Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Kebijakan Ahok Mulai Membahayakan Warga?

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: penumpang Kopaja naik bus melalui pintu kiri, sangat berbahaya bagi penumpang dan pengendara lain

[caption id="" align="aligncenter" width="648" caption="Ilustrasi: penumpang Kopaja naik bus melalui pintu kiri, sangat berbahaya bagi penumpang dan pengendara lain (Foto: okezone.tv)"][/caption] Masa bulan madu Ahok dan operator APTB dan Kopaja AC telah berakhir. Ahok telah memutuskan mulai tanggal 1 Agustus 2014 tiket Kopaja AC dan bus APTB tidak dijual lagi di halte-halte Transjakarta. Para penumpang yang ingin menggunakan layanan Kopaja AC harus membayar tiket Transjakarta dan tiket Kopaja itu sendiri. Dengan begitu penumpang Kopaja AC akan merasakan kenaikan harga 70%, dari harga Rp 5 ribu menjadi Rp 8.500. Sepintas lalu keputusan Ahok ini akan berdampak pada penurunan jumlah penumpang Kopaja. Konon tangan-tangan gaib Adam Smith akan bekerja dengan sendirinya mengatur jumlah permintaan akibat perubahan harga. Sebuah fenomena umum dalam sistem mekanisme pasar. Tetapi rupanya konsumen dan produsen jasa angkutan Kopaja AC di DKI Jakarta ini menanggapi trigger perubahan harga tidak seperti makhluk ekonomi umumnya dalam sistem mekanisme pasar. Entah siapa yang mendahului, baik konsumen dan produsen ternyata berusaha mempertahankan kesetimbangan harga yang semula. Di sepanjang jalur Ragunan - Kuningan saat ini mudah dijumpai Kopaja AC yang menaikkan penumpang tidak di halte TransJakarta. Ini dilakukan untuk menyiasati tiket ekstra yang harus dibayar penumpang untuk sekedar masuk halte. "Kecerdikan" penumpang dan sopir ini membuat harga kembali pada tingkat Rp 5 ribu, yaitu kembali pada kesetimbangan semula. Respon pasar atas kebijakan Ahok ini jelas membahayakan warga. Lajur busway dibuat pada sisi paling kanan jalan bertujuan agar bus tidak lagi berhenti di sembarang tempat seperti di jaman-jaman dulu. Para penumpang pun dipaksa naik dan turun bus melalui pintu sisi kanan bus. Pintu bus juga dibuat tinggi yang hanya bisa dijangkau melalui halte. Dengan menaikkan penumpang tidak di halte, berarti penumpang Kopaja naik bus melalui pintu sisi kiri bus. Penumpang harus berjibaku dengan derasnya arus lalu lintas untuk menuju lajur busway yang terletak di sisi paling kanan jalan. Ternyata penumpang yang ingin turun pun ikut memanfatkan keadaan ketika bus menaikkan penumpang. Kondisi ini jelas lebih buruk dibandingkan pengoperasian bus-bus Kopaja biasa atau Metromini yang terbiasa berhenti atau ngetem di sembarang tempat. Perilaku penumpang dan sopir ini tidak saja membahayakan penumpang bus Kopaja. Pengendara lain harus ekstra waspada karena selalu ada kemungkinan warga berusaha mengejar bus Kopaja AC yang melaju di lajur busway. Warga DKI yang sejak dilahirkan memiliki tanggung jawab sosial yang rendah tidak akan mempedulikan kepentingan warga lainnya kecuali dipaksa secara fisik. Apalagi, alasan survival selama ini mendapat toleransi. Mudah-mudahan Ahok segera menyadari kekeliruannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline