Kamis malam, 30 Juli 2020, bertebaran breaking news di berbagai stasiun TV. Penyebabnya, Kepolisian Republik Indonesia, yang dipimpin langsung oleh Kabareskrim, berhasil menangkap buronan kelas kakap, Djoko Tjandra, di Malaysia.
Sebelumnya, beberapa waktu silam, Menkumham juga berhasil menangkap buronan bernama Maria Lumowa, di Serbia. Sungguh merupakan prestasi yang patut kita apresiasi. Mari berikan applause yang meriah.
Penangkapan Djoko Tjandra menjadi bukti keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menegakkan hukum yang tidak hanya tajam ke bawah. Pemerintah tidak main-main untuk mengejar para buronan kasus apapun, di manapun berada, bahkan sampai yang bersembunyi di ujung bumi. Semua pasti dikejar.
Sayangnya, gaung peristiwa penangkapan tersebut sepertinya kurang disambut hangat oleh masyarakat, baik di dunia nyata maupun di medsos.
Sejatinya, masyarakat sudah bosan karena tiap hari dicekoki pemberitaan pandemi covid-19. Sementara, di dunia maya, beberapa hari belakangan ini warganet dilanda tsunami kabar pelecehan seksual yang menyangkut suatu komunitas, ditambah lagi kabar 'fetish bungkus jarik'.
Walau membanggakan, toh kabar penangkapan Djoko Tjandra masih belum bisa 'menyegarkan' lini masa. Justru, yang menjadi trending di Twitter adalah nama Harun Masiku, buronan kasus suap KPU. Netizen baru akan bersorak sorai bila Harun Masiku tertangkap. Mungkin begitu logikanya.
Masyarakat cenderung tak terlalu peduli dengan penangkapan Djoko. Tentu wajar jika publik merasa demikian.
Kita masih ingat, bagaimana dengan mudahnya buronan ini keluar masuk Indonesia, bahkan sampai merekam e-KTP, dan mendaftarkan Peninjauan Kembali di Pengadilan. Terlebih, setelah ada oknum aparat hukum yang terbukti ikut 'bermain' di kasus ini, kepercayaan publik terhadap supremasi hukum di negeri ini semakin memudar.
Netizen menebak, di pengadilan nanti, kasus ini hanya akan menjadi ajang formalitas belaka. Masa hukuman Djoko pun diprediksi tak akan lama. Sungguh tidak menarik dan sangat membosankan. Itulah skenario sesuai common sense publik saat ini.
Namun demikian, alangkah baiknya jika kita menghindari syak wasangka pada sistem peradilan Republik Indonesia tercinta. Kasihan tho, Pemerintah dan penegak hukumnya sudah bekerja pontang panting, respon kita malah datar-datar saja, bahkan nyinyir. Kan enggak baik.
Jadi, mari kita berasumsi, bahwa nantinya Djoko akan benar-benar dipenjara dengan masa hukuman yang cukup 'masuk akal' untuk ukuran seorang buron kelas wahid.