Lihat ke Halaman Asli

Akibat UMP DKI Rendah, Semua Rugi!

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua puluh tahun lalu, berangkat kerja pukul 6 pagi dari rumah di pinggiran Jakarta dianggap terlalu pagi. Pada saat itu, sebagai karyawan nine to five, sinar matahari bisa dinikmati setiap hari. Masih banyak aktivitas bisa dilakukan selepas jam kantor. Terlebih pada hari Sabtu dan Minggu, saatnya bepergian mengunjungi sanak famili.

Lama kelamaan, berangkat kerja pukul 6 pagi sudah menjadi rutinitas yang apabila terlambat bangun pagi sedikit saja, pasti menorehkan tinta merah pada kartu absensi. Lama-kelamaan, jam berangkat kerja terus bertambah maju agar terhindar dari tinta merah. Perjuanan untuk pulang kerja juga tak kurang horornya. Mudah-mudahan tak terancam kartu merah dari suami atau istri di rumah.

Sinar matahari semakin hari semakin menjadi mahal. Jalan raya benar-benar menyiksa warga. Tak terkecuali pada hari Sabtu dan Minggu. Arisan atau acara kumpul-kumpul keluarga  menjadi begitu memberatkan.

Saat ini telah banyak karyawan di DKI yang menjadi karyawan five to nine, berangkat kerja pukul 5 pagi dan tiba kembali di rumah pukul 9 malam. Tak ada waktu yang tesisa lagi untuk bermasyarakat. Pengorbanan sebagai karyawan terasa semakin berat. Pengorbanan bekerja yang semakin berat mendatangkan harapan gaji yang lebih tinggi.

Di lain pihak, para pengusaha merasakan produktivitas karyawan semakin menurun. Para sales yang biasanya bisa mengunjungi hingga 4 pelanggannya dalam sehari, kini bisa mengunjungi 2 saja sudah bagus. Benar-benar memusingkan pengusaha menjawab tuntutan karyawannya meminta kenaikan gaji pada saat penurunan produktivitas.

Jakarta penuh dengan segala macam usaha. Pemerintah DKI masih terus berusaha menarik segala macam investasi. Termasuk investasi-investasi padat karya. Kebijakan ini jelas akan mengundang labih banyak lagi karyawan yang berjuang untuk hidup di Jakarta. Mungkin tak mau para investor menanamkan modalnya di daerah lain, Gubernur DKI pun menerapkan UMP yang setara dengan daerah-daerah penyangga.

Entah sampai kapan kebijakan seperti ini dipertahankan. Tak ada yang diuntungkan. Semua rugi, baik pengusaha maupun buruhnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline