Lihat ke Halaman Asli

Gubernur DKI Masuk Kabinet, Cegah Gubernur Berulah

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika pemberitaan surat-suratan mengenai kebijakan mobil murah dari pak Jokowi kepada Wakil Presiden Boediono, sangat jelas terbaca terjadinya communication gap di antara pejabat pemerintah. Sejatinya terputusnya saluran komunikasi antara pejabat publik yang mengurusi ibu kota negara tak terjadi kala itu saja. Pembangunan MRT juga pernah tersandera gara-gara negosiasi pembebanan biaya pembangunan antara pusat dan daerah yang sempat terhenti di kisaran angka 1%.

Sejarah rupanya berulang. Pada jaman dahulu pun Presiden Soekarno sudah merasakan bagaimana pentingnya peran Gubernur DKI dalam sistem pemerintahan nasional. Sehingga pada jaman Kabinet Dwikora II, Gubernur DKI dimasukkan ke dalam jajaran Kabinet. Koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota diharapkan menjadi lebih terjalin. Belajar dari sejarah, usulan revisi UU DKI untuk mengkhususkan jabatan gubernur DKI pernah saya tulis di Kompasiana ini tanggal 30 September 2013.

Hari ini Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo melontarkan usulan memasukkan Gubernur DKI ke dalam jajaran kabinet. Usulan ini terlontar setelah menyaksikan silang pendapat penanganan banjir di ibu kota. Masalah jalan yang amblas 20 cm malah menjadi komoditas berita yang ramai. Konon  pak Jokowi mengeluhkan kinerja jajaran Kementerian PU dalam memelihara jalan nasional TB Simatupang.

Pak Ahok pun tak mau ketinggalan melempar gurauan bernada politik ketika memerintahkan pembukaan pintu air Manggarai. Pintu air di Manggarai memang menjadi pusat kendali distribusi air yang salah satu alirannya melalui Istana Negara, tempat Presiden Yudhoyono berkantor.

Tak dapat dipungkiri bahwa putusnya komunikasi antar-pejabat publik dilatarbelakangi salah satunya oleh perbedaan aliran politik di antara beliau-beliau. Sistem pemilihan kepala daerah langsung seolah-olah telah melepaskan khitah jabatan gubernur dari sistem pemerintahan nasional yang menganut sistem presidensiil.

Keadaan ini diperburuk akibat pasangan gubernur DKI berasal dari partai oposisi, partai yang berseberangan dengan pemerintah pusat. Tak mengherankan apabila seolah-olah pak Jokowi tak memiliki HP untuk menelpon Menteri PU ketika memerlukan tindakan menteri untuk mempercepat penanggulangan banjir.

Bukan saja pak Jokowi tidak mau menggunakan teknologi, ketidakberesan pelayanan publik justru dijadikan alat untuk melegitimasi telah bubrahnya pemerintah pusat yang dikomandani Partai Demokrat. Sehingga tak mengherankan, banyak yang bertepuk tangan ketika pak gubernur menyatakan mengambil alih kewajiban menteri PU dalam memelihara jalan itu.

Politik tetaplah politik. Bagaimana pun religiusnya masyarakat Indonesia. Setiap celah akan selalu dapat dimanfaatkan oleh lawan politiknya. Agar masyarakat tidak menjadi korban politik, perlu penyempurnaan sistem politik secara kontinyu. Pengkhususan kepada Gubernur DKI perlu segera diberikan demi kelancaran jalannya pemerintahan nasional. Memang benar Indonesia tidaklah Jakarta saja. Tetapi harus diakui, Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia, wilayah dimana pemerintahan pusat berdomisili.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline