Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bandung 1958 (14) : Si Gadis dan Bengawan, Kelangkaan Rokok dan Kriminalitas Anak-anak

Diperbarui: 21 Januari 2016   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang akhir 1958 ekonomi tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Para spekulan memanfaatkan gonjang-ganjing harga sejumlah komoditi untuk kepentingannya. Harga emas 24 karat sudah mencapai Rp130-140/per gram. Masalah beras  juga masih sulit diselesaikan. Harga beras di Bandung memasuki Oktober 1958 masih tetap tinggi. Beras giling kualitas I dibandroll dengan harga Rp6,50 per liter (atau  sekitar Rp 10/kg), sementara kualitas II dan III Rp 6 dan Rp 5,50  perliternya. Sementara untuk beras tumbuk dibandroll dengan harga Rp 5.50 hingga Rp 6 per liter (atau antara Rp 7-9 per kg).   Harga emas di kota kembang untuk 24 karat Rp130/gram  belum termasuk pajak 10%.

Kepala Daerah Swastantra I Jawa Barat Oja Somantri mengemukakan gagasan  salah satu solusi mengatasi kesulitan beras untuk warga Jawa Barat ialah memperbanyak tanaman gadung1, yang memang menjadi makanan rakyat. Namun ia mengakui bahwa tanaman gadung tidak bisa seterusnya dijadikan pengganti beras.  Catatan sejarah menunjukkan ketika Batavia dikepung pada 1628 masyarakat di dalam kota memakan singkong dan gadung. Namun belakangan diketahui apabila tidak dikelola dengan baik gadung bisa menjadi racun. Pada perkembangannya gagasan ini tidak mendapatkan dukungan.  

Politisi  lainnya, yaitu anggota DPRD Swatantra I Jawa Barat Abdul Hamid yang juga menjadi anggota Badan Pembelian Padi Jawa Barat mendukung kebijakan angkatan perang  untuk menertibakan perdagangan antar pulau hingga mempersempit ruang gerak para spekulan. Persoalan utama ialah harga di Jawa dan di luar Jawa perbedaan sangat tinggi. Pemerintah bisa saja menekan harga beras di Jakarta Rp6.50/kg tetapi di Palembang harganya  menjadi Ro 12,50/kg, Pontianak Rp15/kg, Kalimantan Selatan Rp17,50/kg. Hal ini membuat pedagang beras tertarik untuk mengurangi peredaran beras di Jawa Barat.  Penguasa perang bahkan mengeluarkan aturan bahwa peredaran beras 5kg saja harus memakai surat keterangan.         

Cara lain ialah  menyalurkan beras injeksi untukmenstabilkan harga  juga juga tidak mudah. Beras injeksi selain menghadapi kendala kenaikan transport,  harga beras import JUBM ini terlalu rendah dibanding harga di luar. Padahal  beras ini vital karena ditunjukan untuk pegawai dan rakyat kecil. Menteri Perdagangan Muljomiseno akhirnya juga menaikan harga beras injeksi menjadi Rp6/kg ketika sudah berada di tangan pembeli. Namun gozali Sahlan anggota Dewan Bahan Makanan  meminta keputusan itu baru berlaku sejak 1 Januari 1959. Resminya harga beras ijeksi untuk Jawa Barat Rp5,50 tetapi kenyataanya di pasar beras tetap tinggi.  

Usaha lain meningkatkan produksi beras dilakukan pemerintah dengan menunjuk Jawatan Pertanian Jawa Barat melaksanakan proyek meningkatkan produksi padi dengan cara memperbaharui bibit. Balai Penyelidikan Padi di Bogor memberikan petunjuk dengan mengenalkan bibit yang disebut jenis Bengawan dan Si Gadis. Pembaharuan bibit ini sebenarnya sudah dilakukan sejak 1934 atau vermeerderaars system. 

Bibitnya dinamakan bibit vermeerderas (bv). Pada 1934-1954 tanaman bibit 5000 hektar. Balai Penyelidikan Bogor kemudian menyebar bibit jenis Si Gadis ketiga tempat yaitu Tjihea (Cianjur), Binong (Purwakarta) dan Buahbatu (Kabupaten Bandung). Akhir Oktober-November bibit direncanakan dipinjamkan ke petani untuk dijadikan bibit perluasan 10 ribu hektar. Degenerasi akibat percampuran dengan jenis lain adalah resikonya. 

Menurut Sumardi (1983,25-27), Si Bengawan dan Si Gadis ditemukan seorang alumnus Sekolah Menengah pertanian Bogor, yang bekerja dalam penelitian padi masa Hindia Belanda  bernama Hadrian Siregar. Dia menemukan Si Bengawan dan Si Gadis bersama varietas unggul lain seperti Fajar, Cahaya.  Pada 1945 dia diangkat menjadi pegawai tinggi  pada Balai Besar Penelitian Pertanian Bogor

Namun hingga  1965, hasil tiap-tiap hektar padi di Indonesia relatif rendah. Penyebab rendahnya hasil disebabkan oleh karena keadaan iklim, kurangnya penggunaan pupuk, dan obat-obatan pengendalian hama dan penyakit. Varietas-varietas padi yang digunakan pada waktu itu, umumnya mudah rebah dan hasil gabahnya banyak yang hampa apabila diberi pupuk nitrogen yang banyak. Varietas-varietas tersebut juga tergolong varietas yang berbatang tinggi, berdaun lebar, dan berumur sedang sampai dalam. Secara fisiologis sifat-sifat tanaman seperti ini adalah kurang menguntungkan untuk pertanian intensif.

Ketika Rokok Hilang dan Ancaman Spekulan  Benang

Pada akhir Oktober 1958  sesudah beras, bensin, dan minyak tanah menghilang, rokok pun menyusul hilang di toko-toko  Kota Bandung, baik merek dalam kelompok  BAT mau pun merek lain.  Harga rokok di eceran meningkat tinggi.  Satu bungkus rokok yang tadinya dibandroll Rp0,50 menjadi Rp1,25 bahkan bisa mencapai Rp6. Rokok yang hilang  mulanya merek Commodore yang membuat perokok beralih ke Lancer dan Escort. Tetapi rokok kedua merek ini menyusul hilang. 

Para pedagang  menyebutkan alokasi  berkurang. Biasanya satu bal menjadi beberapa slof saja.  Rokok Lancer yang biasanya satu ball per minggu hanya 3 slof saja. Hilangnya rokok sebetulnya hanya sedikit menganggu  golongan menengah ke atas. Hingga 1960-an rokok merek luar negeri masih tergolong barang mewah. Namun karena terlalu banyak komoditi yang hilang,  kelangkaan rokok ikut menjadi isu.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline