[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="Ilustrasi (Sumber: Kompas.com)"][/caption] Beberapa hari terakhir, media mainstream ramai dengan isu pelegalan aborsi yang kontroversial itu. Walaupun sebenarnya isunya kalah ramai oleh berita mengenai penetapan putusan MK terkait pilpres 2014 (yang pengumumannya berlangsung hari ini). Kembali ke pelegalan aborsi tadi, MenKes menegaskan bahwa aborsi tetap dilarang dengan alasan apapun kecuali untuk dua kondisi yaitu: 1) darurat medis, dan 2) kehamilan akibat perkosaan. Supaya lebih jelas, saya kutip pemaparan lebih lanjut mengenai pelegalan aborsi untuk dua kondisi di atas. Dalam Pasal 31, aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan legal dengan syarat usia kehamilan paling lama berusia 40 hari, terhitung sejak hari pertama haid terakhir si perempuan tersebut. Sedangkan aborsi dengan kondisi darurat medis, maksudnya adalah kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan Ibu atau kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat atau mempunyai cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga akan menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Lagipula, status 'darurat medis' ini tidak bisa diputuskan secara sembarangan. PP ini juga mengatur tentang orang yang berhak memutuskan apakah kehamilan tersebut layak atau tidak untuk aborsi, orang-orang ini disebut dengan tim kelayakan aborsi. Tim ini terdiri dari minimal dua orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Pemicu kontroversialnya PP ini, adalah munculnya kekhawatiran di masyarakat tentang kemungkinan siapa saja bisa mengaku-ngaku sebagai korban perkosaan (bisa jadi kehamilan akibat sex bebas kemudian bisa saja mengaku sebagai korban perkosaan). Oke, mengenai kekhawatiran tentang hal ini, sebenarnya PP ini mempunyai'paket lengkap' tata cara yang harus dilakukan sebelum aborsi akibat hasil perkosaan dilakukan. Sebut saja ini dengan 'paket lengkap'. 'Paket lengkap' ini terdiri dari prosedur yang dilakukan pra dan pasca aborsi. Paket lengkap itu berupa: pertama pembuktian. Kehamilan akibat perkosaan dalam pasal ini harus dibuktikan dengan: 1) Usia kehamilan yang sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter, 2) Keterangan dari penyidik, 3) Keterangan dari psikolog, dan atau ahli lainnya mengenai adanya dugaan perkosaan. Kemudian, yang kedua adalah konseling. Konseling dalam bentuk seperti apa? Dalam pasal ini disampaikan, bahwa konseling terdiri dari konseling pra-tindakan dan konseling pasca tindakan. Adanya konseling pra-tindakan bertujuan untuk: 1) Menjajal apa yang dibutuhkan oleh perempuan yang mengajukan aborsi, 2) Menginformasikan pada perempuan tersebut apakah tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, 3) Menjelaskan tentang apa dan bagaimana efek samping dari tindakan aborsi atau kemungkinan komplikasi, 4) Membantu perempuan tersebut untuk mengambil keputusannya sendiri, apakah akan melakukan aborsi atau membatalkan aborsi. 5) Konselor menilai bagaimana kesiapan perempuan dalam menjalankan aborsi. Katakanlah, kemudian tindakan aborsi dilakukan. Maka prosedur dalam 'paket lengkap' selanjutnya adalah konseling pasca tindakan. Konseling pasca tindakan bertujuan untuk: 1) Mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi, 2) Membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalankan aborsi, 3) Menjelaskan perlunya kunjungan ulang pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan. Dari pemaparan mengenai "Aborsi tetap dilarang, kecuali dalam dua kondisi yaitu darurat medis dan korban perkosaan" saya memahami ini sebagai sebuah 'paket lengkap'. Kenapa saya sebut-sebut sebagai paket lengkap? Karena PP ini sudah mengatur dengan cukup rinci tentang bagaimana prosedur tindakan aborsi dilakukan. Untuk kondisi darurat medis: assesment dari tim kelayakan-konseling pra tindakan-(jika dilakukan tindakan aborsi maka berlanjut dengan konseling pasca-tindakan). Untuk kondisi korban perkosaan: pembuktian sebagai korban perkosaan (Usia kehamilan sesuai, keterangan dari penyidik, keterangan dari psikolog, yang menguatkan adanya dugaan perkosaan)-pembatasan usia kehamilan (maksimal 40 hari)-kemudian konseling pra tindakan-(jika dilakukan tindakan aborsi maka berlanjut dengan konseling pasca-tindakan). Jika dilihat dari Sudut Pandang Agama Jika dilihat dari sudut pandang agama, saya hanya akan menyampaikan dari sudut pandang agama yang saya anut. Khawatir salah jika saya mengungkapkan dari sudut pandang agama lain, yang saya awam tentunya. Biar pandangan-pandangan lainnya dilengkapi oleh kawan-kawan kompasianer lainnya :) Sepengatahuan saya, dalam Al-Quran QS Al-Mukminun ayat 12-14 dijelaskan tentang fase-fase penciptaan manusia. Dan beberapa tafsir terhadap ayat tersebut mengungkapkan, bahwa ruh manusia ditiupkan pada rahim ketika janin berusia 4 bulan. Oleh karenanya, tidak heran ketika banyak ditemukan di masyarakat muslim Indonesia melakukan syukuran 4 bulanan. Jika dilihat dari sudut pandang ini, dikaitkan dengan PP 61 yang menyaratkan aborsi baru bisa dilakukan ketika usia kehamilan 40 hari. Jadi, dalam sudut pandang ini tidak ada hal-hal yang berlawanan. [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Ilustrasi (Sumber: msafropolitan.com)"]
[/caption] Pilihan Bagi Perempuan Korban Perkosaan Selain dilihat dari sudut pandang agama (dalam hal ini Islam), dilegalkan aborsi bagi perempuan korban perkosaan, tentu memberikan pilihan bagi si perempuan. Kehamilan hasil perkosaan tentunya buah dari keterpaksaan, dimana si perempuan tidak menghendaki kehamilan ini. Ini tentunya berakibat pada mental/psikologis si perempuan. Selain beban psikologis, bakal anak yang dikandung juga merupakan sebuah amanah. Dalam situasi normal saja, in my humble opinion, kehamilan harus lah dipersiapkan. Bagaimana cara mendidik anak nantinya juga harus dipersiapkan dengan cara berdiskusi dengan suami yang menghasilkan kesepakatan bagaimana pola pengasuhan anak nantinya. Pola pengasuhan yang dimaksud adalah seperti misalnya nilai-nilai positif apa saja yang perlu ditanamkan pada anak. Tentunya dengan menjadi teladan terbaik bagi si anak. Jika orang tua mengharapkan anaknya berperilaku jujur dan mempunyai leadership yang baik, tentu si orang tua lah yang menjadi teladannya. Tentu berbeda kondisinya jika orang tua adalah single parent, situasinya mungkin akan lebih menantang. Maksud saya disini, dengan adanya peraturan yang melegalkan aborsi untuk korban perkosaan (dengan catatan usia kehamilan dibawah 40 hari) memberi pilihan bagi si perempuan. Pilihan tentu diambil setelah mempertimbangkan apakah siap atau tidak, atau minimal adakah niat untuk mengemban amanah ini (baca: anak) nantinya? Dengan adanya pilihan ini, bisa jadi si Ibu tetap mempertahankan kandungannya, dengan kondisi mental yang lebih baik. Mempertanyakan Integritas Dua sub bahasan sebelumnya memang pro terhadap legalisasi aborsi untuk dua kondisi, dari sudut pandang Islam tentang fase kehidupan manusia yang menyatakan ruh baru ditiupkan di usia 4 bulan, dan pandangan tentang kebijakan ini memberi pilihan pada perempuan. Tetapi, di sisi lain saya masih ragu dengan bagaimana aplikasinya "paket lengkap" PP 61 tahun 2014 ini dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Yang saya ragukan atau khawatirkan adalah mengenai integritas dari si pemohon tindakan aborsi, atau si termohon tindakan aborsi. Di awal saya paparkan mengenai PP 61 tahun 2014 yang menjelaskan tentang "Paket Lengkap" tata cara tindakan aborsi yang diperbolehkan. Yang jadi kontroversi kan untuk kasus korban perkosaan. Paket lengkapnya mulai dari:
Pembuktian sebagai korban perkosaan (Usia kehamilan sesuai, keterangan dari penyidik, keterangan dari psikolog, yang menguatkan adanya dugaan perkosaan)-pembatasan usia kehamilan (maksimal 40 hari)-kemudian konseling pra tindakan-(jika dilakukan tindakan aborsi maka berlanjut dengan konseling pasca-tindakan).
Yang saya khawatirkan adalah adanya oknum yang memanfaatkan kebijakan ini untuk melegalkan aborsi yang diilegalkan.
Dalam konteks lain, misalnya dalam ranah suap dan pemerasan, mau tidak mau kita mengakuinya, praktek suap dan pemerasan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai penyuap misalnya, atau aparatur pemerintah (oknum) yang aktif melakukan pemerasan-masih marak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ini mengindikasikan krisis integritas.
Nah, saya khawatir krisis integritas ini juga melebar ke ranah kesehatan, termasuk dalam konteks tindakan aborsi. Tapi, semoga saja kekhawatiran ini tidak terjadi. Semoga.
Sumber: Peraturan Pemerintah RI No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi
Mampang Prapatan, 21 Agustus 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H