Lihat ke Halaman Asli

Butler #8

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian 8

In-joo spontan bangkit dari posisinya, Jun terhenyak dan menodongkan tatapan tajam kepada seseorang yang sekarang bersandar dengan pongahnya pada salah satu daun pintu. In-joo tidak tahu apa yang terjadi yang jelas dia bisa merasakan hawa menakutkan di ruangan ini.

“Aku tahu jelas pintu itu masih berfungsi.” Jun berusaha menahan suara tetap stabil. Saat ini gadis itu sedang bersama mereka dan dia tidak mau menimbulkan kesan buruk terhadap gadis itu dipertemuan pertama mereka, meski dia rasa hal itu sangat mustahil untuk dilakukan.

“...”

Jordan memasang ekspresi dingin lalu melangkah masuk tanpa mempedulikan wajah masam Jun. Dia memang sengaja melakukan itu. Jordan menangkap sosok yang berdiri disana. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan seorang calon trainee berpenampilan selusuh itu. Pakaian musim dingin yang dikenakannya sangat tidak pantas, dan celana jeans suit berwarna lumpur itu, belum lagi rambut dengan potongan sependek itu. Jordan sulit mendefenisikan style apa yang dikenakan orang ini. Jordan bahkan ragu memutuskan jenis kelamin orang tersebut, posturnya seperti seorang pria namun wajahnya terkesan feminim.

In-joo tidak terbiasa mendapat tatapan penuh selidik seperti ini, apalagi dari sosok yang begitu tampan dengan wajah balasteran, belum lagi gaya berbusana terbilang nyentrik. Bahkan sejak kemunculan pria ini , In-joo benar-benar mampu menangkap aura selebritis yang begitu kuat dari sosok tersebut. Pria itu kembali memasang ekspresi dingin dan berpaling dari In-joo, lalu memilih duduk di sofa diantara Jun dan In-joo. In-joo menghembus nafas panjang, dia lupa sejak tadi dia terus menahan nafas.

“Maaf ya, atas kejadian barusan.” Jun berhasil menelan amarahnya, sebelum berkata demikian terhadap In-joo dengan penuh keramahan. In-joo tersenyum kecil dan mengangguk. Dia kembali menatap pria disebelahnya, aneh rasanya karena dia merasa cukup kenal dengan sosok tersebut.

Dia tidak terlihat asing. Tapi dimana aku pernah melihatnya?

Jordan menoleh ke arah orang itu, sesaat pandangan mereka bertemu. Buru-buru orang itu menutup wajahnya dengan menatap arah berlawanan, Jordan menangkap gelagat aneh dari orang tersebut. Jujur saja dia merasa sedikit terhibur dengan ekspresi gugup yang ditampilkan orang tersebut.

Ah, kena kau!

“Ehem.” Jun mendeham untuk mencairkan suasana. Kemudian berkata lagi dengan nada tegas. “Baiklah, aku rasa semuanya sudah berkumpul di sini. In-joossi, perkenalkan ini Jordan.” Dia memasang senyum seramah mungkin untuk gadis itu. “Dan Jordan, perkenalkan ini In-joo,” senyum ramah Jun langsung berubah menjadi dingin, sedingin suhu sungai Han saat ini. “Dia yang akan menjadi asisten barumu.”

“...”

“Ya?”

Jordan dan In-joo saling melempar tatapan penuh tanda tanya pada Jun.

“Bagaimana Dong-gun?” kali ini Jordan bertanya.

“Aku memerlukannya untuk Jeung-won. Bagaimanapun Jeung-won harus memulai debutnya di L’Olleal, jadi aku putuskan Dong-gun akan mendampinginya mulai hari ini.” Jun menjelaskan.

“Oh? Sudah kuduga,” In-joo mendengar pria itu bergumam. Jordan lalu bangkit dari tempatnya, sekilas Jun menyaksikan kilat amarah terpampang jelas di wajah pria itu. “Katakan saja apa yang sedang kau rencanakan? Aku muak mengikuti semua permainanmu. Kemarin pers, lalu produser dan sekarang mengganti assist.” Jun berusaha menyela, namun Jordan berkata lagi “Jangan kira aku hanya tinggal diam dan menerima semuanya begitu saja. Aku tidak akan tinggal diam. Tidak sampai aku menghancurkanmu, idiot!”

“JORDAN PARK !!!” pekik Jun.

“Jordan Park?!” In-joo hampir pingsan begitu mendengar nama itu. Pantas saja sejak tadi dia merasa kenal dengan wajah ini. Bersyukurlah pada sobatnya Lee Hye-ri yang merupakan anggota JPErZ, nama fans club dari Jordan Park sendiri.

Pria itu memberikannya sorotan tajam. In-joo mulai berpikir untuk lari ketika didaratkan tatapan mematikan seperti itu.

“Oh, iya. Maaf. Aku belum katakan bahwa....,” Jun mendapati gadis itu bingung dan semakin bingung, “Tunggu dulu, jangan bilang sejak tadi kamu tidak tahu kalau Jordan ini adalah Jordan Park?” Jun bertanya dengan hati-hati.

In-joo hanya menggeleng dengan polosnya.

“Humpfft..pfft..phua..hahaha..haha..haha..ha..” Jordan tidak sanggup menahan tawanya kini tertawa sekeras-kerasnya tanpa bisa dibendung. “hahaha...hah...ha-h. Jun, kau hebat. Kau benar-benar hebat! Darimana kau temukan anak ini?” tanyanya dan masih memegangi perutnya.

Anak?!

Jun berusaha menenangkan In-joo yang sekarang mulai terlihat kesal.

Jordan berkata lagi, “Menarik. Menarik sekali. Kau tahu Jun, ini sebenarnya lebih gila dibanding diserang lima berandalan idiot itu. Kau hebat sekali, Jun!”

“Diserang?” Alis In-joo mengerut.

“Mengenai masalah itu aku akan memberitahumu nanti,” bisik Jun pada In-joo. Jordan tidak memperhatikan pembicaraan mereka, dia masih sibuk mengontrol tawanya.

“Sudah hentikan!” hardik Jun.

Jordan spontan berhenti lalu memperhatikan orang itu lagi, “Pffthuaa..haha...tidak bisa...hahaha...”

***

“Maaf, aku tidak bisa memberitahu profesimu yang sebenarnya di sini.” Jun menyodorkan segelas kopi kepada gadis itu. In-joo menerimanya dengan hormat.

Pertemuan tadi cukup mengejutkan, In-joo sampai kehilangan kata-kata. Entah darimana dia harus memulainya, yang jelas semuanya sudah terlanjur terjadi, dan tidak ada kesempatan untuk mengelak.

“Aku tahu, kamu pasti terkejut dengan semua situasi ini. Entah bagaimana aku harus menjelaskannya padamu.” Jun terlihat sangat lelah di mata In-joo, itu membuat gadis itu mulai membayangkan betapa beratnya beban yang harus dipikul seorang manajer artis.

In-joo menyesap minumannya lagi, begitu aroma kopi melekat ditenggorokannya pikirannya mulai tenang dan mulai mencerna dengan baik. Namun dia tidak berusaha menyela Jun dan lebih memilih pria itu menjelaskan maksudnya lebih lanjut.

Jun menatap jendela kaca besar dan gambaran kaki langit mendung begitu lembut di matanya, namun ketika dia menatap ke bawah, jalanan itu tampak seperti sebarisan semut yang sedang berparode riuh.

“Aku tidak bermaksud menyusahkanmu, hanya saja aku pikir mungkin lebih baik jika anak itu tidak tahu statusmu di sini. Aku kira pekerjaan ini lebih efektif jika memang demikian. Profesimu sebagai asist hanya sebagai topeng. Aku tahu anak itu tidak pernah akan setuju jika aku menempatkan pelindung di sisinya,” Jun menghembuskan nafas berat. Dia berbalik memperhatikan In-joo dengan seksama, “ditambah lagi kalau dia tahu bodyguardnya seorang wanita,” Jun tertawa kecil membayangkan hal itu. “Dia tidak akan suka mendengar ini.”

In-joo bisa menangkap nada gurauan pada kalimat itu.

“Aku dengar dia diserang, apa itu benar?”

Jun mengangguk, “Yah, sekitar dua minggu yang lalu. Aku mendapatkannya tergeletak di sebuah kastil Joseon tidak sadarkan diri.”

“Ya?!” In-joo menyerngit bingung. "Bagaimana...?"

“Ada beberapa masalah yang terjadi. Semuanya begitu kompleks. Sampai sekarang aku masih berusaha mengklarifikasikan beberapa bukti dari hasil penyerangan itu, tapi tetap saja buntu. Ada pula beberapa opini situasi yang bisa dikondisikan tapi aku perlu saksi mata langsung untuk mengenal lebih jelas kejadian perkaranya, dan karena itu aku tidak bisa langsung mengambil keputusan bulat.”

“Bukankah kejadian ini lebih baik diserahkan pada pihak kepolisian?”

Jun tersenyum memahami penalaran tersebut, “Tentu saja tidak bisa kulakukan begitu saja. Orang yang kita bicarakan saat ini adalah Jordan Park.”

“Ah...” In-joo mengangguk.

***

Sinar matahari terpancar lembut dari jejas kabut yang dihasilkan oleh langit mendung. Ini sudah menuju pukul satu siang hari, namun langit lebih memilih menutup kehangatannya. Hawa dingin begitu terasa di kedua pipi In-joo. Siang itu dia terpaksa harus berjalan kaki dari halte bus menuju rumah. Jarak yang harus dia tempuh memang tidak begitu jauh, namun ditengah cuaca sedingin ini, In-joo lebih memilih mempercepat langkahnya untuk segera menikmati suguhan teh hangat diri Mun-gyol.

In-joo mendorong pintu kayu tersebut dan sepasang bola mata melotot tajam padanya. Hye-ri muncul disana sembari berkacak pinggang.

“Hye-ri? Apa yang kau lakukan di sini?”

“Apa?!”

“Yah, apa?”

“Mencarimu, tolol!”

“Mencariku?”

Hye-ri menghela nafas dan wajahnya semakin kesal. “Kau!”

In-joo tersentak kaget.

“Aku kira hobimu kabur-kaburan benar-benar hebat. Kau luar biasa lihai, radarku saja bahkan tidak bisa mendeteksi keberadaanmu. Bagaimana caramu bersembunyi selama dua minggu ini?!”

In-joo melongo heran, sepenggal pemahaman mulai terlintas dipikirannya. “Maaf. Maaf ya? Aku lupa mengabarimu. Tunggu dulu, tapi ini kesalahanmu sendiri. Kau tidak menampakkan wujudmu ketika aku berpamitan dengan eunni.”

“Gem-lan eunni?”

In-joo mengangguk.

“Kenapa aku bisa lupa menanyakannya pada wanita itu? Kenapa aku justru mendapat informasi ini dari Tae-woo brengsek?” In-joo mendengar gadis itu mengomel pada dirinya sendiri.

“Ah, sudahlah lupakan. Aku sangat kedinginan disini, lebih baik lanjutkan ocehanmu di dalam saja, oke?” tanpa pikir panjang dia mendorong Hye-ri memasuki pintu geser.

AHJUMMA !!! Aku kedinginan, berikan aku sesuatu yang hangat !” Mun-gyol terlihat melintasi lorong dan In-joo berteriak sekencangnya sampai-sampai wanita itu mengayunkan centong ditangannya dan menunjuk gadis itu dengan garang. In-joo tersenyum lebar lalu mengatupkan tangannya sambil terlihat menggigil.

“Aku baru tahu, Mun-gyol punya majikan begitu jahat,” protes Hye-ri.  “AHJUMMA !!! AKU HAMPIR MATI BEKU !!!”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline