[caption caption="Adegan dalam Jenderal Soedirman)"][/caption]
Soedirman (Adipati Dolken) termenung sebentar sejenak berita di radio. Isi beritanya membuat emosinya tersulit : Perjanjian Roem- Royen: intinya menghentikan perintah tembak menembak. Bagi Soedirman itu artinya usaha geriliya untuk membuktikan tentara Republik Indonesia masih ada dikesampingkan begitu saja. “ Yang dilakukan pemimpin yang ditangkap Belanda malah berunding. Kita tentara yang punya martabat!”
Sebelumnya Jenderal Simon Spoor komandan tentara Belanda menggebrak meja pimpinan sipilnya yang meminta dia menarik tentara dari medan perang-karena tekanan politik kepada Kerajaan Belanda begitu kuat. Sebagai tentara ia begitu gusar, usaha kerasnya sirna begitu saja. “ Kalau kamu sehari saja ikut kami di medan perang, maka kamu akan merasakan bagaimana pahitnya di medan pertempuran!”
Dua adegan dalam film Jenderal Soedirman bagi saya begitu penting: karena inilah ideologi film yang ditunggu. Di kedua belah pihak strategi militer dan strategi diplomasi untuk penyelesaian Perang Kemerdekaan sebetulnya menjadi peredebatan sengit. Betapa marahnya diplomat Amerika Cochran ketika disepelekan oleh politsi Belanda: Kerajaan Belanda tidak butuh Hiroshima untuk memenangkan perang dan politisi Amerika lebih marah lagi ketika Marshal Plan digunakan untuk pembiayaan perang dengan Republik Indonesia.
[caption caption="Adegan dalam Jenderal Soedirman (kredit foto ww.gulalives.com)"]
[/caption]
Di pihak sipil Indonesia Soekarno (Baim Wong) dan Hatta (Nugie) di pengasingan mendiskusikan apakah tindakan mereka membiarkan diri ditangkap waktu Agresi Belanda 19 Desember 1948 benar. Bukankah keduanya berjanji akan ikut geriliya kalau Belanda menyerang Indonesia kedua kalinya? Hatta sambil meneguk secangkir entah kopi atau teh berkata: “Kita hidup enak di tempat ini sementara Soedirman berada di hutan. Saya sudah berjanji akan ikut geriliya di Sumatra!”
Toh, Soedirman digambarkan sebagai tentara patuh pada supremasi sipil. Ketika Belanda menyerang Yogyakarta, Soedirman mengajak Soekarno untuk ikut bersama bergeriliya agar tidak ditembak Belanda. Tetapi Soekarno menampik. Dalam adegan lain begitu tegasnya Seodirman menolak ajakan Tan Malaka untuk memakai cara bersenjata dengan mengkudeta Syahrir. Bahkan keduanya bertentangan sesudah Agresi ke II Belanda.
Kharakter Soedirman yang kharismatik, dipanggil Pak De oleh sebagian besar anak buahnya, menahan sakit, ditandu begitu kuat dalam film ini. Adipati Dolken begitu berhasil keluar dari aslinya dan inilah akting dia terbaik dari sejumlah karakter yang ia perankan menurut saya. Ibnu Jamil sebagai Tjokropranolo atau Noli juga menarik dan kuat. Mathias Muchus masih tampak Mathias Muchusnya daripada Tan Malaka yang begitu misterius. Baim Wong dan Nugie tidak sekuat Ariyo Bayu dan Lukman Sardi memerankan Soekarno dan Hatta. Pemeran Spoor dan politisi sipil juga kuat menurut saya. Seperti halnya film sejarah perjuangan Indonesia yang lalu-lalu selalu ditampilkan tokoh sipil seperti Karsani, bocah tanggung, ada Aceng, Hanum dan tokoh pengkihanat bernama Kunto.
Yang menjadi masalah bagi saya ialah “beban” untuk menyampaikan pesan 70 tahun kemerdekaan sangat kentara di film ini dalam beberapa adegan. Tanpa harus dituturkan saya sudah faham film ini dalam rangka kado kemerdekaan. Hati-hati dalam membuat film sejarah membuat dialog untuk masa itu jangan sampai terjebak dengan frame berpikir sekarang –seperti yang terjadi dalam 3 Nafas Likas : NKRI harga mati. Bagi saya interpretasi pembuat film sah-sah saja tetapi tetap dalam kerangka berpikir masa lalu tidak boleh diabaikan.
Saya tidak setuju kalau film ini pesanan tentara, sekali pun ada sejumlah perwira tinggi terlibat dalam produksi. Toh, sineas film ini cukup adil misalnya soal kematian Tan Malaka tidak hitam putih. Soedirman walau pun sempat kecewa dia mau datang ke Yogyakarta karena surat Sri Sultan dan mau dirangkul Soekarno dan Hatta (difoto lagi). “Saya kembalikan jabatan panglima tertinggi!”. Jujur saya mau menangis menyaksikan adegan ini. Tentara melunak : bahwa strategi diplomasi dan militer harus berjalan bersama-sama. Yang paling saya setuju Soedirman benar: tanpa dukungan rakyat keduanya tidak akan berhasil. Strategi perang geriliyanya brillian.
Film sejarah itu susah buatnya, apalagi soal biografi tokoh. Tim riset harus kerja keras. Cara berpikir, cara berdialog, cara berbusana, harus cermat. Itu sebabnya dalam mereview film sejarah nilai saya selalu tinggi paling tidak bintang tiga masih bagus kalau ada bolongnya dan empat kalau sempurna sebagai apresiasi saya untuk sineas yang membuat film sejarah (begitu juga pada yang buat science fiction). Jenderal Soedirman adalah film yang layak tonton bagi generasi muda untuk tahu bagaimana susahnya dahulu memperjuangkan kemedekaan.