Artikel pendek ini khusus berbicara tentang Bekerja dari Rumah bagi yang memiliki privilise untuk itu.
Secara psikologis, tekanan semasa BDR (bekerja dari rumah) dipicu oleh harapan yang tidak realistis. Misalnya, dengan berlandaskan pengamatan saat ini, berharap bahwa bulan depan physical distancing sudah bisa diakhiri; adanya anjuran bahwa seharusnya "semakin produktif" ketika bekerja dari rumah.
Di samping itu, interaksi dengan orang luar rumah bisa juga menjadi pemicu, seperti merasa was-was mengalami penularan ketika ada pengantar paket atau pesanan tiba di rumah. Kita juga kehilangan beberapa lapangan kehidupan.
Sebagian cara yang biasanya kita miliki untuk menanggulangi stres dengan cara pergi ke luar (sekadar jalan atau nongkrong di luar rumah), tidak lagi merupakan pilihan yang bisa ditempuh.
Ada faktor-faktor psikofisik dan sosial yang juga dapat menjadi pemicu kelelahan, bahkan kelelahan berlebih, seperti faktor kurangnya ergonomika tempat kerja, defisit makna kerja, dan kekompakan sosial yang minim di dalam rumah.
Seorang jurnalis bertanya pada saya, "Dapatkah perbedaan bentuk 'penampakan' yang semula tatap muka menjadi online secara konstan memicu rasa lelah berlebih dan kebingungan pada persepsi pekerja?"
Kondisi interaksi online secara terus-menerus tidak selalu menjadi tekanan, karena sangat bergantung pada isi dan konteks aktivitasnya.
Memperdalam pengetahuan melalui webinar yang disukai, atau mengikuti berbagai hiburan yang tiketnya digratiskan oleh penyelenggara, justru menjadi faktor pereda tekanan, dengan asumsi tidak ada masalah dengan kuota dan kelancaran koneksi internet. Kegiatan-kegiatan bisa disisipkan di sela-sela BDR.
Lebih baik lagi jika organisasi memberikan waktu khusus untuk itu pada jam kerja BDR, dan tidak menganggap aktivitas-aktivitas tersebut sebagai sebuah kemalasan sosial (social loafing).
Dalam hal ini, kita juga perlu memperhatikan perbedaan individual dalam hal persepsi pekerja. Selama ini, dunia kita ini disebut-sebut sebagai "dunia orang ekstrovert". Bahkan, Susan Cain, pengarang buku "Quiet" menyatakan bahwa masyarakat dunia selama ini memiliki bias kultural terhadap orang ekstrover.
Sederhananya: dunia selama ini lebih berpihak atau menguntungkan buat orang-orang ekstover. Dewasa ini, keadaan tampaknya berbalik. Pola-pola bekerja, berinteraksi, dan bersosialisasi saat ini cenderung mengikuti pola introver.