[caption id="attachment_212374" align="aligncenter" width="300" caption="Sanusi Hardjadinata (Kredit foto Bapusida Jabar.Prov.go.id)"][/caption]
Pada 7 Juli 1951 Sanusi Hardjadinata resmi menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat menggantikan Sewaka yang menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Sukiman. Dia dilantik di Kementerian Dalam Negeri. Sanusi diangkat setelah sidang kabinet menyetujui penunjukkan pria kelahiran Garut yang waktu itu berusia 37 tahun. Tamatan HIK Bandung ini diangkat menjadi bersamaan dengan Gubernur Sumatera Tengah, Ruslan Muljohardjo dan Wali Kota Jakarta Sjamsu Ridjal.
Sanusi menjadi guru partikelir di Bandung pada masa pendudukan Jepang. Pada waktu menjadi guru ini ia mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat. Untuk mencari nafkah Sanusi juga penah berdagang.
Setelah merdeka Sanusi diangkat menjadi Badan Pekerja dari Komite Nasional Indonesia (KNI). Ketika Kota Bandung ditinggalkan Republik pada Maret 1946, Sanusi ke Garut dan diangkat sebagai pegawai tinggi diperbantukan ke kantor Keresidenan. Ketika perjanjian Renvile ditandatangani Sanusi ikut keluar dari Jawa Barat dan menjadi Wakil Kepala Politik Kementerian Dalam Negeri.
Pada masa RIS, Pemerintahan Pasundan Sanusi mendapatkan a pekerjaan khusus sebagai Direktur Departemen Pengajaran. Namun sejak pertengahan 1950 dia diangkat menjadi Residen Priangan. Dia juga merupakan anggota DPRD Jawa Barat yang mewakili PNI.
Pengangkatan Sanusi pada awalnya mendapat tantangan dari parlemen Jawa Barat, terutama dari Masyumi. Oja Sumantri anggota DPRD (sementara) dari partai itu memprotes karena pengangkatan Gubernur ini dilakukan departemen dalam negeri dan itu bertentangan dengan otonomi. Sementara dukungan terhadap Sanusi datang antara lain dari Persatuan Pamongpraja Indonesia komisariat Jawa Barat (Pikiran Rakjat, 7 Juli 1951).
Sanusi meminta anggota DPRD berbesar hati dan berbuat yang lebih konstruktif demi masyarakat hingga jalan pembangunan tidak terganggu. Bahkan kalau ketegangan terus terjadi, maka yang diuntungkan adalah golongan yang menganggu keamanan. (Pikiran Rakjat, 19 Juli 1951). Pada akhirnya memang kalangan DPRD Jawa Barat menyurutkan tantanganya.
Sanusi menekankan program kerjanya mengutamakan memenuhi kebutuhan primer rakyat Jawa Barat, seperti makanan, pakaian dan perumahan rakyat (Pikiran Rakjat, 16 juli 1951). Tantangan yang berat dihadapi Sanusi, tentunya. Belum lagi gerombolan bersenjata tak habis-habisnya membuat masalah.
Pada lebaran 5 Juli 1951, berita dari Pikiran Rakjat edisi 10 Juli 1951 menyebutkan di Cisayong, Tasikmalaya penduduk setempat merayakan lebaran di atas abu rumahnya sendiri. Dalam khotbah Sholat Ied-nya 5 Juli 1951 di Tegallega, tokoh agama yang berpengaruh di Bandung masa itu Isa Anshari mengecam kelalaian para pejabat membiarkan kesengsaraan rakyat di daerah perdesaan.
“...Suatu keanehan yang berlaku di masjarakat kita ialah orang jang paling ribut menghadapi lebaran dan mereka itu ikut lebaran sebagai kaum parasit. Mereka bersembahjang karena pangkat dan djabatan..” (Pikiran Rakjat, 7 Juli 1951).
Sanusi dan Pamong Desa
Lobby Hotel Homman Senin malam 28 April 1952 dipenuhi puluhan pamong desa atau pengurus perstuan pamong desa yang datang dari pelosok-pelosok desa di daerah Jawa Barat. Mereka mengadakan resepsi sebagai permulaan konperensi persatuan pamong desa se-Indonesia (PPDI) Komisariat Jawa Barat. Resepsi itu mendapat kunjungan pembesar-pembesar pemerintah, seperti Hamdani, Kepala Bagian Urusan Desa, Kementerian Dalam Negeri.
Seperti yang diberitakan Pikiran Rakjat edisi 28 April 1952, para tamu agung dihibur oleh lantuan lagu-lagu Hawaiian berikut tari hula-hula diikuti oleh Mang Koko dan kecapinya.
Ketua PPDI Komisariat Jawa Barat D. Rachman Sainan mengatakan pamong desa tidak ingin diistimewakan tapi tuntutan sewajarnya dan tidak aka nada tuntutan yang tidak mengingat kepentingan rakyat terbanyak. Rakyat tidak dapat terus menerus dibebani kewajiban membayar pamong desa.
Dalam Buku Republik Indonesia: Propinsi Jawa Barat yang diterbitkan Kementerian Penerangan, 1953 hal. 128 disebutkan bahwa pada masa itu pamong desa tidak digaji. Dia memang diberikan tanah bengkok, namun bukan miliknya. Tanah tidak akan memberikan apa-apa kecuali kalau mereka mau mengolahnya. Nafkah hidupnya selain dari tanah yang diberikan adalah dari upah pemberian jasa atau upah jerih payah dari rakyat yang punya urusan kepentingan.
Mengenai keberadaan pamong ini, Gubernur Sanusi menyebutkan bahwa kalau memang ingin memberontak terhadap ikatan lama hendaknya dilakukan dengan tertib. Adanya hukum –hukum adat yang mengikat desa dewasa ini untuk menggantinya harus siap dulu dengan suatu konsepsi yang berisi jaminan-jaminan yang lebih baik dan yang lama. Menurut Sanusi pamongpraja mengdepankan kolektivisme bukan individualisme. Masyarakat mengharapkan hasil-hasil tujuan revolusi (Pikiran Rakjat, 20 April 1953)
Kekurangan makan menjadi permasalahan sosial yang pelik yang disorot konferensi itu. Di daerah Cirebon tercatat 88.366 orang yang menderita kurang makan. Sementara di daerah Keresidenan Krawang tercatat 48.563 orang kekurangan makan. Di Jawa Barat 137 orang kena penyakit busung lapar di daerah Tasikmalaya dan Ciamis Selatan (Pikiran Rakjat, 30 April 1952)
Alex Prawiranata, salah seorang staf dari Kotapraja Bandung, menyebutkan suasana keamanan desa daerah KMKB Bandung masih belum memuaskan. Sekali seminggu setiap orang berusia 15 tahun wajib ronda kecuali jompo. Di Bandung pada waktu itu terdapat sekitar 2000 RT dan 700 ribu jiwa, satu RT terdiri dari 20-30 KK. Tamu 24 jam harus melapor bila berdiam di suatu rumah dan 48 jam surat izin dari Wedana (Pikiran Rakjat 9 April 1952).
Masalah keamanan yang masih begitu rumit tetap memuat gubernur ini tetap optimis. Dalam sambutan tahun baru 1953 di Radio Bandung, Sanusi menyebutkan bahwa sitausi politik dan keamanan 1952 masih tetap memberikan gambaran kumpulan benang kusut, meskipun kalau dicarikan imbangannya di tahun-tahun sebelumnya tahun 1952 disebutnya masih lebih baik. Pada tahun 1952 masih ada bagian masyarakat karena salah ditempatkan menjadi anasir yang mengganggu keamanan (Pikiran Rakjat, 2 Januari 1953).
Sanusi menghadapi situasi yang begitu menekan. DPRD Jawa Barat dalam sidangnya akhir 1952 menunjukkan dan menetapkan pemakaina uang sebesar Rp 211.095.000 untuk anggaran belanja Propinsi Jawa Barat 1953. Dari jumlah ini untuk membayar gaji pegawai propinsi habis Rp 152.721.400 dan sisanya sekitar Rp 58 juta. Sebagian dipakai untuk pembinaan bangunan baru dan sewa bangunan sekolah partikelir. Setelah dihitung maka Propinsi Jawa Barat dalam 1953 hanya bekerja dengan anggaran pengeluaran rutin sebesar Rp 35, 5 juta. Dari jumlah itu 60 persen untuk Dinas Kemakmuran seperti pertanian, perikanan, kehewanan. (Pikiran Rakjat, 2 Januari 1953).
Pada Mei 1953 Harian Starweekly edisi 16 Mei 1953 memuat desas-desus bahwa orang Tionghoa yang punya warung, toko makanan, pakaian, barang klontong di Jakarta menerima pamflet yang distensil dalam Bahasa Indonesia yang menuduh golongan Tionghoa mencari keuntungan sebesar-besarnya, mempermainkan harga barang keperluan hidup rakyat kecil, kaum miskin dan buruh rendahan, berbuat curang dalam timbang-menimbang.
Isu itu berhembus lebih kencang di Kota Bandung bahkan lebih menyeramkan: Adanya gerakan yang hendak menentang usaha para saudagar Tionghoa yang hendak menjadikan Kota Bandung sebagai kota orang Tionghoa. Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata dan Wali Kota Bandung, Enoch dengan cepat mengatakan bahwa mereka belum mendengar adanya gerakan itu. (Pikiran Rakjat, 21 Mei 1953).
[caption id="attachment_212376" align="aligncenter" width="300" caption="Kolonel AE Kawilarang (Kredit Foto Pikiran Rakjat)"]
[/caption]
Pangdam Siliwangi AE Kawilarang
Pada 15 November 1951 terjadi pergantian Pangdam Siliwangi dari Kolonel Sadikin ke Kolonel Alex Evert Kawilarang. Serah terima itu dihadiri antara lain oleh Perdana Menteri Sukiman, Wakil PM Suwirjo,Gubernur Sanusi dan wali kota (Pikiran Rakjat, 16 November 1951).
Pada awal Januari 1952 Kolonel Kawilarang mengadakan konferensi pers dengan wartawan di Bandung. Dalam perbincangan dengan wartawan Kawilarang mengemukakan bahwa pada saat itu terdapat gerombolan Bambu Runcing dan Darul Islam di Jawa Barat. Namun kejahatan juga dilakukan oleh perseorangan lepas dan tujuan dan maksud politik.
Dalam konprensi pers Kawilarang mendapat satu pertanyaan dari wartawan, yaitu apakah ada kemungkinan Tentara Islam Indonesia (TII) dihidupkan untuk mengimbangi aktifitas komunis.Kawilarang menjawab: tidak tahu. Panglima menyebutkan persembunyian gerombolan di pegunungan yang jauh dari jalan besar sekitar Garut, selatan Singaparna, Tasikmalaya, Majalnegka dan di hutan-hutan segitiga Cirebon-Subang. (Pikiran Rakyat, 4 Januari 1952).
Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH berjudul AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, Jakarta: Sinar Harapan, 1988 , disebutkan pandangannya menghadapi pemberontakan Darul Islam. Menurut Kawilarang mobilitas TNI menghadapi gerombolan DI/TII pada awal 1950-an kurang dan lamban sekali. TNI kerap menggunakan pasukan dalan jumlah besar, namun sebetulnya tidak efesien.
Kawilarang menggunakan strategi menggunakan patroli yang lebih kecil, paling besar hanya satu peleton saja. Namun patroli harus bergerak setiap hari, siang dan lama. Tiap daerah ditempatkan satu batalion yang mempunyai cadangan paling sedikit dua peleton. “Pasukan kita juga harus dekat dengan rakyat. Tentara ketika masuk desa jangan sekali-sekali memaksa rakyat memberikan bantuan makanan karena penduduk sendiri sedang kekuarangan,” kata Kawilarang seperti dalam buku itu.
Persoalan militer ini menjadi isu politik yang hangat di pusat. Pada awal 1952 situasi politik dalam parlemen dihebohkan oleh isu penerimaan bantuan Mutual Security Act oleh Menteri Luar Negeri Subarjo yang disebutkan dilakukan atas persetujuan PM Sukiman. Itu terjadi tiga hari sebelum batas waktu yang ditetapkan AS melalui dubesnya waktu itu Merle Cochran (Pikiran Rakjat, 9 Februari 1952).
Hubungan militer dan parlemen juga kurang mesra pada 1952. Dalam bukunya Kawilarang melihat adanya perbedaan visi antara militer dan parlemen yang disebabkan bahwa sekitar dua pertiga anggota DPRD dikuasai orang-orang yang pro BFO (gagasan negara bagian Van Mook).
Kawilarang menyadari bahwa bekas pejuang adalah salah satu masalah serius masa itu. Dalam sambutannya pada penyerahan 211 anggota CTN (Corps Tjadangan Nasional) kembali ke masyarakat di Lapangan UNI Bandung pada Februari 1953 ia mengungkapkan :
Saudara-sauadara kita jang keluar dari Angkatan Perang lazimnja menjebut dirinja bekas pedjuang? Saya bertanja dalam hati, apakah dalam suatu negara kita ini patutkah warganegaranja menamakan dirinja bekas pedjuang?
Dalam kesempatan itu Kolonel Kawilarang menyatakan bahwa masyarakat adalah tempat berdiam dan hidupnya Angkatan Perang. Runtuh dan jeleknya moral masyarakat membawa akibat buruk kepada Angkatan Perang sendiri.
Mereka yang kembali ke masyarakat ini telah mendapatkan pelajaran di antaranya soal teknik menjahit pertanian di Tanjung Sari. Sebagian di antara mereka ditempatkan di pekerbunan Cibaliung, Banten yang disebutkan masih kosong. Namun di Bandung masih ada sekitar 300 anggota CTN yang masih terkatung-katung dan tidak mau ditransmigrasikan.
Irvan Sjafari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI