Tulisan ini adalah bagian berikutnya dari upaya saya mendokumentasikan tokoh-tokoh asal Jawa Barat, setelah Oja Somantri, Sanusi Hardjadinata dan Kolonel Kosasih untuk bidang politik. Sumber untuk Djuanda sebetulnya lebih banyak terutamasumber sekunder, namun saya meringkasnya pada poin-poin tertentu untuk membuat tulisan awal. Sementara sumber primer yang lebih komplit masih dalam pengumpulan.
Djuanda Kartawidjaja dilantik sebagai Perdana Menteri Indonesia yang ke 10 pada 9 April 1957 ketika Republik Indonesia menghadapi persoalan politik dan keamanan di daerah yang sedang memuncak. Bahkan di Jawa Barat sudah terdapat gerakan kekecewaan terhadap pusat, seperti yang dilakukan oleh Front Pemuda Sunda. Munculnya Djuanda agaknya meredam kekecewaan di tanah Pasundan untuk tidak lebih menambahkan meluasnya pergolakan daerah setelah meletusnya PRRI/Permesta. Pencitraannya tenang baik dari ekspresi wajahnya serasi dengan cara berjalan dan berbicaranya yang santun merupakan poin tersendiri. Mungkin hal ini terjadi karena latar belakangnya seorang teknokrat, terpelajar daripada seorang politisi. Djuanda adalah teknokrat pertama di panggung politik Indonesia sebagai pimpinan utama. Sejarah mencatat teknokrat berikutnya adalah BJ Habibie.
Djuanda adalah Perdana Menteri terakhir yang menutup era demokrasi parlementer. Kabinet boleh silih berganti –dengan usia relatif pendek- dengan pucuk pimpinan Perdana Menteri dari Masyumi dan PNI, tetapi Djuanda diterima oleh kedua belah pihak membuat munculnya tokoh ini sebagai alternative yang tepat. Kabinet yang dipimpin Djuanda terdiri dari 20 orang menteri termasuk dia dan dua wakil Perdana Menteri dengan kabinet karya di mana menteri yang terpilih lebih berdasarkan keahlian daripada latar belakang partai politiknya. Menteri Perekonomian untuk pertamakalinya dipecah dua menjadi menteri perindustrian dan menteri perdagangan. Djuanda peletak gagasan rencana pembangunan lima tahun. Dia juga mengungkapkan tetap membutuhkan parlemen di sampingnya, karena baginya parlemen adalah hasil Pemilu 1955 yang harus dihormati.
Djuanda terpilih pada saat Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Gajah terbentuk. Reaksinya ingin menyelesaikan dengan persuasif. Pada awal pemerintahannya Djuanda menjadikan kunjungan ke Sumatra Barat sebagai agenda resminya untuk bertemu dengan para tokoh-tokoh yang sudah tidak suka pada pemerintahan pusat yang dinilai mengabaikan daerah dan sudah condong melindungi komunis. Kunjungan ini dilakukan pada April 1957. Di antara yang dijanjikan Djuanda adalah program pekerjaan umum ke luar daerah Jawa. Selain itu parlemen berhasil meloloskan undang-undang desentralisasi yang memberikan otonomi yang lebih besar bagi administrasi dan keuangan daerah. Sayangnya kekuatan politik di pusat dan peristiwa politik di Jakarta membuat gaduh dan membuyarkan peredaan ketegangan yang sudah payah dilakukan Djuanda.
Dia kemudian menawarkan pembentukan Dewan Nasional yang fungsinya memberi nasehat kepada pemerintah baik atas permintaan mau pun inisiatif dewan itu sendiri. Nasehat yang diberikan tidak mengikat tetapi berdasarkan musyawarah dengan demikian kabinet tetap bertanggung jawab kepada DPR. Yang diangkat sebagai anggota Dewan Nasional berasal dari golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional diharapkan bisa memecahkan persoalan daerah.
Awalnya munculnya Dewan Nasional disambut baik dan untuk beberapa lama ketegangan antar daerah dan pusat mereda. Sayangnya kekuatan politik di pusat dan peristiwa politik di Jakarta membuat gaduh dan membuyarkan peredaan ketegangan yang sudah payah dilakukan Djuanda. Di antaranya yang paling fatal adalah Peristiwa Cikini pada 30 November 1957, dengan desas-desus melibatkan perwira militer yang berhubungan dengan gerakan kedaerahan.
Sementara politik luar negeri juga tak kalah memanas dengan retaknya hubungan Indonesia-Belanda karena persoalan Irian Barat. Djuanda sempat terlibat polemik dengan Hatta soal perjuangan Irian barat pada akhir 1957 dan awal Januari 1958. Hatta tampaknya ingin menghindarkan jalan kekerasan karena melihat masalah ekonomi rakyat, sementara Djuanda lebih sejalan dengan keinginan Soekarno. Hatta akhirnya mengklarifikasi ucapannya bahwa rakyat kita terpaksa menderita karena harus berjuang begitu ketat dari semula dipimpin oleh pemerintahan yang teratur. Hatta menyebutkan bahwa ia berpendirian sama dengan Djuanda, Belanda harus meyerahkan Irian Barat agar ekonominya bisa dilikuidasi. Sebagai akibat dari perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajahan belanda bukan rakyat kita yang menderita dahulu melainkan orang Belanda.
“Proklamasi” PRRI
Pada 10 Januari 1958 rakyat Indonesia dikejutkan oleh ultimatum Dewan Banteng agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam lima hari. Kabinet yang baru harus dipimpin oleh Hatta dan atau Hamengku Buwono IX, jika hal ini tidak dilakukan maka akan didirikan pemerintahan baru di Sumatera. Kabinet Djuanda mengadakan sidang dan menolak tuntutan itu.
Suasana politik semakin panas ketika beredar desas-desus tentang apa yang disebut negara Sumatera yang menimbulkan kehebohan. Yang lebih mengejutkan lagi ialah sebuah dokumen yang menyebut nama Kolonel Zulkifli Lubis berhubungan dengan rencana Negara Sumatera. Masalah menjadi lebih pelik ketika Gubernur Bank Indonesia Syafrudin Prawiranegara tiba-tiba meningalkan posnya dan “boyong” ke Sumatera bersama keluarganya ( majalah Merdeka nomor 6, 8 Februari 1956).
Pemerintah semakin terdesak ketika pers dan radio Belanda ikut mendengungkan adanya pemisahan Sumatera. Berita itu bersamaan ketika masalah Irian Barat semakin memanas. Djuanda akhirnya bersikap dan kepada pers dia menyebutkan bahwa : Kita hanya mengenal satu proklamasi dan satu negara. Usaha yang menentang atau menyimpang dari pendirian itu pemerintah akan tegas”.