Lihat ke Halaman Asli

Burhanuddin Muhtadi: Perang Bintang Menuju 2014

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: BURHANUDDIN MUHTADI

Pengajar pada FISIP UIN Jakarta dan Direktur Komunikasi Publik, Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 adalah etape krusial dalam tahapan proses demokratisasi kita. Tahun 2014 adalah grand final bagi elit-elit politik kawakan untuk bisa memperebutkan kursi singgasana orang nomor satu di republik ini.

Bagi yang sudah di atas 60-an tahun atau bahkan akan menginjak usia kepala tujuh, tahun 2014 adalah momentum atau kesempatan terakhir untuk mengadu nasib. Sementara pada saat yang sama, elite-elite muda atau yang belum pernah ikut berkompetisi politik menjadikan Pilpres 2014 sebagai sarana mengukur kekuatan elektoral mereka setelah sekian lama bersembunyi di balik bayangbayang elite tua. Pilpres 2014 memiliki nilai strategis bukan saja dilihat dari banyaknya stok calon kepemimpinan nasional baik dari kubu tua maupun muda, tapi juga signifikansinya terlihat dari keharusan ada regenerasi kepemimpinan nasional.

Praktis tidak ada petahana yang maju lagi setelah Susilo Bambang Yudhoyono tidak boleh maju lagi menurut konstitusi. Peluang Wapres Boediono maju juga terhitung kecil karena beliau bukan berasal dari kalangan partai politik serta tak terlihat intensi atau niat untuk berlaga pada 2014. Dengan demikian, peluang bagi bakal calon presiden lebih terbuka karena 2014 adalah pasar bebas bukan hanya bagi capres, melainkan juga bagi pemilih. Tidak ada calon presiden dominan seperti yang kita alami pada Pilpres 2009.

Seorang Prabowo Subianto yang menurut banyak survei relatif memiliki peluang lebih besar sekalipun tetap masih mungkin disalip calon yang lain karena keunggulannya tidak mencapai 20% dengan memakai simulasi semi terbuka, serta elektabilitas Prabowo secara top of mind tidak pernah lebih dari 8%.Hal inilah yang menjadikan ajang kontestasi menuju 2014 akan diwarnai kejutan.

Perang Jenderal

Di antara kejutan yang sudah terlihat adalah munculnya nama-nama baru maupun lama dari kalangan jenderal berbintang. Misalnya, Prabowo Subianto yang maju melalui Gerindra, Wiranto melalui Hanura, Sutiyoso dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Djoko Suyanto dan Pramono Edhie yang disebut- sebut maju melalui Demokrat, dan nama terakhir yang menggebrak dunia politik kita: Endriartono Sutarto.

Dia mengejutkan jagat politik melalui kiprah barunya di Partai NasDem dan disebut-sebut bakal melenggang maju dalam pilpres 2014. Jenderal bukanlah golden ticket menuju 2014. Seorang capres berbintang tidak serta merta melenggang dengan mulus dalam pilpres nanti. Medan pertarungan dalam memperebutkan hati rakyat tentu berbeda dengan pengalaman mereka di medan tempur. Penguasaan teritorial dan kemampuan strategi yang mereka punya harus dikombinasikan dengan pemahaman komprehensif mengenai perilaku pemilih yang kompleks.

Kekuatan figur seorang capres berlatar belakang militer lebih menentukan. Inilah yang menyebabkan mengapa hanya Susilo Bambang Yudhoyono yang unggul dalam pilpres 2004 dan 2009 meski saat itu ada Wiranto, Agum Gumelar, dan Prabowo, baik yang maju sebagai capres maupun cawapres. Dalam pemilihan langsung, jenderal bintang empat maupun jabatan yang lebih tinggi bisa dikalahkan oleh jenderal yang berbintang dua atau tiga. Bahkan bisa juga dikalahkan oleh elite sipil yang tidak pernah berpengalaman di medan perang sekalipun. Rumusnya adalah 3D, dikenal (popularitas), disukai (likeability), dan dipilih (elektabilitas).

Dari segi popularitas, Prabowo dan Wiranto memiliki keunggulan komparatif ketimbang capres militer yang lain karena keduanya sudah pernah berkompetisi dan memiliki investasi politik lebih lama. Namun, popularitas yang lebih tinggi bukanlah garansi satu-satunya. Justru popularitas yang tinggi ini bisa menjadi pisau bermata dua jika dibangun di atas fondasi efisiensi kedikenalan yang lemah. Tingkat kedikenalan yang tinggi tanpa kualitas popularitas yang baik bisa dikalahkan capres yang memiliki popularitas yang efisien.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline