Lihat ke Halaman Asli

ButLer #5

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bagian 5

“AAARGH!!! Sial! Dasar brengsek! Rubah sialan!” Dong-gun tidak sanggup menahan Jun yang menggila. Sudah dua hari sejak insiden rumah sakit dan Jun masih belum menemukan Jordan. Baik di apartemennya maupun di setiap hotel dimana lokasi-lokasi Jordan terpampang di hampir seluruh rubrik media Korea sebagai berita terpanas minggu ini “Jordan dengan seorang wanita di sebuah hotel bla…bla…”. Jun memilih tidak akan pernah ikut campur untuk masalah itu, lain hal jika selera Jordan berpindah jalur.

Hyung, apa perlu kita menghubungi mereka? Siapa tahu dia di sana?” pertanyaan itu tiba-tiba terbit di pikiran Dong-gun.

Jun menyerngit, “Mereka? Siapa?”

“Eh, itu…keluarganya?”

“Tidak perlu.”

“Eh, tapi siapa yang tahu dia…”

“Aku bilang tidak perlu!” potong Jun cepat. “Dia bisa kemanapun sesukanya, kecuali London. Anak itu, dia tidak ada di sana.”

Meski sedikit ragu dengan keyakinan Jun, namun Dong-gun memilih patuh. Satu alasan, karena dia yakin Jun mengenal betul siapa Jordan.

“Argh, sialan!” Jun mematikan ponsel, “Aku akan mencarinya, kau tinggal di sini dan kabari aku bila ada kabar soal anak itu.” Dia lalu meraih kunci mobilnya dan keluar dengan tergesa-gesa.

***

Jordan menatap layar ponsel dengan malas, setidaknya sudah ada lima belas nada panggilan beruntutan di sana. Nama Jun tertera pada urutan pertama. Ini memang bukan pertama kalinya dia mangacuhkan panggilan Jun, namun ini pertama kalinya dia pergi tanpa kabar.

Suasana studio sangat sepi, Jordan satu-satunya manusia yang tersisa di tempat itu. Dia sengaja datang, dia tahu hari ini tidak ada jadwal rekaman. Dipastikan tidak ada yang akan mengganggu tempat ini, begitupun dia. Dia benar-benar ingin sendiri, setidaknya saat ini.

Dia perlu waktu untuk berpikir. Berpikir untuk dirinya. Berpikir untuk semuanya. Namun setelah berjam-jam lamanya berpikir danberpikir, hingga kini dia sudah dua hari membeku ditempat yang sama. Hasilnya nihil. Jordan tetap tidak mengerti, dan pikirannya berputar-putar kembali lagi ke semula.

Kalau saja dia memilih bereaksi, apa semua masalah selesai? Apa itu bisa meredakan reaksi para anti-fan dan fans fanatik Yoo-na? Apa seharusnya dia mengangkat kasus itu ke pengadilan, atas kasus pencemaran nama baik atau kasus kekerasan fisik? Atau memaksa Yoo-na menjelaskan identitas asli pelakunya? Dia mungkin akan terbebas dari keruwetan ini seandainya dia melakukan itu, dia tahu dia tidak bersalah, dan tidak ada satupun dari tuduhan media itu terbukti benar. Sekedar isu panas, bernilai komersil bagi para pers.

***

Tiga bulan lalu, media memberikan tembakan peluru panas kepadanya. Kasus pelecehan seksual yang dialami dua aktris papan atas Korea, Kim Hyoo-rin dan Park Yoo-na. Seluruh media tahu, sebelumnya keduanya adalah ex-Jordan. Jordan dengan segala latar belakangnya soal wanita menarik kecurigaan kepadanya.

Selama beberapa minggu hal tersebut kemudian tenggelam sekedar isu. Namun semakin mencuat dan bertambah panas, ketika Hyoo-rin secara terang-terangan mengaku pelakuknya adalah mantan kekasihnya sendiri. Sontak seluruh pemberitaan ini semakin menyedot perhatian publik kepada Jordan.

Jordan, memilih diam. Baginya tidak ada guna membalas pernyataan negatif tersebut, dia tahu secara jelas bukan dia yang dimaksud Hyoo-rin. Bahkan sebelum kasus ini terjadi, mereka sudah lama tidak saling berhubungan. Jordan memilih tidak mau ambil pusing. Begitupun Yoo-na. Lagipula setelah kasus ini baru terkuak, Jordan saat itu masih berhubungan baik dengan Yoo-na, hanya tidak intens. Jordan tahu ini bisa saja mengganggu popularitasnya, tapi dia lebih memilih diam dan membiarkan hiruk-pikuk itu berlalu dengan sendirinya, dia memilih berpikir begitu. Awalnya.

***

Jordan membuka kembali ponselnya, begitu sebuah tanda pesan masuk berbunyi.

“AKU TIDAK AKAN MENGAMPUNIMU KALAU SAMPAI TIDAK MUNCUL DI APARTEMEN MALAM INI, BERHARAP SAJA BESOK PADA KEBERUNTUNGMU. AKAN KUKATAKAN SEMUANYA PADA MEDIA !!!”

Kali ini Jun benar-benar serius.

Dan terbukti ancaman itu terbukti berhasil, Jordan langsung tancap gas ke jalanan, untungnya jalanan tidak sepadat biasanya, dia bisa sampai dalam hitungan menit ke apartemen mewah yang dijadikannya tempat tinggal. Bukan seperti apartemen biasanya, lebih menyerupai paviliun pribadi. Bukan di gedung pencakar langit, apartemen Jordan lebih menyerupai rumah.

“Kau tepat waktu juga,” komentar Jun, dia berdiri tepat di depan pintu apartemen Jordan.

“Apa maksudnya tadi?”

“Boleh kita masuk? Aku kedinginan di sini.”

Rahang Jordan mengeras, namun dia tetap mengikuti saran Jun.

“Sekarang katakan padaku, apa maksudmu tadi? Apa yang kau rencanakan Jun?”

Jun tahu Jordan mulai kehilangan kesabaran, namun dia mulai merasa ini menarik. Jun melenggang masuk dan duduk di sofa terempuk yang pernah didudukinya selain sofanya. Jun menangkap kekesalan Jordan, namun dia sepertinya malah menikmati situasi itu berlangsung.

“Jun, sebaiknya kau menjawabku sebelum aku menendangmu keluar!” Jordan kehilangan kesabaran.

“Oke, oke. Aku paham. Aku akan keluar.” ujar Jun menjadi. Dia bangkit dari sofa dan bergerak ke arah pintu. Jordan berubah gelagapan. Dalam hati Jun tersenyum merayakan kemenangan, taktiknya berhasil.

“Kau tidak keluar sebelum katakan padaku apa rencanamu! Apapun itu, aku tidak akan membiarkan kau melakukannya, kau paham?!”

“Oke baiklah. Sebelumnya katakan padaku, dimana kau selama dua hari ini?”

“Bukan hal penting.”

“Baiklah, kalau memang kau tidak mau. Yang terpenting kau sudah muncul. Pihak produser manajemen akan melakukan pertemuan malam ini. Mereka sangat berharap kau datang.”

Jordan menyerngit, “Lalu apa fungsi manajer?”

“Aku bisa saja, tapi aku tidak bisa menjanjikan hasilnya. Perlu kupertegas, tolong kau garis bawahi kata ‘mereka sangat berharap’. Pertemuan malam ini khusus membahas masalahmu.”

Jordan menatap Jun penuh curiga, “Apa ini bagian dari rencana?”

“Secara teknis, tidak. Aku hanya mendiskusikan launch-date single terbarumu bersama pihak produser, sebelum mereka mulai mengungkit masalah ini. Sejujurnya, aku juga berharap mereka mengungkit ini. Aku tidak ingin berlama-lama dan aku tidak mau ada masalah dengan penjualan album nanti.”

Jordan mengatupkan rahang, dia benar-benar tidak suka dengan rencana ini.

“Apa tidak bisa kalian meninggalkan masalah ini saja dan hanya fokus pada penjualan? Aku harap aku tidak dianggap objek rumor tersebut.”

“Objek? Sayangnya, pandangan mereka memang begitu. Kalau kau tidak mau, sebaiknya kau tunjukkan tanggung jawabmu sendiri dalam masalah ini. Bukannya malah lari dan bersembunyi.”

“Cukup!” bentak Jordan. Bahkan sejak Jordan menemukannya di depan pintu sesaat tadi, Jun yakin pria itu siap menerkamnya. Dan kini air muka Jordan benar-benar menunjukkan hal itu. “Aku sudah muak. Aku tidak lakukan apapun. Lari? Bersembunyi?! Untuk apa kulakukan itu?!” Jun menatap Jordan penuh dan menunggu, “Kau bahkan mulai yakin aku pelakunya?” suara Jordan merendah.

“Hah?”

“Jangan katakan padaku bahkan sekarang kau juga percaya?!”

“Tentu saja tidak!” Jun membalas cepat. Ia tahu situasi ini seluruhnya menitik beratkan masalah pada Jordan, seluruh awak media meyakini Jordan berstatus sebagai tersangka meski kasus tersebut kini diserahkan pihak manejer Yoo-na untuk ditangani pihak kepolisian_Jun sudah lama mengetahui hal ini_dan tidak ada sedikitpun bukti yang mengarah pada anak itu, tapi tetap saja nama Jordan masih melekat selama pelaku sebenarnya belum terbukti.

“Aku tidak punya bukti, aku juga tidak bisa menahan media untuk tidak terus-terusan menekanmu. Aku tidak bisa melakukan apapun selama kau diam. Setidaknya kau hanya perlu membantuku sedikit saja dan aku akan membereskan sisanya.” Jordan mulai berkilat marah, namun Jun tidak mau menyerah. “Aku bisa saja mendesakmu, kau tahu. Tapi aku masih mempertimbangkan keputusanmu,_aku sangat berharap kau berterimakasih, meskipun kau sama sekali tidak mempertimbangkan posisiku. Aku tahu kau tidak akan pernah mendengarkanku, tapi cobalah untuk mengerti posisimu saat ini. Aku tahu kau tidak akan buka mulut ke media soal masalah ini dan…penyerangan itu.” Jun sengaja menekankan kata terakhir. “Tapi kau juga tahu bahwa tidak ada jalan lain selain buka mulut soal itu, kalau kau masih berharap aku bisa menaikkan atau setidaknya menstabilkan karirmu. Kita tidak akan tahu kapan dan bagaimana orang-orang itu kembali bereaksi.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline