tiada lagi bumi untuk tubuh terbenam
Sudah bukan hal baru lagi bagi kita melihat banyak kota di Indonesia dan dunia yang kekurangan lahan terbuka. Pembangunan hunian pun kini bergerak pada model pembangunan vertikal, seperti rumah susun dan apartemen.
Jakarta dan Bandung merupakan beberapa kota di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk yang menyesakkan. Pertumbuhan penduduk yang membludak membuat persaingan mendapatkan lahan menjadi sangat kompetitif. Di lain hal, angka kematian penduduk juga tinggi.
Dengan menipisnya ketersediaan lahan, sekarang tidak hanya persaingan mendapatkan lahan untuk membangun hunian, tetapi juga mendapatkan sepetak tanah untuk pemakaman.
Di Bandung sendiri lahan untuk pemakaman sudah semakin menipis dan hampir habis. Hal ini menjadi tambahan tanggungan bagi petugas pemakaman dalam mengatur penempatan jenazah untuk dimakamkan. Bukan hal aneh lagi bila nanti kuburan yang lama akan dihapuskan keberadaannya, kemudian diisi untuk menguburkan jenazah yang baru.
Dalam sempitnya tanah pemakaman pun tubuh yang mati harus bersesak-sesakan. Pihak keluarga harus bersiap dengan konsekuensi bahwa jenazah sanak saudaranya akan dikuburkan di atas makam yang lama, atau suatu saat nanti makam sanak saudaranya suatu saat harus berbagi tempat dengan jenazah baru.
Lain di Bandung, kurang lebih begitupun Jakarta. Jakarta tidak hanya menghadapi masalah habisnya lahan untuk pemakaman. Banjir yang menjadi agenda tahunan kota Jakarta membuat banyak keluarga yang resah dengan makam sanak saudaranya. Yang masih hidup pun dibuat cemas bahwa kelak makamnya akan terendam banjir.
Ternyata pikiran tidak hanya sewaktu hidup saja, setelah mati pun apa yang terjadi kepada tubuh kita menjadi beban pikiran lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H