Lihat ke Halaman Asli

Syifa Aulia

Long life leaner

Peran Kemendikbudristek dalam Mengatasi Isu Kekerasan Seksual di Salam Ruang Lingkup Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 19 November 2021   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Youtube Talkshow Mata Najwa dengan Nadiem Makarim

Oleh Syifa Aulia, 210501010007, KM 101 

Prodi Komunikasi, Universitas Siber Asia

 Fenomena isu kekerasan seksual sudah menjadi suatu masalah yang sangat sensitif di Indonesia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut tertuang secara jelas dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan merupakan dasar filosofis dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Namun isu tersebut sering terjadi mulai dari kalangan anak-anak hingga dewasa.

Maraknya kasus kekerasan seksual saat ini, mengundang beragam reaksi respon dari masyarakat. Kasus tersebut sering terjadi pada kaum perempuan, hal ini dijelaskan oleh Abdul Wahid "perempuan telah menempati strata inferior akibat perilaku superioritas yang ditunjukkan laki-laki dengan menunjukkan kekuatan fisiknya" (Abdul Wahid,dkk, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Refika Aditama, Bandung, hlm.14).

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2008 hingga 2020 sangat tinggi. Sedangkan angka pengaduan tertinggi terhadap kejadian kekerasan yang dialami korban berkisar 2.389 kasus pada tahun 2020[1]

 Dalam ruang lingkup pendidikan, tingkat kekerasan seksual tertinggi terdapat pada jenjang Universitas atau Perguruan Tinggi. Pemerintah perlu menyikapi dan memberikan solusi yang terbaik untuk memberikan rasa aman terutama kepada kaum perempuan agar pelajar Indonesia dapat belajar dengan tenang dan aman dari rasa gangguan ataupun cemas atas kasus kekerasan seksual. Maka dari itu Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbudristek) No.30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Perguruan Tinggi.

 Menurut penjelasan Mendikbudristek, Nadiem Makarim dalam talkshow Mata Najwa pembahasan yang terdapat dalam Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 di lingkungan Perguruan Tinggi adalah;

  • Membentuk satu unit satgas yang bertugas untuk pelaporan, pemulihan, perlindungan, dan monitoring rekomendasi sanksi;
  • Mengatur norma yang bersifat terlalu rigid baik kekerasan secara verbal, fisik, non fisik hingga dilakukan secara digital;
  • Partisipasi dari civitas akademika didalam proses.

Munculnya Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 mengenai isu kekerasan seksual dilandasi dengan adanya Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila merupakan wujud nyata kinerja Kemendikbudristek yang terimplementasi dalam Merdeka Belajar Episode 1 hingga 13 dalam mengatasi segala macam masalah yang terdapat dalam lingkup pendidikan. Adapun 6 ciri Profil Pelajar Pancasila yaitu :[2]

  • Beriman, Bertakwa kepada Tuhan YME, dan Berakhlak Mulia;
  • Berkebinekaan Global;
  • Gotong Royong;
  • Mandiri;
  • Bernalar Kritis
  • Kreatif

Mengacu pada azas pertama Profil Pelajar Pancasila yaitu Beriman, Bertakwa kepada tuhan YME, dan Berakhlak Mulia bahwa Kemendikbudristek mempunyai peran untuk membentuk karakter Pelajar Indonesia memiliki akhlak yang mulia dan Kemendikbudristek juga memiliki peran untuk melindungi Pelajar Indonesia mulai dari Pendidikan Usia Dini hingga jenjang Perguruan Tinggi. Dengan adanya Permendikbudristek No.30 Tahun 2021, Kemendikbudristek akan lebih tegas menyikapi masalah-masalah kekerasan seksual yang marak terjadi dengan memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan seksual terutama dalam jenjang Perguruan Tinggi.

Apabila penulis  mengaitkan dengan teori dari Stephan W. Littlejohn dan Karen A. Foss yang mengemukakan bahwa agenda setting theory adalah teori yang menyatakan bahwa media membentuk gambaran atau isu yang penting dalam pikiran. Hal ini terjadi karena media harus selektif dalam melaporkan berita. Saluran berita sebagai penjaga gerbang informasi membuat pilihan tentang apa yang harus dilaporkan dan bagaimana melaporkannya. Apa yang masyarakat ketahui pada waktu tertentu merupakan hasil dari penjagaan gerbang oleh media (Littlejohn & Foss,2009:416). [3]

Analisis antara Program Talkshow Mata Najwa telah menerapkan teori agenda setting karna program ini membentuk titik isu kritikal yang sangat penting yaitu tentang peran Kemendikbudristek dalam mengatasi isu kekerasan seksual didalam dunia pendidikan Indonesia yang sangat transparansi dengan penyampaian yang tepat, sesuai dengan data dan fakta yang akurat, serta memiliki solusi yang disampaikan untuk masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline