Konten porno tampaknya tidak akan ada habisnya. Terlebih dengan adanya internet yang semakin membuat konten porno ibarat gulma yang mati tumbuh lagi. Upaya pengendaliannya pun harus adaptif. Pasalnya, dengan gawai berupa smartphone sebagai salah satu contohnya konten porno bukan hal yang sulit untuk diakses.
Upaya pemblokiran situs berkonten porno di internet oleh Kominfo tidaklah cukup. Perlu aktor pendukung, yang dalam hal ini adalah orang tua untuk mengawasi dan melindungi anak di bawah usia agar tidak mengakses internet. Hal ini tidak lepas dengan jadi lumrahnya anak-anak memiliki gawainya sendiri. Dengan mengetikkan "xxx" di kolom mesin pencarian saja ribuan situs penyedia konten porno akan bermunculan.
Baru-baru ini saja publik heboh dengan video viral yang menampilkan bocah perempuan yang menonton video porno di gawainya. Parahnya, bocah itu menonton video porno di antara orang-orang dewasa. Lebih parahnya lagi, orang-orang dewasa di sekitarnya tampak mendiamkan bocah tersebut, seolah bocah tersebut hanya menonton Dora the Explorer. Tidak ada was-was dari orang dewasa terkait konten apa yang sedang dilihat si bocah.
Tentu fenomena ini adalah hal yang miris. Kenapa saya sebut fenomena? Karena bocah tersebut tentu bukan satu-satunya bocah yang mengakses dan bahkan MENIKMATI konten porno, terkhusus di melalui gawainya. Filterasi yang lemah dan acuh tak acuh orang dewasa dalam pengawasan akses anak-anak tak hanya persoalan perusakan pada anak, tapi juga pada moral orang dewasanya.
Sayangnya, ketika orang dewasa dikomentari soal lemahnya filterasi dan pengawasan ini, mereka banyak berdalih menyalahkan penyedia atau pembuat konten porno. Pelimpahan kesalahan yang utuh ini juga terjadi dalam program-program di televisi. Orang dewasa banyak berkoar-koar menyalahkan produsen.
Padahal, produsen dan pihak pertelevisian saya rasa sudah menenpatkan segmentasi penonton dan jadwal tayang program dengan baik sesuai regulasi yang berlaku. Anak menonton sinetron atau film dengan konten dewasa, orang tua menyalahkan pihal stasiun televisi, lupa bahwa kontrol akses dalam media orang tua-lah yang harus bekerja lebih.
Sebenarnya siapa sih yang menyediakan media atau gawai bagi si anak sehingga mereka bisa mendapat akses pada konten seperti itu? Orang dewasa atau orang tua, bukan?
Selain rawannya anak-anak mengakses konten porno, pemberian gawai terhadap anak juga menggangu interaksi sosial si anak dengan sekitar, termasuk orang tuanya. Karena kebanyakan alasan orang tua memberikan gawai ke anak-anaknya agar si anak tidak rewel karena orang tua tidak memberikan waktu berinteraksi (bermain) bersama.
Dampaknya, anak kemudian jadi asyik sendiri dengan gawainya, dan melupakan interaksi dengan orang tua maupun teman-teman mainnya. So, masih menyalahkan penyedia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H