Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Review “Di Balik 98”: Drama Manusia dalam Peristiwa Reformasi”

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421504225322045352

[caption id="attachment_391390" align="aligncenter" width="512" caption=" Adegan Di Balik 98 (Kredit foto https://img.okezone.com//content/2015/01/15/206/1092752/dibalik-98-ajarkan-hargai-kebebasan-berpendapat-d0i61B63lW.jpg)"][/caption]

Enak ya jadi tentara. Kalau nggak suka hajar! Kalau nggak suka tembak! Punya isteri hamil ditinggal! Emangnya tentara tidak punya hati!” Diana (Chelsea Islan) begitu emosoional ketika melihat Letnan Dua Bagus (Donny Alamsyah), walau pun iparnya yang menjadi tentara. Pihak yang paling dibenci oleh mahasiswa pada 1998. Sang kakak Salma (Ririn Ekawati) seorang pegawai istana menghilang dalam keadaan hamil besar. “Kamu pikir enak di rumah! Kau pikir enak enak jadi tentara! Itu kan yang ingin kamu dengar! Puas kamu!” Bagus juga emosional.

Adegan di depan Gedung DPR/MPR merupakan salah satu adegan terbaik dari film Di Balik 98. Adegan itu dimulai ketika Diana yang rasa tidak sukanya di ubun-ubun itu melihat kehadiran kakak iparnya ikut berjaga. Pertengkaran mereka dengan latar belakang suara teriakan para mahasiswa terasa getir. Chemistri keduanya memang sudah terbangun sejak adegan sebelumnya ketika Diana, aktifis mahasiswa Trisakti kerap pulang telat. Diana begitu ketus meninggalkan meja makan ketika tersinggung mendengar kata-kata kakaknya bahwa sebagai petugas dapur istana dan suaminya tentara tidak enak dilihat orang.

Ini yang menginjak dengan sepatu lars? Semut saja melawan diinjak ketus Diana. “Dasar anak kecil!” Lalu tanpa rasa gentar Diana melawan: “Memang kenapa dengan anak kecil?” Dia kemudian menyambar tasnya dengan rumah. Tentunya Diana sebagai mahasiswa begitu emosional apalagi setelah empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru aparat di kampusnya. Sang kakak begitu ketakutan ketika Diana tidak bisa diketahui kabarnya pasca penembakan begitu pucat. Di Balik 98 memang berhasil drama manusia-manusia pada peristiwa reformasi.

Pacar Diana, Daniel (diceritakan dari etnis keuturnan Tionghoa) mengalami nasib mengenaskan. Ayahnya dan adiknya Lusi menghilang setelah terjadi peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998. dia sendiri juga nyaris dikeroyok massa yang anti etnis Tionghoa masa itu. Walau pun akhirnya mereka bertemu, Daniel dan keluarganya trauma dan hengkang ke luar negeri. Chemistri keluarga ini cukup terbangun dan membuat saya menitik air mata ketika mereka bertemu di mesjid yang menampung pengungsi. Adegan yang cukup bagus.

Drama semakin lengkap dengan seorang ayah pemulung (Teuku Rifnu) dan anaknya (Bima Azril) sebagai wakil kaum marjinal. Sewaktu peristiwa Trisakti mengira ada perayaan ABRI. Sang anak ingin kaus sepakbola Indonesia nomor 10 (nomornya Kurniawan. Tragisnya kaus itu didapatnya, tetapi ayahnya tiada. Air mata pun jatuh.

Dari segi drama Dibalik 98 memang berhasil. Rekonstruksi peristiwa krisis moneter, demonstrasi mahasiswa, Peristiwa 12 Mei, pendudukan DPR, pernyataan Harmoko dan jatuhnya Soeharto cukup lumayan. Walau pun ada beberapa lubang yang dikritisi sebagian resensi yang tidak saya bahas di sini. Kritik bahwa Lukman Sardi sebagai alumnus Trisakti (Fakultas Hukum) menonjolkan almaternya tidak salah juga, karena film sebagai seni memang tidak bebas dari subyektifitas. Secara pribadi saya malah menantikan film dengan latar belakang peristiwa Mei 1998 dari sudut anak-anak Trisakti.

Amoro Katamsi tentunya berhasil memerankan Soeharto yang sudah ia sudah perankan dalam Pengkihanatan G30 S PKI beberapa puluh tahun yang silam. Agus Kuncoro lumayan memerankan Habibie, tetapi pemeran tokoh lain seperti Amien Rais, Harmoko, Abdul Gafur, Nurcholis Madjid, Gus Dur, Wiranto, Prabowo tidak mirip benar lumayan, sekalipun beberapa penonton di sekitar saya tertawa dibuatnya. Sekalipun tidak bisa dibandingkan Lukman Sardi dengan Arifin C. Noer dulu, kehadiran para tokoh ini perlu untuk menghidupkan drama para manusia dalam peristiwa bersejarah itu.

Saya setuju Alya Rohali direkrut jadi pemain, walau hanya menjadi rekan sekerja Salma di dapur istana. Karena Alya Rohali adalah mahasiswa Trisakti pada Mei 1998. Sebetulnya Wanda Hamidah juga aktris, paad waktu itu mahasiswa Trisakti bahkan hadir waktu penembakan 12 Mei 1998. Akting Alya Rohali biasa saja, tetapi mimik wajahnya ketika melihat Soeharto menyatakan mundur menarik.

Sepintas rekronstruksi yang dilakukan Lukman Sardi mirip dengan cara Arifin C Noer dalam Pengkihanatan G 30 S PKI. Tetapi serba tanggung. Harusnya juga ada sosok Elang Mulya dan tiga rekannya. Saya setuju juga dengan rekan kompasianer lain, namanya tidak terlalu jelas disebutkan. Saya rasanya tidak melihat Adi Andoyo Dekan Fakultas Hukum Trisakti, mungkin terlewat. Rektor Trisakti Prof. Dr. R Moedanton Moeteredjo tampil. Mungkin terlewat oleh saya. Tetapi kalau sampai tidak ada rasanya Lukman Sardi terburu-buru.

Memang sukar membuat rekonstruksi sejarah walau hanya dijadikan latar belakang sebuah kisah fiksi, termasuk juga penggambaran pendudukan DPR/MPR, setting di kampus dan Trisakti - tentunya sudah ada perubahan dan memakai tempat lain- tentu bisa dirasakan oleh para pelaku sejarah termasuk yang menjadi mahasiswa masa itu. Saya hargai upaya itu Lukman Sardi yang baru beberapa kali menjadi sutradara film dan temanya juga berat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline