Lihat ke Halaman Asli

Ling-Ling

Diperbarui: 15 Oktober 2020   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Meski bukan pertama kalinya, namun ini kali pertama aku memasuki rumah ibadah agama lain di hari ibadahnya. Setelah hampir seharian tidak beranjak dari tempat tidur, sisa akhir pekan kali ini ingin aku ajak berkeliling dengan sepeda. Belum jauh, aku menjumpai gereja yang mulai ramai didatangi jemaatnya. 

Petugas keamanan menyambut jemaat yang berdatangan dengan ramah, tidak terkecuali aku yang bukan jemaat. Dari yang berkendara hingga hanya beralas kaki, dari anak-anak hingga yang bersamanya atau tidak, semua berpakaian rapih.

Aku, mahasiswa tingkat akhir yang tengah sibuk (padahal terlalu santai) mengerjakan skripsi. Sekadar ingin mengetahui bagaimana sebuah lembaga pendidikan keagamaan menanamkan nilai-nilai agama kepada peserta didiknya yang masih sangat muda itu kemudian membentuk mereka menjadi pemimpin agama. Dalam hal ini adalah agama Katholik dengan Seminari sebagai sekolah keagamaan.

Setelah memarkir sepeda, aku berkeliling dengan langkah sedikit was-was, mungkin malah terlihat mencurigakan. Rumah ibadah yang aku datangi cukup luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Bagian altar nampak sudah cukup ramai, dan sepertinya peribadatan akan segera dimulai. Ketika masih memperhatikan keramaian altar, terdengar suara lembut dari samping bertanya,

"Enggak masuk, mas?"
"Enggak, mbak." Jawabku singkat sembari menoleh,
"Mbaknya kok enggak masuk?"

Berdiri seorang perempuan, dengan paras keturunan Tionghoa nampak seumuran denganku. Mata sipit dipayung alis dan bulu mata melengkung seperti pelangi yang muncul setelah hujan, padahal masih mendung. 

Rambut hitam lurus menyandar di bahu terurai di hembus angin terlihat lebih indah dari debur ombak laut di pantai. Senyum bibir tipis sedikit kering tanpa lipstik yang lebih manis ketika kedua ujungnya naik dan saling berjauhan,

"Saya sudah (ibadah) tadi pagi. Kalau gitu, saya permisi, mas." Jawab perempuan itu seraya meninggalkan obrolan.

Seakan tidak rela matahari terbenam lebih cepat, aku memutar mundur jarum jam dan menawarkan bantuan untuk beberapa sekardus barang yang sepertinya cukup merepotkan ia bawa sendirian,

"Ini mau dibawa ke mana, mbak? Biar saya bantu."

"Oh, ini mau ke..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline