[caption id="attachment_330618" align="aligncenter" width="300" caption="Mayor Fujiwara Iwaichi (kredit foto buku Fujiwara Kikan) "][/caption]
Hari itu, 31 Desember 1941 diPenang,di kantornya MayorFujiwara Iwaichisalah seorang perwira menengah tentara Jepangmenerima tamu tanpa pemberitahuan sebelumnya.Sebetulnya hal yang biasa bagi dirinya. Apalagi tamunya adalah Masubuchi Hasaei, 60 tahun, seorang pengusaha perkebunan yang malang melintang antara Sumatra dan Malaya yang merupakan mitranya. Sebagai perwira bagian intelejen, Fujiwaramembina hubungan baik dengan sesama orang Jepangyang mengenal daerah yang akan diduduki Jepang, kalau bisa dengan penduduk setempat yang mempunyai kebencian terhadap kolonial barat.
Pada hari itu Masubuchi memperkenalkan Mohammad Saleh, seorang Acehyang berprofesi sebagai guru Agama Islam.Saleh mengaku mendapatkan inspirasi dan kagum terhadap begitu mudahnya Jepang menaklukan bagian utaraMalaysia melalui blietzkrieg (serangan kilat).Saleh bergabung dengan kolone kelima yang dinamakan Fujiwara Kikan, tentara binaan Jepang untuk melawan pemerintah kolonial yang akan direbut Jepang.Tujuannya jelas : ingin membebaskan Aceh dari pendudukan Belanda.
Figur Fujiwara mengingatkan pada Lawrence dari Arabia, perwira Inggris yang mengobarkan pemberontakan orang-orang Arab terhadap Turki pada masa Perang Dunia I.Saleh bukan sahabat Aceh-nya yang pertama.Sebelumnya dia sudah berhubungan dengan orang Aceh lainnya bernamaSayid Abu Bakar Alydruss.Kelahiran Kampung, Kutaraja, 1915 inisudah bergabung dengan Kolone Lima sejak 20 September 1942. Keduanya bertemu di Taiping, China (yang sudah diduduki Jepang).
Abu Bakar dekat dengan Ali Hasymi, tok oh pergerakan nasional di Aceh yang bergabung dengan Sumatra Thawalib, organisasi Islam yang kental anti kolonialnya. Mantan guru madrasah ini Perguruan Islam Seulimumini kemudian membawa dua puluh orangAceh untuk mengikuti latihan militer di markas besar F. Kikan di Ipoh, Malaya yang waktu itu sudah diduduki Jepang . Gerakan Fujiawara Kikan ini mempunyai hubungan erat dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).
Organisasi didirikan melalui sebuah konferensi yang dilaksanakan secara hati-hati oleh Tengku Abdul Rachman pada 1939. Dalam konferensi ini Tengku Daud Beureuh terpilih sebagai ketua dan Noer El Ibrahimy sebagai sekretaris pertama . PUSA adalah organsisasi pergerakan yang berwarna Aceh. Lewat organisasi ini bagaikan menemukan jati diri orang Aceh yang hilang akibat tekanan pemerintah kolonial. PUSA tumbuh pesat dalam waktu singkat terutama di wilayah perdesaan.
Ulama kharismatik inimerupakantokoh pergerakan di kalangan ulama. Tengku Muhamamd Daud Beureuh pada 1930 di Garot, mendirikanDjamiatul Diniyah (ada yang menulisnya Jam’iyatud Diniyah yang berarti organisasi keagamaan).Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1899 di sebuah kampung bernama "Beureueh", daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Kampung Beureueh adalah sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro.
AyahDaud Beureueh adalahseorang ulama yang berpengaruh di kampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan "Imeuem (imam) Beureueh". Teungku Daud Beureueh tumbuh dan besar di lingkungan religius yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai-nilai Islam di mana hampir saban magrib Hikayat Perang Sabil dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ia juga memasuki masa dewasa di bawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat mengilhami langkah hidupnya kemudian.
Latar Belakang
Sejarah mencatat Aceh adalah daerah yang paling terakhir dan daerah yang melawan paling lamaterhadap kolonialisme Belanda.Kerajaan ini diserangpadaApril 1873.Serangan pertama dipukul mundur oleh Aceh, bahkan seorang jenderal Belanda yang memimpin serangan itu bernama Kohler tewas dalam suatu pertempuran.Serangan kedua yang dilancarkan Belanda pada akhir 1873 hingga awal1874 hanyaberhasil menduduki daerah kecil.Selebihnya Belanda memerlukan waktu yang lemah dan berganti-ganti strategi perang menghadapi perlawanan rakyat Aceh.
Setelah Perang Aceh “dianggap berakhir”pada 1914.Rasa dendam terhadap Belanda tidak pernah berakhir dengan masih berlangsungnya apa yang disebut pembunuhan Aceh, yaitu menyerang orang belanda, Ambon atau siapa pun yang dianggap ada di pihak Belanda.Politik Belanda dengan anjuran Snouck Hurgronyememisahkan golongan uleebalang dan ulama.Kelompok yang pertama adalah kelompok bangsawan dirangkul dan kelompok kedua dipandang sebagai anacaman karena ulama dianggapyang membuat Perang Aceh berlarut-larut hingga lebih dari empat puluh tahun.
Golongan uleebalangini sebetulnya adalah kepala-kepala daerah yang ditunjuk oleh Sultan Aceh dalam Piagam sarakata. Menurut ketatanegaraan Aceh, mereka didampingi seorang ulama dalam menjalankan pemerintahannya. Kekuasaan Kolonial di Aceh membuat para uleebalang tidak lagi memerlukan segala aturan di atas, mereka diberikan pangkat zelfbestuurder dengan gaji 10.200 gulden bagi mereka yang menguasai daerah luas dan 240 gulden per tahun bagi mereka yang menguasai tingkat desa setiap tahunnya
Meskipun kaum uleebalangkebanyakan bisa dirangkul,dunia pergerakan nasional di Aceh pada awalnya dipelopori oleh uleebalang yang nasionalis.Banyak dari kelompok uleebalang ini mendapat kesempatan sekolah hingga luar Aceh seperti OSVIA di Bukittinggi. Mereka juga mendapat tempat di Volksraad sebagai wakil rakyat Aceh. Memang biasanya mereka tidak memperdulikan nasib rakyatnya, kecuali uleebalang seperti Teuku Muhamad Hasan dan Teuku Nyak Arief.Dua orang uleebalang ini bahkan mempunyai perananan dalam pergerakan nasional.
Gerakan pertama yang berdiri di Aceh adalah Syarikat Aceh yang didirikan oleh pemuda-pemuda lulusan sekolah guru di Bukittingi, Sumatera Barat. Gerakan ini digagas pada 1914, dalam sebuah pertemuan yang melibatkan sejumlah uleebalang berpikiran maju dan juga pejabat Belanda. Dalam penggasan terjadi perbedaan faham antara kaum tua yang dipimpin Panglima Polem dan golongan muda dipimpin Teuku Chick Muhammad Thayeb. Pada 1916 Syarikat Aceh berdiri dengan ketuanya Chick Muhammad Thayeb dan wakilnya Teuku Teungoh Meuraksa, Tujuannya mengubah adat lama yang mengekang masyarakat Aceh dan memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan. Gerakan ini bersifat lokal.
Para ulama terlibat dalam gerakan yang bersifat modern setelah satu dekade.Pada 1928 Tengku Abdul Wahab di Seulimeum mendirikan perguruan Al Islam, disusul Madrasah Ahlu Sunnah Wal Djamaah di Idi oleh Said Hussein. Pada 1930 Tengku Abdul Rachman mendirikan Al Islam Peusangan di Biereun. Disusul pendirian Djamiatuddinyah Al Mutasiah oleh Tengku Syech Ibrahim pada 1931. Para ulama pembaharu ini umumnya lulusan Sumatra Thawalib.
Pada 1940-1942 bagian Pemudadari PUSAinimengadakan hubungan dengan Jepang yang sudah menduduki Malaya).Ada kesepakatan bahwa Pemuda PUSA membantu Jepang menumbangkan kekuasaan Hindia Belanda. Dinas Rahasia Jepang mempergunakan kesempatan ini untuk mengadakan perang urat syaraf di Aceh dikenal dengan gerakan F (Fujiwara Kikan). Tujuannya untuk melunakan pertahanan Belanda sebelum tentara Jepang mendarat. Caranya mengacaukan perhubungan Belanda, menimbulkan kegelisahan di kalangan pejabat Belanda dan menghalangi pelaksanaan bumi hangus. Belakangan sejumlah tokoh uleebalang juga ikut mendukung gerakan pemberontakan ini.
PemberontakanPecah
Abu Bakar kemudian bersama seorang perwira Jepang bernama Nakamiyamembuat rencana agar F.Kikan dan pemuda-pemuda Aceh memasuki Sumatra dan mengadakan pemberontakan terhadap Belanda.Pada 16 Januari 1942 enam orang di dalam perahu kecil meninggalkan Kuala Selangor membawa bekal untuk sepuluh hari membawa sejumlah bom dan granat.Rombongan kedua sebanyak dua orang berangkat pada 25 Januari 1942. Mereka berhasil menyusup ke Sumatera.
Serangan Jepang pada Pearl Habour pada 8 Desember 1941 dan gerak maju tentara Jepang membuat anggota PUSA mulai berani mengadakan pidato dan propaganda mengobarkan pemberontaka nasional. Pada pertengahan Desember 1941 pemimpin PUSA berkumpul dan bersumpah setia pada negara Islam dan bekerjasama dengan Jepang melawan Belanda.Beratus-ratus orang Aceh segera bergabung dengan gerakan ini.
Pada 19 Februari 1942 rakyat Seulimeun memulai pemberontakan panjang dan berdarah yang tidak bakal dilupakan oleh orang-orang Belanda yang pernah di Aceh pada masa itu .Para pejuang Aceh ini melakukan berbagai sabotase terhadap jaringan telepon, telegrap dan jalan kereta api.Titik kumulasi pertama dari gerakan ini terjadi pada malam hari 23 Februari ketika pecah kerusuhan besar. Kantor pemerintahan sipil Belanda setempat diserbu danmenyebabkan Kontrolir Tiggelman tewas terbunuh. Kantor pos diserbu dan uang sejumlah 5000 gulden raib. Bendera Belanda di sana dibakar. Keesokan paginya tanggal 24 Februari 1942 tejadi bentrokan antara orang-orang Aceh dan tentara Belanda.Masing-masing pihak kehilangan 12 orang tewas.
Beberapa hari kemudian seorang pejabat Belanda bernama Graaf von Sperling, pejabat penting kereta api tewas ketika melakukan inspeksi di Keumiroe. Hubungan telepon Kutaraja dan Medan terputus.Begitu juga hubunganKutaraja dengan pantai barat Aceh. Indrapuri jugamengalami serangan. Rel kereta api dibongkar, bengkel kereta api dihancurkan.Begitu juga sebuah poliklinik di kota itu.
Keesokan harinya tiga ratus orang menggunakan lambang “F”melepaskan sumbu-sumbu dinamit Belanda pada dua puluh jembatan.Sayangnya aksi ini terlalu bersemangat dan ceroboh yang menyebabkan lima orang terbunuh ketika jembatan meledak sebelum mereka dapat mengendalikan dinamitnya.
Pada 7 Maret 1942 aksi sabotase dan pemberontakan meluas ke Aceh Besar. Malam hari 7 Maret itu, barak militer Belanda di sekitar jembatan Krueng Jrue diserang. Namun pasukan pemberontak dipukul mundur. Beberapa pemberontak tertangkap dan ditawan di Kutaraja. Jam malam diadakan di Kutaraja. Resident J Pauw akhirnya mengadakan pertemuan politik dengan Teuku Nyak Arief, intinya pemerintahan di Aceh diserahkan kepadanya. Sebagai imbalannya Nyak Arief bertanggungjawabterhadap nyawa orang-orang Eropa sampai kedatangan Jepang. Tetapi Pauw menolak.
Sekalipun sudah jelasorang-orang Eropa dalam bahaya, Para penduduk sipil Eropa panik dan diungsikan ke Medan pada 9 Maret 1942. Pada 10 dan 11 Maret 1942 Residen Aceh mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Aceh tetapi Teuku Nyak Arief tidak hadir. Dia sadar Pauw hanya bermaksud menangkap pemimpin Aceh dengan cara yang licik. Benar delapan pemimpin Aceh di sana ditangkap. Komandan tentara Belanda Gosenson mengeluarkan perintah menangkap Nyak Arief.
Rumah Nyak Arief di Lam Nyong diserbu dengan membabi buta oleh tentara Belanda.Nyak Arief tidak hadir di sana karena rapat kaum muslimin di Lubuk.Keluarganya juga berhasil melarikan diri.Tentara Belanda kemudian kembali menyerang Lam Nyong dengan kendaraan lapis baja, namun dipukul mundur dari rakyat yang dimpimpin Waki Harun.Akhirnya Kolonel Gosensondan pasukan meninggalkan Kutaraja.
Kekuasaan Belanda di Aceh Berakhir Tragis
Pada 11 Maret 1942 pasukan Jepang mendarat di Kuala Buga (utara Langsa)pada saatnyawa para pejabat Belanda di Aceh berada dalam bahaya. Kotaraja segera dikosongkan satuan marsose dan infantriBelanda yang mengundurkan diri diserang. Kota yang kosong rumah-rumah milik orang Belanda ,China dan orang-orang Indonesia yang ikut Belanda dirampok dan dihancurkan ribuan pemberontak Aceh. Dua puluh orang militer Belanda yang direkrut dari orang Indonesia serta beberapa orang Eropa terbunuh di Kutaraja.
Di Kabupaten Calang, sejumlah anggota F.Kikan bawah Teuku Polo menyerang pasukan Belanda yang ditempatkan di sana pada tengah malam pada 9 Maret. Pertempuran berlanjut sampai tanggal 11 Maret menghasilkanjatuh korban puluhan jiwa di kedua belah pihak. Pada 19 Maret 1942 pasukan Jepang sudah mendudukiCalang.
Sementara di Kabupaten Tapak Tuan, Aceh Selatan seluruh penduduk bergabung dengan Abu Bakar dan diorganisasi dalam Gabungan Fujiyama Indonesia (GAFI)yang diadopsidengan Gunung Fuji.Pimpinannya adalah Teungku Rasjid.GAFI menyatakan resolusi di antaranya siap melaksanakan perintah dari Fujiwara Kikan,berperang melawan pemerintah Belanda, setia pada pemerintah Jepang dan mengorbankan pemberontakan di Tapak Tuan melawan Pemerintah Belanda.
Pada 15 Maret begitu mendengar sebuah rencana Belanda ingin menghancurkan fasilitas publik, mereka mencegah.Barak militer Belanda di Blang Pidie diserang.Tetapi puluhan tentara Belanda datang memukul pasukan GAFI dan membuat 30 orang gugur. Tetapi pada 17 Maret pasukan Aceh menyerang barak militer Belanda diTapak Tuan dan menyebabkan 100 orang Aceh gugur dan 10 terluka.
Di tempat lain,Asisten Residen Belanda Van Den Berg di Sigli terbunuhpada 12 Maret 1942. Barak militer dan penjara juga diserbu.Tentara Jepang yang sudah mendarat bergabung dengan F.Kikan akhirnya menawan tentara Belanda di sana.Orang-orang Fujiwara Kikan berhasil mencegah bumi hangus tentara Belanda. Pembunuhan juga terjadi pada agen polisi Belanda di Sidikalang dalam wilayah Tapanuli dilakukan oleh rakyat Aceh di Singkel.
Pada12 Maret tentara Jepang juga mendarat di Sabang, Ujung Batei (Timur Laut Kutaraja). Kolonel Gosenson dan dua ribu pasukannya mundur ke Takengon dan bermaksud mengadakan perlawanan secara geriliya. Namun rakyat tidak mendukung. Pada 28 Maret 1942bersama Mayor Jenderal Overraker dan Kolonel Gasenson menyerah.Ada satu kesatuan marsose dipimpin LetnanVan Zaten mencoba bertahan. Tetapi pada 10 Maret 1943 mereka terpaksa menyerah dalam keadaan menyedihkan.Van Zaten dan sebagian besar kelompoknya ditembak mati di Bukit Tinggi.
Berbeda dengan daerah lain yang diduduki Jepang, kekuasaan Belanda di Aceh berakhir selama-lamanya dengan cara yang sangat tragis. Pada masa perang kemerdekaan, ketika daerah lain jugadilanda peperangan dengan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, sejarah mencatat tentara Belanda tidak pernah menyerang Aceh pada Perang Kemerdekaan.
Irvan Sjafari
Sumber:
Iwaichi, Fujiwara, Lt.General F.Kikan: Japanese Army Intelligence Operations in South East Asia during World War II, Hongkong, Singapore,Kuala Lumpur, 1983
Lebra, Joyce CTentara Gemblengan Jepang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988
Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan-kerajaan di Sumatra, Jakarta: Sinar Harapan, 1987
Reid, Anthony, An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra, Singapore University, 2005
Safwan, Drs. Mardanas, Pahlawan Nasional Teuku Nyak Arief, Jakarta: Departemen P & K, 1976
Van’t Veer, Paul, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers, 1987
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Interview Plus edisi Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H