[caption id="" align="aligncenter" width="583" caption="Ilustrasi: jumlah sepeda motor di Jakarta tumbuh tak terkendali secara eksponensial. Para pengendara sepeda motor setiap hari hilir-mudik menempuh jarak yang tiada wajar lagi (sumber foto: yahoo.com) "][/caption] GPL (gak pakai lama), kurang dari sebulan ditinggal kampanye oleh gubernurnya, Ahok mengumumkan rencananya memberlakukan kawasan bebas motor di DKI. Kebijakan yang selama ini dinanti akhirnya muncul. Meskipun baru sebatas rencana, seberkas cahaya kota Jakarta yang beradab mulai tampak di kejauhan. Mengapa baru muncul padahal sudah disuarakan sejak lama? Barangkali Ahok tak menanggung beban seperti yang dialami bosnya. Bila diamati, pengendara motor di Jakarta jumlahnya bejibun. Suatu jumlah yang tak mungkin diimbangi dengan jumlah aparat kepolisian. Mereka sering dianggap kaum marginal atau sering menyebut diri sebagai wong cilik yang membutuhkan perhatian pemerintah. Bagi Jokowi yang sejak mengucapkan sumpah jabatan gubernur selalu menyembunyikan hasratnya nyapres beliau, mengutak-atik kepentingan wong cilik merupakan tindakan riskan. Celengan kepopuleran beliau bisa amblas gara-gara mempersulit ruang gerak orang sulit. Dari sekian banyak wacana pembenahan transportasi Jakarta yang selama ini disampaikan oleh Jokowi, tak sekali pun menyentuh pengaturan sepeda motor. Padahal dari segi jumlah yang lalu lalang di jalan, sepeda motor adalah rajanya. Pertumbuhannya juga membuat geleng-geleng kepala. Dengan kondisi sedemikian, kampanye transportasi publik yang digembar-gemborkan oleh pemerintah DKI terasa sangat hambar. Rasanya sangat aneh mengharapkan para pengendara sepeda motor akan mau beralih ke MRT, monorel, atau bus Transjakarta. Dengan BBM subsidi, biaya operasional sepeda motor akan menjadi sangat murah. Biaya itu tak mungkin dibandingkan dengan biaya naik MRT, apalagi naik monorel. Kebijakan menekan harga tiket Transjakarta ala pak Jokowi tak kan bisa bertahan lama. Kualitas bus akan menjadi taruhannya. Terbukti, bus-bus lama banyak yang tak terawat malah menimbulkan kemacetan gara-gara mogok di perempatan jalan. Di tengah-tengah kemunafikan para pejabat mengakui kerusakan kehidupan berpemerintahan oleh para pengendara sepeda motor, tiba-tiba muncul Ahok bak menantang tsunami tanpa beban. Paralel dengan rencana pemberlakuan zona bebas motor, Ahok juga mewacanakan kenaikan harga tiket bus Transjakarta hampir 2 kali lipat dan penghapusan subsidi BBM di Jakarta. Basa-basi kebijakan yang mengakomodasi warga migran miskin dari berabagai daerah di Jakarta harus ditinggalkan. Hal ini semata-mata untuk menjadikan Jakarta sebagai ibu kota negara yang representatif. Memang betul Jakarta milik semua wargnegara Indonesia. Tetapi setiap warganegara harus mendahulukan kewajiban sebelum menuntut hak. Dalam keadaan seperti sekarang ini, DKI memang harus dipimpin oleh pejabat yang berani tak populer dan tegaan. Resikonya memang besar, tetapi hasilnya juga akan signifikan. Ini benar-benar sebuah pertaruhan besar dan penting. Kita tunggu, sebesar apa taruhan Ahok berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H