Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di Indonesia menurun drastis, hingga 2 juta pernikahan berkurang antara tahun 2021 hingga 2023. Ini bukan sekadar angka, ini adalah refleksi dari perubahan besar dalam cara pandang terhadap pernikahan.
Dalam sebuah obrolan ringan dengan anak pertama saya, saya sempat memberi nasihat sederhana, "Jangan buru-buru nikah, nak. Nanti saja pas umur 30, biar lebih siap."
Mungkin ada yang menganggap saya berlebihan. Tapi, bagi saya, ini bukan tanpa alasan. Dunia kini berbeda jauh dengan saat saya dulu memutuskan menikah.
Dulu, meski segala sesuatu terbatas, pernikahan terasa lebih alami, sebuah langkah yang diambil tanpa banyak pertimbangan rumit.
Namun, kini, situasinya jauh berbeda. Menikah bukan lagi sekadar urusan ijab kabul, bukan lagi semata soal bersama-sama membangun hidup.
Banyak faktor yang menghalangi, dan banyak pula yang mulai meragukan pentingnya ikatan ini. Tak disangka, apa yang dulu saya khawatirkan, kini mulai menjadi kenyataan.
Dulu, menikah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan, sebuah langkah alami yang diambil sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Kini, banyak anak muda yang memilih menunda pernikahan. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah menikah adalah kebutuhan dasar manusia, bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa?
Bukankah kita selalu diajarkan bahwa pernikahan itu adalah ikatan yang penuh kebahagiaan, dan seharusnya membawa kedamaian?
Lalu, kenapa kini menikah justru seolah terasa semakin sulit hingga banyak yang menunda menikah?
Beda Zaman