Lihat ke Halaman Asli

Sampai Kapan Kita Memusuhi Jalan Tol?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengherankan! Kisruh kepemimpinan di sebuah kota menjadi berita nasional? Realitasnya memang begitu, gonjang-ganjing yang menerpa Ibu Risma, walikota Surabaya, menjadi pergunjingan tanpa henti di media massa belakangan ini. Drama seolah-olah akan segera mencapai anti klimaks dengan pengunduran diri beliau. Tetapi episodenya belum berakhir, bahkan menjadi lebih menarik dengan munculnya berbagai bentuk dukungan mencegah pengunduran diri beliau.

Ane tak ingin melibatkan diri dalam mendukung kepemimpinan ataupun mendukung pengunduran diri beliau. Ane juga bukan warga Surabaya.

Konon pro-kontra  terhadap Ibu Risma berawal dari ketegasan beliau menolak pembangunan jalan tol yang sedianya melintas di Kota Surabaya. Ibu Risma diberitakan lebih memilih pembangunan jalan biasa, yang gratis.

Riuh rendah masyarakat terhadap pembangunan jalan tol sebenarnya juga baru saja mereda di Jakarta. Ketika awal Jokowi-Ahok menjabat, sontak gemuruh masyarakat menggema menyambut keputusan gubernur baru menolak rencana pembangunan 6 ruas jalan tol di tengah kota Jakarta. Seakan-akan satrio pininggit pembela kebenaran telah tiba, saatnya semua anggota masyarakat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di jalan raya.

Tetapi belakangan terdengar, pembangunan jalan tol di tengah kota Jakarta akan dilaksanakan untuk mengurangi kemacetan Jakarta yang semakin menggila. Kenyataannya Pemprov DKI juga tak menganggarkan untuk membangun jalan raya baru, meskipun pemilik kendaraan setiap tahun membayar pajak kendaraan bermotor.

Bila Indonesia tak memiliki Mbak Tutut yang ototnya lembut tetapi pengaruhnya kuat ketika itu, mungkin Jakarta tak memiliki jalan tol dalam kota yang saat ini mejadi urat nadi perekonomian nasional. Atau andaipun bisa diselesaikan, mungkin nasibya seperti nasib pembangunan ruas jalan tol Ulujami-Kebon Jeruk. Pembangunan jalan tol JORR (Jakarta Outer Ring Road) juga penuh dengan drama yang mementaskan  disparitas rakyat miskin dan warga yang beruntung.

Konsep pelayanan publik dengan menggandeng kaum pemodal sejatinya bukanlah haram, bahkan telah dipilih oleh negara-negara maju semacam negara-negara OECD. Para pejabat kita sering menyitir istilah good governance ketika memberikan sambutan.  Entah mereka mengetahui atau tidak, konsep good governance dilahirkan oleh penggaas neolib, yaitu: Bank Dunia, IMF, bersama negara-negara OECD. Mereka membuat konsep pemerintahan yang memberikan tempat yang sama kepada masyarakat madani, dunia usaha, dan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Memang dalam perjalanannya, aliran manajemen pemerintahan beraroma neo-liberal mendapat kritikan dari kelompok kiri yang lebih mengedepankan kesetaraan. Tetapi ayunan bandul ke kiri dan kenan akan terus bergerak tak pernah berhenti pada titik stasioner. Warga kaya dan miskin akan terus ada. Kita harus memilih dan konsisten dengan pilihan yang diambil.

Bila demikian halnya, akankah jalan tol selalu menjadi simbol pengistimewaan warga kaya dan sekaligus memarjinalkan warga miskin? Jalan tol akan selamanya menjadi pembangkit rasa kecemburuan sosial selama pemerintah tidak mampu membangun infrastruktur transportasi publik menggunakan pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline