Lihat ke Halaman Asli

Juneman Abraham

Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

Di Mana Kita di Hari Kesehatan Jiwa Sedunia?

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413612437466175432

Organisasi kesehatan sedunia, WHO, mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai keadaan sejahtera dimana individu menyadari potensinya, mampu menanggulangi tekanan hidup normal, bekerja secara produktif, serta mampu memberikan sumbangsih bagi komunitasnya. Kesehatan jiwa memiliki dimensi fisik, mental, sosial, dan bukan semata-mata tidak dideritanya penyakit.

[caption id="attachment_329777" align="aligncenter" width="545" caption="World Mental Health Day"][/caption]

Banyak wilayah kesehatan jiwa sesungguhnya bukan wilayah netral dan objektif, melainkan sebuah abstraksi yang sarat akan pertarungan makna. Definisi sosial dan politik akan menentukan, misalnya, apakah homoseksualitas merupakan gangguan jiwa, dan bagaimana memperlakukan kaumnya. Dalam pengalaman gangguan jiwa pun, konteks sosial-budaya berperan. Konteks dapat mempengaruhi sebagian orang yang terganggu jiwanya merasakan dunia yang kian menyempit. Gangguan yang mereka alami menjadi batas-batas bahkan mengerutkan diri mereka. Konteks sosial menjadi sumber distres. Namun bagi sebagian yang lain, ketika berinteraksi dengan konteks, gangguan menjadi ajang dimulainya penemuan-ulang diri dan penyulut lilin yang menerangi dunia sesama yang kelam.

Masih soal definisi, psikolog Kenneth Pargament (2013) menyampaikan bahwa dimensi spiritual mendesak untuk diintegrasikan dalam definisi dan layanan kesehatan jiwa. Spiritualitas memberikan pandangan dunia yang keramat, horizon yang dalam dan kekal, serta kebenaran yang paripurna bagi klien/pasien, dan secara paradoksal dapat menjadi sumber pertumbuhan maupun sumber kesulitan bagi klien. Terlebih pada orang Indonesia, spiritualitas perlu memperoleh perhatian lebih. Jangan sampai terjebak dalam “psikologisasi spiritualitas”, yakni memperlakukan spiritualitas sebagai proses-proses yang melulu dijelaskan secara psikologis.

Memang ada gangguan jiwa yang memiliki basis "objektif", yakni kondisi biologis gen dan otak, seperti skizofrenia. Skizofrenia merupakan penyakit mental serius yang dicirikan dengan pemikiran yang tidak logis, tingkah laku dan pembicaraan yang kacau, delusi dan/atau halusinasi (APA, 2014; DSM V, 2014). Upaya pencegahan skizofrenia dalam kawasan mental, sosial, dan spiritual dianggap kurang bermakna. Namun, penanganan dalam kawasan-kawasan tersebut tetap menjadi penting dalam pemulihan (menunjang terapi farmasi), pencegahan kekambuhan, dan rehabilitasi (pengembalian fungsi sosial klien).

Catatannya, kita sering lupa bahwa masukan, proses, dan keluaran proses pencegahan, terapi, dan rehabilitasi gangguan jiwa sangat bergantung pada definisi yang kita gunakan.

Hidup bersama Skizofrenia

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati pada tanggal 10 bulan ini mengusung tema “Hidup Bersama Skizofrenia”. Hal ini dapat juga bermakna membekali diri kita dalam menghadapi atau mengelola kenyataan tentang sebagian atau seluruh ciri-ciri “skizofrenik” yang ada di sekitar kita dalam hidup sehari-hari.

Dua psikolog pada masa Pemilihan Umum Indonesia, misalnya, pernah menyampaikan melalui tempo.co dan metrotvnews.com bahwa calon presiden tertentu mengalami delusi, yakni keyakinan yang kuat tanpa dasar rasional. Seorang penulis (BASIS, No. 09-10, 2014) menyatakan “Skizofrenia gaya(capres X) sebenarnya tercermin secara agak konsisten dalam moda ‘intimidasi’ di berbagai orasinya.” Walau tidak diketahui persis apakah ungkapan-ungkapan di atas kiasan ataukah denotatif, namun ungkapan terakhir jelas memperkuat cara pandang yang keliru tentang skizofrenia, karena skizofrenia toh sebenarnya lebih bersifat mengancam penderitanya sendiri ketimbang orang lain.

Tiga opini itu menggambarkan kemungkinan betapa dekat kita dengan unsur-unsur skizofrenik, yang dapat langsung menerpa dan mempengaruhi kehidupan bersama kita, tetapi juga sekaligus memperlihatkan belum meratanya pemahaman yang akurat tentang skizofrenia. Tidak mengherankan jika perlakuan interpersonal, komunal, dan institusional terhadap penderitanya masih banyak yang kontraproduktif.

Hidup bersama Gangguan Jiwa juga meminta komunitas profesi terkait kesehatan jiwa mampu mengatur tingkah lakunya secara efektif, sebab apabila tidak, kehadiran profesi hanya akan menjadi variabel baru yang memperumit masalah kesehatan jiwa yang sudah ada. Permasalahan timbul apabila profesi sendiri gamang dalam mengenali dirinya sendiri. “Jiwa” jelas diurus dalam berbagai interseksi oleh berbagai profesi. Namun, kita perlu mendudukkan secara lebih tandas posisi dan peran psikolog, psikiater, perawat jiwa, rohaniwan, sosiolog, guru, pekerja sosial, antropolog, ahli perilaku organisasi, konselor, perencana kebijakan publik, dan profesi lainnya, dalam pengurusan jiwa. Setiap profesi terkait kesehatan jiwa ditantang untuk memberikan peta korespondensi yang jelas antara berbagai persoalan hidup dan profesinya. Tantangan ini perlu dijawab jika profesi ingin semakin efektif hidup bersama penderita gangguan jiwa maupun dengan mereka yang rentan mengalaminya.

Teknologi Kesehatan Jiwa

Kita perlu waspada untuk tidak lama larut dalam (re-)konstruksi identitas keilmuan dan profesi, sebab arus perubahan sosial dan teknologis semakin dasyat melanda kita, dan peran kita senantiasa dinantikan.

Psikolog Richard Lanyon sudah sejak 1971 mengemukakan tentang “teknologi kesehatan jiwa” yang berfungsi meningkatkan produktivitas manusia. Ada delapan teknologi yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam lapangan kesehatan jiwa, yang belum banyak berkembang pada masa itu, yakni (1) objektivikasi asesmen psikologis, (2) otomasi pemeriksaan psikologis, (3) otomasi klasifikasi informasi psikiatris, (4) teknologi pengambilan keputusan, (5) konseling dan terapi yang dibantu oleh mesin (machine-aided), (6) otomasi layanan pasien psikiatris, (7) teknologi modifikasi perilaku, dan (8) teknologi sistem rumah sakit dan sistem komunitas yang berhubungan dengan kesehatan jiwa.

Lanyon mengamati bahwa prestise dan rasa tenteram yang dipersepsikan oleh pelajar psikologi maupun klien ketika berinteraksi dengan psikolog (ketimbang dengan teknologi) menyumbang keengganan dan penolakan mereka untuk mendukung pengembangan perangkat teknologis psikologi. Boleh jadi, kondisi pemanfaatan teknologi untuk psikologi dan pro-kesehatan jiwa di Indonesia masa kini masih belum banyak beranjak dari kondisi Amerika tahun 1970-an, meskipun teknologi telah nyata meringsek dalam keseharian orang Indonesia saat ini.

Tantangan bagi profesi psikologi adalah merumuskan teknologi psikologi yang tepat untuk dikembangkan dalam konteks Indonesia, melakukan kajian filosofis dan keilmuan yang intensif tentang perbedaan antara teknologi fisikal dan teknologi sosial-keperilakuan, serta melakukan pemeriksaan dan evaluasi etis berkelanjutan terhadap pengembangan dan aplikasi teknologi itu.

Ternyata, masih banyak “pe-er” kita. Mari menyelesaikannya sambil merayakan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia!

Juneman Abraham

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline