialog-dialog antar mereka dan Fatin adalah dialog sehari-hari. Hubungan persahabatan Fatin dengan tokoh-tokoh ini begitu kuat dan tulus menjadikan cerita ini menarik. Pelajaran bagi sinetron Indonesia bahwa hubungan suka antara laki-laki dan perempuan tidak perlu ekspresi dan gestur tubuh yang berlebihan.
Alur kedua, Bahar dengan adiknya Ucok harus membela musholah kampung itu yang terancam digusur keserakahan kota. Keberadaan musholah sekalipun di atas tanah wakaf digugat oleh seorang ahli warisnya Iban (Fauzi Baadilah) dan menjual tanah itu kepada seorang pengusaha. Konfliknya menarik (karena kasus lapar tanah ini hal yang umum di Jakarta). Hanya saja saya agak sangsi apakah pada kenyataannya ada pengusaha bahkan tingkat developer sekalipun berani membeli tanah di mana di atasnya berdiri sebuah musholah di Jakarta tanpa berhitung apakah akibat yang akan menimpanya? Salah-salah malah kasusnya dimainkan menjadi isu politik yang seksi.
Saya suka akting Mathias Muchus dan Dewi Irawan yang tidak ada matinya. Hidup sekali. Begitu juga Fauzi Baadilah memainkan tokoh yang sepintas antagonis, tetapi tidak hitam putih juga hidup. Bahar walau pun sempat mendamprat Fatin ketika syuting untuk video untuk keperluan tayangan online, diam-diam bangga menyimpan tabloid yang memuat anaknya.
Tetapi gengsi diperlihatkan ke anaknya. Kalau Sang nenek, ada adegan yang begitu naturalnya Dewi Irawan melihat teman-teman Fatin yang gondrong dan urakan,mulanya takut, tetapi akhirnya mempersilahkan ikut makan. Fauzi Baadilah? Menjelang akhir cerita saya menitik air mata ketika Iban tokoh ia yang dperankan melihat satu anak di pengajian yang hanya tampil 2-3 scene, tetapi karakternya menjadi kunci yang masuk akal untuk perubahan sikap.