*artikel ini ditulis oleh Petra Yodinaro Juno sebagai tugas akhir mata kuliah Filsafat dan Etika Komunikasi
Banyak fasilitas yang disediakan sebagai pendukung lalu lintas dan angkutan jalan. Fasilitas tersebut antara lain: tempat penyeberangan bagi pejalan kaki atau zebra cross, halte bus, jalur sepeda, ruang tunggu sepeda, lampu alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL), rambu lalu lintas, trotoar, dll. Trotoar merupakan salah satu fasilitas pendukung tersebut. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 131 ayat (1), yang menyatakan bahwa trotoar adalah fasilitas yang disediakan bagi pejalan kaki. Dengan kata lain, trotoar merupakan hak bagi pejalan kaki, bukan untuk kepentingan lain atau individu (pribadi). Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang yang berjalan kaki ataupun menyeberang jalan. Trotoar adalah jalur pejalan kaki yang letaknya sejajar dengan jalan yang dibangun lebih tinggi dari permukaan jalan untuk menjamin keselamatan pejalan kaki (PPI Kabupaten Purbalingga, 2014).
Dalam lalu lintas diberlakukan hirarki pemakaian jalan. Pejalan kaki menempati hirarki teratas, dan kendaraan bermotor pribadi berada paling bawah.
Dari ilustrasi tersebut jelas bahwa pejalan kaki merupakan prioritas utama sebagai pemakai jalan. Pengguna jalan harus lebih mendahulukan pengguna lain yang secara hirarki tersebut lebih tinggi. Trotoar sebagai fasilitas yang memang diperuntukkan bagi pejalan kaki juga tidak boleh dipergunakan maupun dialih-fungsikan untuk hal lain selain untuk kepentingan dan kenyamanan bagi pejalan kaki.
"Fungsi utama trotoar adalah untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki tersebut.... Trotoar juga berfungsi memperlancar lalu lintas jalan raya karena tidak terganggu atau terpengaruh oleh lalu lintas pejalan kaki." (Direktorat Pembinaan Jalan Kota, 1990)
Trotoar merupakan fasilitas umum yang tentu sering saya pergunakan karena saya lebih sering bepergian dengan berjalan dari tempat tinggal ke kampus. Sebagai kelompok pejalan kaki tentu trotoar fasilitas yang sangat membantu saya selaku orang yang lebih sering berjalan ketimbang menggunakan kendaraan bermotor. Sayangnya, hal ini tidak dapat saya peroleh dengan baik sebagai kelompok pemakai jalan yang menduduki hirarki teratas. Hal ini saya alami sejak migrasi ke kota untuk melanjutkan studi, tepatnya di Jogja. Terdapat banyak hal yang mengusik aktivitas berjalan kaki saya di trotar, bagi saya, dan bagi kami selaku pemakai jalan yang memiliki hak atas fasilitas ini.
Terkadang pejalan kaki harus turun keluar dari trotoar karena ada yang menggelar dagangan, mendirikan tenda makan, maupun kendaraan yang diparkirkan di trotoar memblokade jalan. Tak jarang pejalan kaki harus memepetkan bada agar tidak terserempet kendaraan yang lewat. Banyak pihak yang menggunakan trotoar untuk kepentingan pribadi, entah itu karena desakan volume ruang yang menyusut, atau karena ketidakperduliaan terhadap sesama, terutama terhadap pejalan kaki.
Ketika berjalan di trotoar sering pula pejalan kaki harus memepetkan diri ke tepi trotoar karena ada kendaraan yang diparkirkan, ada tenda warung makan, atau ada sepeda motor yang masuk/naik ke trotoar dan dengan bebasnya memacu gas, serta banyaknya umbul-umbul iklan di sepanjang trotoar yang mengganggu pandangan pejalan kaki. Pejalan kaki jadi merasa tersisihkan dari fasilitas yang merupakan haknya, fasilitas yang telah dijajah oleh orang lain di luar kepentingan pejalan kai. Siapapun tidak diperkenankan menyelewengkan fungsi trotoar sebagai fasilitas yang ditujukan bagi pejalan kaki, baik itu untuk kepentingan pribadi, ekonomi, maupun karena desakan ruang yang menyusut.
Beberapa aspek etika merupakan sesuatu yang universal. Hubungan sebab-akibat merupakan penjelasan sederhananya. Bila ingin diperlakukan 'demikian' maka lakukanlah 'demikian' pada orang lain. Ini merupakan etika global, dan terdapat tuntutan fundamental di dalamnya bahwa setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi (Singer, 2004).
Dasar Hukum
Trotoar sebagai fasilitas yang diprioritaskan bagi pejalan kaki secara administrasi hukum sudah mendapat payung hukumnya. Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memuat pasal-pasal yang mengaturnya. Pasal 131 ayat (1) "Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas yang berupa trotoar, tempat penyebrangan jalan, dan fasilitas lain". Pasal 131 ayat (1) menjelaskan dan menjamin bahwa trotoar meupakan fasilitas bagi pejalan kaki. Pejalan kaki berhak atas pemakaian trotoar. Pasal 28 ayat (1) "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan", ayat (2) "Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1)". Pasal 28 menjelaskan dan menjamin kenyamanan pejalan kaki dalam penggunaan fasiitas jalan, trotoar.
Sanksi terhadap orang-orang yang mengganggu kenyaman pejalan kaki di trotar, baik itu berjualan, mendirikan tenda untuk berjualan, parkir kendaraan, dan sebagainya juga telah diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yakni Pasal 274 ayat (2) berupa ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan: serta pasal 275 ayat (1) berupa ancaman pidana penjara paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, APILL, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan.