Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bandung 1957 (13) Perwira Siliwangi yang Berseberangan, Peristiwa Cikini, Semangat Nasionalisasi Perusahaan Belanda Menjelang Akhir Tahun

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14279028872101654019

[caption id="attachment_407102" align="aligncenter" width="300" caption="Mobil Imperial yang membawa Soekarno sewaktu Peristiwa Cikini (kredit foto Aljon Ali Sagara https://beritafotojakarta.files.wordpress.com/2011/05/imperial-mobil-peristiwa-cikini-02.jpg/"][/caption]

Menjelang akhir 1957  sebetulnya menjadi titik balik kedaerahan di Jawa Barat.  Pembukaan Universitas Padjajaran pada September 1957, agaknya mulai meredakan konflik  kedaerahan di Jawa Barat. Faktor lain ialah  munculnya   Djuanda menjadi Perdana Menteri dan Panglima Siliwangi  yang dijabat  oleh  Kosasih yang lebih berakar. ( http://sejarah.kompasiana.com/2015/01/15/bandung-1957-7-kiprah-awal-panglima-siliwangi-kolonel-ra-kosasih-dan-politik-nasional-lokal-mei-september-717131.html ).

Sekalipun ada beberapa perwira Siliwangi berseberangan dengan rekan-rekannya yang mendukung pemerintah pusat.   Pada 1950-an antara perwira Siliwangi-sekalipun sama-sama dekat Nasution- terjadi fragmentasi seiring dengan gerakan kedaerahan.  Dalam tulisan saya http://sejarah.kompasiana.com/2014/10/17/bandung-1957-1-ketegangan-politik-pusat-daerah-dan-pergantian-pimpinan-politik-dan-militer-di-jawa-barat--696220.html disinggung soal mencuatnya nama Kolonel Sukanda Bratamenggala  yang punya kaitan dengan gerakan Zulkifli Lubis.

Sosok  Sukanda Bratamenggala ini juga disebutkan dalam buku sejarawan tentang militer Indonesia dari Australia, Ulf Sundhaussen dalam bukunya Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES, 1986 melihat perwira ini sebetulnya republik pada awalnya. Pada awal perang kemerdekaan Sukanda Bratamenggala memimpin front Bandung Utara ternyata mampu memperoleh persenjataan lengkap dari Jepang dengan cara menukarnya dengan bahan makanan. Sementara rekan-rekannya resimen dari Sumedang tidak memiliki senjata sama sekali.

Sukanda sebetulnya punya trek rekor mempunyai jiwa nasionalis  yang tinggi.  Terbukti  ketika terjadi agresi ke dua yang dilakukan oleh Belanda pada 19 Desember 1948, Sukanda termasuk perwira militer yang punya niat  menculik Soekarno dan memaksanya untuk ikut dengan tentara ke pegunungan.  Tetapi perwira lain tidak setuju karena Soekarno tidak bersedia ikut perang geriliya dan menjadi beban daripada modal perjuangan.  Dari sikapnya  ini bisa diarikan Sukanda termasuk militer garis keras, sekaligus republiken yang anti kompromi.

Dalam buku A.H.Nasution, Memenuhi Panggilang Tugas, Jilid I Kenang-kenangan Masa Muda, Jakarta, Gunung Agung, 1986  diceritakan sewaktu menjadi taruna Nasution  sering bertemu di rumah Sanusi Hardjadinata, Ukar Bratakusuma, serta Sukanda Bratamenggala, yang semuanya merupakan tokoh-tokoh Pasundan.   Menurut Ulf Sundhaussen lagi,  Sukanda masih menjadi keponakan Iwa Kusumasumantri ini kerap bertentangan dengan rekan-rekannya dalam Divisi Siliwangi.  Ketika Divisi Siliwangi telah memilih untuk menentang tataran federal, dia dan beberapa perwira Suku Sunda mendukung gagasan mempertahankan Negara Pasundan.  Dia termasuk perwira yang menolak orientasi Jawa dalam pemerintahan.  Sukanda kemudian  dimutasikan ke Kalimantan dan rekannya Akil ke Sumatera.

Pada awal 1950-an Sukanda menjadi Inspektur Infantri  dan kemudian menjadi Inspektur Jenderal Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat. Ketika terjadi pergolakan di beberapa  daerah Nasution mencium bahwa tiga perwira yang dekat dengannya Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Sukanda Bratamanggala dan Kolonel Sapari diduga terlibat upaya melawan Kabinet Ali, maka Nasution memanggil ketiganya pada 7 November 1956 untuk menghadap.

Disebutkan bahwa Zulkifli lubis dan Djuchro mencetuskan kerusuhan di Jakarta, kemudian seorang perwira bernama Suwarto menggerakan pasukan dari Cirebon dan Sukanda menggerakan RPKAD dari Bandung.   Gerakan ini tercium oleh  Nasution.   Hanya Zulkifli  Lubis yang tidak datang memenuhi undangan Nasution.  Sukanda tinggal beberapa lama di rumah Nasution dan Sapari di rumah Gatot Subroto.  Dia kemudian dikenakan tahanan rumah oleh  pengusaha militer Jakarta dan kemudian tahanan kota di Bandung.

Pada pertengahan Juli 1957 KSAD Abdul Haris Nasution  mencoba membentuk Badan kerjasama Pemuda dan Pengusaha Militer (BKP-PM)  dengan sebuah pertemuan antara 4 organisasi pemuda, yaitu Pemuda Demokrat, GPII, GP Ansor dan Pemuda Rakjat pada 17 Juni 1957 (Pikiran Rakjat, 17 Juli 1957). Inisitaif tampaknya merupakan terobosan yang dilakukan Angkatan Darat  untuk meredam fragmentasi politik yang terus melebar antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis dan kelompok komunis.

Dalam kunjungannya ke Medan AH Nasution menyebutkan bahwa ada gerakan yang mau merubah negera kesatuan menjadi federasi dari salah satu daerah di Indonesia (Pikiran Rakjat,25 Juli 1957). Tidak jelas daerah mana yang dimaksud. Tetapi pernyataan itu mungkin saja meanggapi pernyataan presiden  beberapa waktu sebelumnya.

Nama lain yang disebut ialah Kolonel Akil Prawiradiredja.  Sewaktu berpangkat Mayor, Akil mengikuti Letnan Kolonel Alex Kawilarang ke Sumatera pada Mei 1948 untuk ikut memperkuat pertahanan Sumatera. Akil juga menyertai Hatta ke Bukitinggi November 1948.  Hubungan antara Akil dan perwira Sumatera menjadi erat.   Akil  adalah  perwira seangkatan dengan Kolonel Zulkifli Lubis. Trek rekornya  pernah menjadi komandan militer di Jakarta dan juga perwira intel. Akil seperti halnya Sukanda juga dikenakan tahanan kota pada akhir 1957.

Perdana Menteri Djuanda pada 8 November 1957  menyatakan dalam sidang pleno parlemen yang terbuka  bahwa penahanan tokoh-tokoh dari Jawa Barat tidak didasarkan atas kesukuan.  Penahanan karena mereka melakukan tindak pidana di antara penggranatan terhadap Letnan Kolonel Naushi. Sejumlah perwira seperti  Kolonel Infantri Sukanda, Kolonel Infantri Sapari, letkol Infantri Djuhro dan Mayor Infantri Djaelani disebutkan  tersangkut dengan gerakan Kolonel Infantri Zulkifli Lubis  (Pikiran Rakjat, 9 November 1957).

Untuk beberapa saat ketegangan politik mereda dan semakin memberikan harapan karena sejunmalh elite politik nasional menunjukkan sikap menahan diri.Sebagai kelanjutan Musyawarah Nasional pada 10-14 September 1957, maka 25 November hingga 5 Desember 1957 diadakan Musyawarah Pembangunan Nasional. Perdana Menteri Djuanda memberikan kesempatan bagi  semua pihak yang terlibat dalam Munap ini untuk ikut memberikan masukan rencana pembangunan jangka panjang.   Dalam sambutannya Mohamad Hatta pada 25 November 1957 menyebutkan bahwa mula-mula titik berat pembangunan berdasarkan pada pelaksanaan hidup rakyat primer, yaitu makanan, pakaian, kesehatan dan perumahan.Berlainan dengan pembangunan di India dan RRC berdasarkan keuangan yang stabil, tetapi pembangunan 5 tahun di Indonesia disusun atas dasar keuangan negara yang labil  (Pikiran Rakjat, 26 November 1957).

Peristiwa Cikini

Harapan itu buyar  hanya dalam satu malam. Pada 30 November 1957 Presiden Soekarno menghadiri acara peringatan Ulang Tahun ke 15 Perguruan Cikini  bersama dua anaknya Mohammad Guntur dan Megawati.  Tak ada yang mengira sekitar pukul 20.55 ketika  Soekarno dan kedua anaknya hendak memasuki mobil terjadi empat ledakan (atau tiga ledakan?) yang berasal dari granat tangan.  Ledakan granat itu mengikuti jejak langkah Soekarno mulai dari tempat Soekarno berdiri dan membuat murid sekolah yang menjadi “pagar bagus” mengantar Soekarno ke mobil  menjadi korban. Ledakan kedua persis di muka mobil ketika Presiden berada di samping mobil hendak masuk dan ledakan ketiga di tempat Soekarno berdiri sebelum menghindar. Presiden, Guntur dan Mgeawati selamat tanpa luka.  (Pikiran Rakjat 2 Desember 1957).

Sembilan orang tewas menurut laporan Pikiran Rakjat, termasuk dua brigadier polisi lalu lintas bernama Mohammad dan Ahmad yang menjadi Vooriders Presiden, Irwan keponakan Kepala Polisi Negara Sukanto, dua perempuan , seorang perempuan dewasa dan yang satu anak kecil, sisanya seorang anak laki-laki yang menjadi “pagar bagus”  dan seorang laki-laki dewasa. Dua kroban tewas lain tidak disebutkan.  Sekitar seratus orang luka-luka dan dari jumlah itu sebanyak 70 di antaranya serius. Hingga Rabu 4 Desember 1957 sebanyak 52 korban masih dirawat di RSUP dan RS Cikini, dari jumlah itu 20 adalah perempuan (Pikiran Rakjat,2,3 dan 4 Desember 1957).  Mobil Presiden soekarno merek Chryser Imperial mendapatkan kerusakan berat. Dua ban kiri pecah, spatboard berlubang dan kerusakan pada kap dan mesin.

Perdana Menteri Djuanda mengutuk peristiwa itu dan menyebutkannya sebagai suatu perbuatan terror yang kejam (Pikiran Rakjat, 3 Desember 1957). Aparat kemananan bergerak hingga 4 Desember 1957 sebanyak 20 orang ditangkap (Pikiran Rakjat, 5 Desember 1957).  Kepala Intel Angkatan Darat Letnan Kolonel Sukendro mengeluarkan pernyataan yang menuding Kolonel Zulkifli Lubis dan tokoh-tokoh Darul Islam di belakang peristiwa Cikini (Pikiran Rakjat, 26 Desember 1957) .  Sukendro juga mengumumkan bahwa 71 orang ditahan di antaranya tokoh partai.

KSAD Jenderal Nasution  juga menuduh Zulkifli Lubis sebagai otakdan dalang Peristiwa Cikini tersebut serta dengan dalih terlibat dalam peristiwa itu, KMKB (Komando Militer Kota Basis Jakarta) mulai mengadakan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh/ pemimpin militer maupun sipil dan daerah yang dicurigai. Pemerintah juga membekukan semua hasil/keputusan Munas sehingga situasi menjadi tegang dan banyak pihak, karena merasa terancam akan ditangkap, menghilang dari Jakarta, ada yang lari ke tempat-tempat yang lebih aman di daerah, bahkan ada yang ke luar negeri.  Namun Kawilarang dalam biografinya membantah hal itu.  Bahkan tuduhan itu tidak terbukti.

Di Kota Bandung peristiwa Cikini ini memberikan implikasi yang lain.  Tuduhan Surat Kabar Pemuda di Jakarta bahwa sejumlah tokoh Masyumi terlibat dalam peristiwa Cikini, di antaranya  mengarah ke arah K.H. Isa Anshari. Tokoh Masyumi Jawa Barat ini dikabarkan menghilang dari rumahnya. Istrinya membantah bahwa Isa Anshari ada di rumahnya di jalan Balonggede dan baru ke Jakarta  7 Desember 1957 (Pikiran Rakjat, 7 Desember 1957). Hal ini terjadi karena Isa Anshari sering dikaitkan sebagai bagian Gerakan Anti Komunis.

Pada Minggu 8 Desember 1957  Gudang Mesiu di Bojongkoneng meledak dan membuat ribuan warga mengungsi. Perwira Pers Mayor M. Nawawi Alif  mengumumkan   belum ada tanda-tanda usaha sabotase.  Kerusakan meliputi “ruangan” seluas 100 meter persegi (Pikiran Rakjat, 10 Desember 1957). Peristiwa Cikini membuat ketegangan antara pusat dan daerah yang awalnya mendingin menjadi kembali memanas bahkan menjadi pertikaian bersenjata.

Ketegangan-ketegangan ini akhirnya memaksa Panglima Siliwangi,  Kosasih mengeluarkan pernyataan simpatik bahwa kewaspadaan nasional bukan kecurigaan nasional. Jangan saling perang urat syaraf, melepaskan nafsu memang dan kalah. Lebih baik menghimpun pikiran dan pendapat untuk membangun (Pikiran Rakjat, 21 Desember 1957).

Catatan Politik  Ekonomi Kota Bandung

Pada awal Desember 1957 Perdana Menteri mengeluarkan instruksi agar buruh-buruh yang bekerja di perusahaan Belanda melakukan mogok. Di Kota Bandung buruh-buruh di 49 perusahaan Belanda benar-benar melakukan mogok selama 24 jam pada hari Senin 2 Desember 1957. Ditolaknya resolusi PBB tentang Pengembalian Irian Barat ke Indonesia dengan cepat menyulut semangat nasionalisasi perusahaan milik Belanda bahkan pemulangan orang Belanda.

Pada 8 Desember 1957  Gedung Societet Concordia di Ciumbuleuit ditutup oleh Pelaksana Kuasa Militer Bandung (Pikiran Rakjat, 12 Desember 1957). Badan Pengwas Perusahaan Belanda dibentuk di Bandung. Beberapa toko buku di antarnya Toko Vorkink diambil oper (Pikiran Rakjat, 11 Desember 1957). Beberapa perusahaan besar seperti Pabrik Kina disebutkan menjadi target nasionalisasi. Namun pemogokan buruh diserukan tidak dilakukan karena akan menghentikan  produksi obat yang cukup vital masa itu.

Keadaan ekonomi warga kota makin tertekan ketika harga beras di Kota Bandung melesat melebihi upah buruh harian waktu itu  rata-rata Rp6. Padahal setiap orang buth 90 kg beras per tahun.   Sementara harga beras mencapai Rp 8,50 per Kg (Pikiran Rakjat 3 Desember 1957).  Dalam sehari harga beras naik lagi menjadi Rp9/kg.  Injeksi beras emngalami kegagalan. Polisi Bandung mencegah pedagang mengeluarkan beras ke luar daerah (Pikiran Rakjat, 6 Desember 1957).  Militer dan polisi bertindak keras. Polisi Bandung menyita 20 kwintal beras yang hendak dialrikan ke luar kota pada pertengahan Desember 1957 (Pikiran Rakjat, 11 Desember 1957).

Di luar kota gangguan keamanan menjadi-jadi. Sejak Januari hingga November 1957 di daerah Tasikmalaya 453 orang tewas dan 32 orang diculik (Pikiran Rakjat, 13 Desember 1957).  Di Kampung Sawah, Garut ayah dan ibu diculik dan anak-anaknya ditinggal hanya menangis (Pikiran Rakjat 21 Desember 1957).  Tahun 1957 boleh dibilang salah tahun tersuram keganasan gerombolan bersenjata.

Penguasa militer terpaksa melakukan pencakalan pertunjukkan sandiwara Perang Bubat yang akan dipentaskan di Tasikmalaya karena menghidupkan ketegangan daerah.  Namun mereka mengizinkan peringatan wafatnya Oto Iskandar di Nata (Pikiran Rakjat 26 Desember 1957).

Irvan Sjafari

Sumber Lain:

http://wkmm-indonesia.blogspot.com/2010/07/peristiwa-cikini-30-november-1957-upaya.html diakses pada 1 April 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline