Lihat ke Halaman Asli

SIAHAAN JUNIOR TERNAMA

aku adalah Tanah

Dapur Pahlawan

Diperbarui: 10 November 2018   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: boenesaja.blogspot.com

Pulang dari Sekolah, sesampainya di Istana milik Ibu dan Bapakku, langsung kuberlari dan kususuri bagian per bagian Istana sempit itu. Bagian yang paling nikmat kubersyukur adalah Dapur Ibuku. Berdinding alami dulunya dengan anyaman bambu karya Bapakku, kini hanya berlapiskan dari susunan-susunan batu bata oleh pandai tukang-tukang di Kampungku sejak setahun lalu, dibangun menggunakan dana pensiun dini Bapakku, dibantu rasa kebersamaan warga Desaku bergotong royong dari pondasi hingga jadi dengan kondisi saat ini. 

Warnanya pun begitu menarik perhatianku dan perhatianmu, Gadis Sedayu, berwarna putih lebih dekat ke abu-abu di sebagian sisi-sisi, pada bagian lainnya rapi secara susunan warna hitam pekat menganga seakan-akan hendak bicara, "sudah bosan hidup tanpa warna". Hingga pada bagian langit-langit dapur itu, jika engkau dongakkan mahkotamu terlihatlah warna hitam pekat, lebih dari hitam. 

Semua diakibatkan perapian tungku pekerjaan Ibuku saat pagi buta dan mendekati malam tiba. Bahkan tatkala ketika tamu datang, saat siang hari dan waktu sekolah usai, akulah hendak diperintahnya untuk memberikan roh api pada kayu kering yang sudah dibariskan Bapakku di dinding tak jauh dari tungku. Dengan seruas bambu aku menghembusi nyawa untuk membakar kayu, menggairahkan api memasak apa saja menurut ramuan Ibuku.

Namaku masih sama, sebut saja Juma. Bisa dipanggil Jum, bahkan teman---teman sejawatku berseloroh, "Juma, Jum, Jumawa" sambil diiringi tawa, sebagaimana persahabatan yang karib dan dekat yang sudah dibangun semenjak kami berada di dalam kandungan Ibu kami masing-masing. Pagi itu aku terbangun sebagaimana biasanya. 

Kakiku masih melangkah berat tak ingin beranjak dari pembaringanku yang beralaskan tikar anyam karya Ibu-Ibu Dharma Wanita di Desaku. Sejenak aku mengucapkan syukur pada Dia yang telah menaungi segala kehidupan di sekelilingku. Setelah itu aku pun pergi ke lokasi di mana Ibu sedang bekerja keras untuk menyiapkan perbekalan buat kami seisi Istana. Terlebih untuk Bapakku yang akan berangkat ke daerah jauh menjemput asa untuk kehidupan di Istananya.

Api merah dan biru dari kayu-kayu renyah dengan kandungan air sangat rendah seolah-olah memiliki roh yang menyala-nyala. Mereka terdiri dari beberapa warna, tidak hanya dua warna mayoritas biru dan merah. Rasa panas semeter dari tungku cukup membuat kening Ibuku berkeringat dan gurat wajahnya melambangkan Keibuannya yang gigih untuk kehidupan Istana. Ibuku anggun, usianya sudah berkepala enam. 

Dia Perempuan sederhana yang kukenal, juga memang dilahirkan di keluarga yang sederhana pula menurut cerita dan kisah darinya. Pagi itu pukul empat nol-nol, Bapakku sedang membersihkan diri, aku dan Ibu di dapur itu mengobrol sambil menunggu beras itu matang. Ya pagi itu Ibu mengawali paginya dengan menanak nasi, aku mulai memecah kesunyian di Dapur itu, "Mak, besok Juma upacara Bendera di Sekolah, memperingati Hari Pahlawan Mak, 10 November. Juma sebagai petugas upacara Mak. Membacakan Pembukaan UUD 1945. Besok ingatin ya Juma, Mak, bawa topi hehe. " lanjut Ibuku padaku sambil diaturnya kayu untuk memastikan nyala api tetap pada satu titik fokusnya dan melanjutkan obrolan kami kembali. "Nak, bolehkah Ibu bertanya?"  Ia juga sosok yang demokratis. 

Sama seperti Bapakku juga demokratis, berbicara apa adanya dan jujur dengan kondisi sebenarnya. Hal itu membuat kami anak-anak mereka menjadi matang dalam pemikiran, terutama sadar akan kenyataan. "Tentulah, Mak." Jawabku polos. Aku adalah anak terakhir yang patuh dan di luar dari itu sering melampaui keputusan Ibu dan Bapakku, contohnya, Senin lalu aku dan bersama sahabat-sahabatku menyeberangi waduk industri yang sudah jelas terpampang larangan untuk tidak mendekati air, apalagi mandi. 

Karena menurut papan larangan yang tertulis di sana terdapat beberapa buaya yang dengan sengaja dikembangkan untuk menangkal tangan-tangan nakal, ya seperti kami ini, anak-anak lugu yang berani mencoba apa saja, sebelum mendapatkan hikmah atau kesimpulan tepatnya, di akhir perbuatan kami.

"Jadi, siapa Pahlawanmu besok, Nak?" tanya Ibuku. Entah ia bercanda atau sekedar mengujiku emosiku sebagai si bungsunya.

"Manusia Indonesia yang tak akan memecah belah persatuan, Mak, hanya demi beroleh (ketamakan) jabatan (kekuasaan). Merekalah pahlawanku besok, Mak. Ahhhh...Mamak sih kasih pertanyaan begitu. Ya itu jawabanku Mak. Bukan jawaban Bu Guru atau pun Bapak Guru di Sekolah." Sambil kubalas main mata ke Ibuku, aku adalah anak Bungsu yang sangat akrab dengan Ibuku. Ibuku tidak hanya menjadi seorang Ibu, ia adalah sahabat karib yang baik buatku. Aku merdeka berbicara kepadanya, dengan etika-etika moral kehidupan yang diajarkan beliau padaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline