Lihat ke Halaman Asli

Jureny

Mahasiswa

Pademi Covid-19, Masih Perlukah Omnibus Law Cipta Kerja?

Diperbarui: 7 Mei 2020   04:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini telah menimbulkan penurunan kegiatan ekonomi global yang sangat tajam. Khususnya Indonesia, pandemi ini juga telah mengakibatkan kecemasan para tenaga kerja di Indonesia karena mereka terancam terkena Pumutusan Hubungan Kerja (PHK) bahkan tidak sedikit sudah terkena PHK.

Upaya untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 khususnya dari sisi hukum telah juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, diantaranya mengeluarkan berbagai peraturan diantaranya peraturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan telah juga diterapkan dibeberapa provinsi, kabupaten dan/atau kota, diantaranya DKI Jakarta sejak 10 April 2020.

Dalam situasi yang sulit saat ini –meskipun sebenarnya sejak dari awal sudah dipermasalahkan oleh para serikat pekerja dan penggiat tenaga kerja sebelum pandemi Covid-19–, terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk menunda pembahasan RUU tersebut. 

Keputusan penundaan pembahasan RUU ini sedikit meredakan kecemasan para serikat pekerja dan penggiat tenaga kerja yang mewakili para tenaga kerja, tetapi harapan mereka tetap bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang ada saat ini tidak perlu karena dianggap substansi RUU tersebut lebih banyak merugikan para tenaga kerja.

Berikut beberapa hal yang dipermasalahkan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap merugikan para tenaga kerja:

  1. Hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota. RUU ini hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota.
  2. Masalah aturan pesangon yang kualitasnya dianggap menurun dan tanpa kepastian. Nilai pesangon bagi pekerja yang terkena PHK turun karena pemerintah menganggap aturan yang lama tidak implementatif. Sebelumnya aturan mengenai pesangon ada di UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  3. RUU Omnibus Law ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Sebelumnya, dalam aturan UU tentang Ketenagakerjaan penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok (core business).
  4. Sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar dihapuskan. RUU Omnibus law ini menggunakan basis hukum administratif, sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda. Sanksi pidana bagi pelanggar pesangon dan PHK dihapus. Padahal kalau dulu ada sanksi pidana, masuk pidana kejahatan.
  5. RUU ini dianggap akan membuat karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap. Kemudian, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) termasuk buruh kasar yang bebas, PHK yang dipermudah, dan hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

Secara umum, tujuan Pemerintah membuat Omnibus Law secara keseluruhan adalah baik, yaitu untuk meningkatkan investasi di Indonesia yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, tujuan untuk meningkatkan investasi ini —yang inti semangatnya mempermudah investasi— haruslah tidak mengorbankan atau menurunkan hak-hak dasar pekerja.

Ditengah pandemi Covid-19 dan pasca pandemi Covid-19 nantinya, jelas posisi pekerja lebih sulit karena mereka tidak ada pilihan untuk bekerja seandainya hak-hak dasar mereka-pun dikurangani. 

Dalam kondisi perekonomi baik saja, pekerja sudah merasa kesulitan berhadapan dengan pengusaha dalam menyelesaikan hak-hak mereka, apalagi dalam kondisi perekonomi semakin turun drastis akibat pandemi Covid-19. 

Upaya pemerintah untuk mendatangkan investor asing agar perekonomian Indonesia bisa lebih baik melalui Omnibus Law perlu didukung. Namun, pembuatan Omnibus Law dapat saja dilakukan tanpa perlu menyentuh kluster ketenagakerjaan karena muatan-muatan lain dalam kluster lain diluar ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law, seperti perizinan, perpajakan, bea cukai, justru hal ini yang sangat urgent yang perlu diperbaiki.

Dari sisi kepentingan ketenagakerjaan, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19, RUU Omnibus Law kluster ketenagakerjan harusnya bukan hanya ditunda pembahasannya, tetapi harus dihentikan pembuatan RUU tersebut.*****

Oleh: Jureny
Binus University




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline