Kesesatan berpikir yang dibiarkan akan merusak masa depan generasi muda dan bangsa ini, kita akan kehilangan kemampuan membedakan yang benar dan salah sehingga menghambat potensi Indonesia untuk mencapai kejayaan global.
Saya merasa geram melihat salah satu podcast yang tayang di YouTube kemarin. Dalam kisah yang sederhana; seorang menolong orang lain, tetapi bukannya mengucapkan terima kasih, justru si penolong dilaporkan ke pihak berwajib.
Netizen ramai-ramai mencaci korban karena dianggap tidak tahu terima kasih. Yang membuat kesal adalah bagaimana korban dan keluarganya memutarbalikkan keadaan, menuduh si penolong memanfaatkan situasi.
Ini contoh nyata kesesatan berpikir, di mana argumen yang diajukan tidak sesuai dengan fakta, dan pada akhirnya logika berpikir yang sehat dikorbankan.
Kejadian ini mengingatkan saya pada peristiwa di sekolah beberapa hari lalu. Seorang siswa laki-laki dengan rambut panjang melanggar peraturan sekolah tentang panjang rambut.
Ketika ditegur, dia berdalih bahwa dia sudah memotong rambutnya, padahal jelas panjang rambutnya masih melampaui aturan.
Siswa tersebut memainkan kata-kata, menggunakan logika yang cacat, seolah-olah dengan hanya "memotong" rambut, dia sudah mematuhi aturan, padahal syarat panjang maksimal tetap tidak dipenuhi.
Ini adalah contoh kesesatan berpikir yang sering kali terjadi dalam keseharian kita, tidak hanya di media sosial, tetapi juga di ruang kelas.
Kesesatan Berpikir
Pola pikir seperti ini, yang dalam istilah logika disebut logical fallacy atau kesesatan berpikir, bukan hanya terjadi di sekolah.
Dalam dunia pendidikan, kesesatan berpikir bisa berdampak serius, terutama jika dibiarkan tumbuh subur tanpa disadari.