Ketiadaan politik di tahun politik yang membahas bagaimana politik sering kali di praktikkan hanya sebagai seni meraih kekuasaan, mengabaikan nilai-nilai keadilan dan dan kebaikan bersama. Artikel ini juga menekankan bahwa tanpa keadialan, persatuan menjadi rapuh dan dapat berujung pada ketimpangan sosial yang mendalam.
Ketiadan politik di tahun politik, terutama menjelang pemilu 2024, mencerminkan praktik politik yang lebih mengutamakan kekuasan ketimbang kebaikan bersama. Politik serring kali dipandang sebagai seni meraih suara, tanapa diskusi subtansial tentang masa depan yang adil. Hal ini menyebabkan apatisme dikalangan pemilih, yang merasa tidak terlibat dalam proses politik. Selain itu, tingginya biaya kampanye dan dominasi oligarki memperburuj situasi, membuat banyak warga merasa terasing dalam demokrasi. Jika kondisi dibiarkan aka nada resiko serius terhadap integritas sosial dan politik di Indonesia.
Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Begitu adagium hukum mengungkapkannya. Fakta tak demikian, determinasi dan keangkuhan politik mengamputasi ketajian hukum belakangan ini. Proses pemilu adalah sarana konvensional dalam merotasi pergantian kekuasaan. Guna mewujudkan pemilu yang berkualitas, negara perlu menjamin adanya standar keberlangsungan proses pemilihan secara bebas, rahasia, jujur dan adil didukung dengan ketersediaan perangkat atau lembaga penyelenggara yang imparsial, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga dalam kondisi iklim demokrasi suatu negara yang baik maka semakin kuat pelaksanaan norma nilai-nilai demokrasi sebagai dasar dari perilaku politik yang etis penyelenggara negara. Namun dalam konteks kontestasi Pemilu 2024 yang terselenggara saat ini, telah banyak memberikan catatan kusam bagi sejarah Pemilu di Indonesia pasca reformasi tentang bagaimana campur tangan kekuasaan untuk memenangkan salah satu paslon dengan vulgar dipertontonkan, keberpihakan Presiden, keterlibatan menteri-menteri untuk andil berkampanye, sistem penghitungan Sirekap yang problematik dan dugaan penyalahgunaan aparatur negara hingga politisasi bantuan sosial menjelang hari-hari pemilihan berlangsung menjadi sekian banyak masalah yang terangkat ke permukaan. Selama proses pemilu 2024 berlangsung kita telah mengalami keadaan politik hukum yang tidak sehat, sebab kepentingan individu, kelompok dan keluarga lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Pagar pembatas potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam konstitusi dihiraukan, dan tak sedikit dilanggar maupun ditafsirkan sesuai kepentingan kekuasaan. Menyaksikan kondisi politik hukum yang sedang terjadi, ini menandakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum.
Menindaklanjuti putusan tersebut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga memberikan peringatan keras kepada Ketua KPU RI dan Komisioner KPU RI sebab telah menerima pendaftaran pencalonan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran tanpa lebih dulu merevisi Peraturan KPU agar selaras dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Informasi tersebut menggambarkan adanya langkah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam menindaklanjuti pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). DKPP memberikan peringatan keras kepada Ketua KPU RI dan Komisioner KPU RI karena menerima pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tanpa merevisi terlebih dahulu Peraturan KPU agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut seharusnya menjadi dasar hukum yang diacu oleh KPU dalam menyusun regulasi terkait proses pencalonan, sehingga tindakan KPU dinilai melanggar prinsip kepatuhan terhadap putusan hukum. Langkah DKPP ini mencerminkan pentingnya penegakan integritas dan akuntabilitas penyelenggara pemilu dalam menjaga kredibilitas proses demokrasi di Indonesia.
Untuk mengatasi ketiadaan politik di tahun politik 2024 membutuhkan pendekatan strategis yang relevan dengan konteks Indonesia saat ini.
- Meningkatkan Kesadaran dan Pendidikan Politik
- Pendidikan Pemilih: Mengadakan kampanye masif untuk mengedukasi pemilih tentang pentingnya partisipasi dalam Pemilu 2024, terutama di kalangan generasi muda dan kelompok marginal.
- Pelibatan Media Sosial: Menciptakan konten kreatif di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube untuk menjelaskan proses politik secara sederhana dan menarik.
- Mendorong Partisipasi Masyarakat
- Keterlibatan Komunitas: Mengintegrasikan isu-isu lokal dalam kampanye politik agar masyarakat merasa aspirasinya didengar.
- Debat Publik di Tingkat Lokal: Menyelenggarakan debat terbuka antara kandidat di tingkat daerah untuk memfasilitasi interaksi langsung dengan pemilih.
Melalui pendekatan ini, tahun politik 2024 dapat menjadi momentum penguatan demokrasi dengan partisipasi yang lebih luas dan berkualitas.
Dengan pendekatan ini ketiaadan politik dapat menjadi seruan untuk menghadirkan keseimbangan dan fokus pada tujuan bersama di tengah tahun politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H