Lihat ke Halaman Asli

Juneman Abraham

Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

Rahasia Menembus Batas

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keep Calm and Break The Limit - sumber: KeepCalmStudio.com

Setiap dari kita mengalami keterlemparan dalam hidup ini. Artinya adalah bahwa kita dilahirkan dalam situasi-situasi tertentu yang tidak kita rancang sebelumnya. Kita tidak dapat mengajukan permintaan ingin dilahirkan dengan warna kulit apa, dengan bentuk wajah yang bagaimana, di negaranya Pak Obama atau Pak Jokowi, apakah lahir di keluarga miskin atau kaya, dan sebagainya. Tidak mengherankan bahwa keterlemparan dalam situasi-situasi ini nampak seperti menghadirkan batas-batas dalam diri kita sendiri.

[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Keep Calm and Break The Limit - sumber: KeepCalmStudio.com"][/caption]

Hayati Kebebasan

Dalam kajian psikologi rasional, keyakinan bahwa diri kita terbatas berpangkal dari pandangan hidup yang menekankan determinisme (dari kata ‘to determine’, yang artinya ‘menentukan’) (misalnya, Leahy, 2008). Orang-orang ini yakin bahwa manusia sudah ditentukan atau dibatasi oleh berbagai hal, singkatnya: manusia itu tidak bebas. Padahal untuk break the limit, penghayatan akan kebebasan sangatlah sentral.

Mengapa banyak orang tidak bisa break the limit? ‘Pangkal bala’-nya adalah adanya sejumlah kadar keyakinan tentang keterbatasan (determinisme) itu. Determinisme dapat mengenai berbagai dimensi manusia, yakni bio-psiko-sosial. Dari dimensi biologis (fisik), mereka yang deterministis yakin bahwa kondisi genetik, penyakit, difabilitas, dan ketidaksempurnaan fisik lainnya membuat manusia tidak bisa break the limit. Namun demikian, hal yang dilupakan oleh mereka adalah bahwa sepanjang sejarah, terbukti bahwa manusia semakin dapat mengendalikan proses-proses genetik dan biologis. Pun terdapat bukti-bukti bahwa di antara mereka yang mengalami difabilitas dan penyakit, banyak juga yang menakjubkan kita dengan karya dan prestasi yang bahkan sulit dipikirkan oleh orang-orang yang dianggap ‘normal’ dan sehat.

Pada tingkat psikis, keyakinan akan keterbatasan menjelma dalam kepasrahan seseorang terhadap akibat-akibat pengalaman masa lampau, terutama yang bersifat traumatis. Seorang ahli psikologi dalam (depth psychology) yang termasyur, Sigmund Freud, juga mengemukakan bahwa manusia dikuasai oleh ketidaksadarannya. Sebagai contoh, mengapa kita fobia terhadap sesuatu hal? Penjelasan psikologi dalam akan mengatakan bahwa pada masa kanak-kanak, kita dididik untuk memusnahkan hasrat-hasrat yang dianggap tidak pantas, seperti hasrat seksual. Kita menekannya, namun penekanan hasrat ini ke depannya akan menimbulkan kecemasan ‘tak bertuan’ (tidak kita ketahui alasannya), dan kecemasan ini tercermin dalam fobia. Namun demikian, orang-orang yang percaya pada paham Freud ini kurang lengkap dalam pertimbangannya. Freud sendiri mengatakan bahwa manusia, apabila mau, dapat mengakses aspek ketidaksadarannya dan mengangkatnya ke alam kesadaran. Artinya, manusia dapat memilih untuk berbuat sesuatu atas ketidaksadarannya, untuk tidak dikuasai olehnya. Orang yang break the limit adalah orang-orang yang mengambil keputusan untuk tidak tinggal di masa lalu, dan tidak didominasi oleh mekanisme atau cara kerja ketidaksadaran dalam dirinya.

Ada pula orang-orang yang tidak bisa break the limit karena yakin bahwa lingkungan sosialnya adalah batas-batas dirinya. Individu dianggap hanya merupakan salinan dan pengulangan dari masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh, individu yang berada pada lingkungan yang korup, bagi orang-orang ini, barang tentu akan menjadi korup pula. Kendati demikian, orang-orang ini lupa bahwa di sepanjang sejarah, ada pengaruh dalam arah sebaliknya. Bukan hanya individu dipengaruhi oleh masyarakat, namun ia juga dapat membentuk masyarakat. Contoh konkretnya adalah individu-individu yang kita sebut sebagai reformator, great leader, pahlawan, dan sejenisnya. Mereka adalah orang-orang yang break the limit yang tidak menyerah pada situasi masyarakat sehingga justru menjadi teladan yang menginspirasi orang banyak.

Lain lagi orang yang yakin bahwa kehidupannya telah dilimitasi oleh nasib atau takdir dan kepasrahan terhadap kekuasaan di luar dirinya (seperti Tuhan, bagi kaum beragama). Sehari-hari ia merasa bagaikan wayang yang dimainkan oleh dalang. Pemahaman yang luput dari orang-orang ini, yang menyebabkannya tidak dapat break the limit, adalah bahwa potensi hubungan antara manusia dan Tuhan adalah berkooperasi (saling bekerjasama), bukan beroposisi (saling mengobjekkan). Break the limit justru menjadi lebih jauh lebih mungkin mewujud dalam proyek-proyek kebaikan di dunia ini ketika manusia menjadi partner dan khalifah Tuhan di dunia. Tidak jarang kita mendengar gerakan-gerakan kemanusiaan yang besar dan tak terbayangkan sebelumnya berawal dari inisiatif seseorang atau segelintir individu. Dalam testimoninya, mereka mengakui bahwa mereka telah merelakan Tuhan bekerja dalam diri mereka melalui pilihan-pilihan yang mereka ambil setelah berdoa. Jadi alih-alih membatasi, Yang Spiritual memperlebar rentang kemungkinan kita melampaui limit yang kita asumsikan selama ini.

Persepsi

Jelaslah bahwa persepsi kita sangat memainkan peran dalam hal-hal di atas. Kendati demikian, nyatanya adalah persepsi kita memiliki kekhasan, yang bahkan dapat ‘menipu’ kita. Sebagai contoh, kita melihat sebatang pensil yang dicelupkan ke dalam gelas setengah isi terlihat membengkok. Padahal, bagaimanakah kenyataannya? Melalui contoh sederhana ini, kita dapat memetik sebuah pelajaran yang penting: Apabila kita terpaku dan menyerahkan diri pada kenyataan inderawi yang nampak pada kita seperti ini, maka kita akan dikuasai oleh panca indera kita yang fana ini, dan menjadi pesimis untuk memacu diri melejitkan pernyataan potensi kita. Untuk mengatasi hal ini, kita mesti menyadari kenaifan persepsi kita. Di samping itu, kita jangan mencampuradukkan kodrat dengan persepsi. Perempuan dapat melahirkan anak, sedangkan laki-laki tidak. Ini merupakan contoh kodrat. Sekeras dan secepat apapun lengan kita dikepakkan, kita tidak akan pernah dapat terbang. Ini merupakan contoh kodrat yang lain lagi. Namun bahwa perempuan tidak mampu melebihi laki-laki dalam hal karier; ini merupakan contoh persepsi. Bahwa kita dapat menciptakan pesawat terbang sebagai sarana kita untuk melintasi langit; sesungguhnya berawal dari persepsi dan imajinasi. Banyak keyakinan akan keterbatasan kita sesungguhnya adalah bentukan persepsi kita yang perlu kita rekonstruksi ulang.

Kita juga perlu untuk kembali lagi meninjau realita kita. Sebagai manusia, kita dibekali dengan kemampuan melampaui (mentransendensikan) diri, misalnya melalui imajinasi. Contoh sederhana: Badan kita saat ini di sini, namun pikiran kita bisa berada di Eropa (baca: menembus batas-batas badan kita saat ini). Hal ini menunjukkan apa? Bahwa pada dasarnya, break the limit adalah sebuah tindakan yang dekat dan melekat sekali dengan hakikat manusia. Dengan perkataan lain, kita adalah makhluk yang ‘sudah dari sana’-nya memiliki kapasitas untuk break the limit. Sadarkah kita?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline