Keberadaan panti jompo tidak seharusnya menjadi pilihan utama atau akhir bagi setiap lansia di Indonesia.
Saya sepakat dengan pernyataan Ibu Tri Rismaharini bahwa panti jompo tidaklah sesuai dengan budaya kita.
Dari berbagai kisah yang berasal dari panti jompo, banyak sekali cerita pilu yang menyayat hati. Banyak lansia yang ditinggalkan oleh anak-anak mereka, ditelantarkan, atau bahkan tidak diakui oleh anak-anak mereka.
Istilah "sandwich generation" seolah-olah semakin melabeli bahwa orang tua atau lansia menjadi beban bagi anak-anaknya.
Banyak yang dengan sengaja menitipkan orang tua mereka di panti jompo atau bahkan meninggalkan mereka untuk hidup sendiri tanpa kehadiran anak-anak mereka di rumah.
Praktik-praktik ini mengingatkan saya pada legenda Jepang tentang "ubasute", di mana orang tua ditinggalkan di gunung untuk mati.
Meskipun mungkin terdengar seperti legenda belaka, nyatanya praktik ini hadir dalam bentuk yang berbeda di zaman sekarang, namun dengan niat yang sama: meninggalkan orang tua.
Bukan Budaya Kita
Sebagai negara yang penuh dengan warna ketuhanan dan keagamaan, meninggalkan orang tua di panti jompo bukanlah solusi manusiawi yang dibenarkan oleh agama manapun di Indonesia.
Dalam Islam, berkata "ah" saja kepada orang tua adalah sebuah pelanggaran. Apalagi sampai meninggalkan orang tua di panti jompo; bukankah itu sama saja dengan mengabaikan mereka?
Berbakti kepada kedua orang tua bahkan diletakkan setelah konsep ke-Esa-an dalam konsep beragama. Ini menunjukkan betapa agama sebagai prekursor budaya benar-benar mengangkat harkat martabat orang tua.
Mengabaikan orang tua masuk dalam kategori "tidak berbakti" atau bahkan lebih kasar disebut sebagai "durhaka".