Lihat ke Halaman Asli

3 Idiots dan Cermin Pendidikan Tinggi di India

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pernah mendengar atau barangkali sudah menonton film berjudul 3 Idiots? Mungkin bagi sebagian besar, sudah menonton, ya, karena film itu sudah diputar di awal tahun 2010. Sepintas, film itu berkisah tentang suka duka menjadi mahasiswa di sebuah institut teknologi di India, namun sebenarnya film itu merupakan kritik terhadap pola pendidikan yang berlaku di banyak kampus di India. Lebih jauh dari itu, film 3 Idiots juga merupakan sebuah film kritik sosial terhadap hal-hal yang terjadi di masyarakat, termasuk standar ganda bangsa India dalam memandang hubungannya dengan hidup yang mereka jalani dan Tuhan yang mereka yakini, eksagerasi lulusan teknik di India di bandingkan lulusan program studi lainnya, serta pragmatisme di masyarakat yang cenderung melihat pendidikan tinggi jalur eksakta sebagai investasi orangtua, disamping meningkatkan prestige keluarga, dan bagi keluarga ekonomi rendah juga menjadi jalan pintas keluar dari kemiskinan.

Sayang, meskipun film ini berhasil menuai apresiasi dan kritik dari berbagai pengamat dan kritikus film di dalam negerinya sendiri, namun film ini kalah pamor di luar negeri dibandingkan film My Name is Khan, yang juga dilaunching di masa yang kurang lebih bersamaan. Padahal, kalau saya harus memberi nilai, saya akan beri nilai 90 untuk film 3 Idiots dan 70 untuk film My Name is Khan.

Saya sendiri, entah sudah berapa kali saya menonton 3 Idiots tanpa pernah merasa jemu. Setiap kali menonton film itu saya seperti disodori kembali fragmen perjalanan saya di India. Seperti yang digambarkan di film, saya juga merasakan stres yang sama menjelang pengumuman nilai ujian. Saya juga sempat merasakan malu yang teramat sangat ketika nama saya berada di list 5 terbawah dari daftar nilai ujian yang terpampang di papan pengumuman di kampus.

O ya, di India, nilai biasanya dituliskan dalam format huruf A, A-, B, B-, C, C-, D, dan F yang setara dengan nilai 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, dan 0. Tidak ada besaran nilai yang setara dengan nilai 10 karena nilai 10 adalah nilai sempurna, dan nilai sempurna adalah milik dosen! Dengan model pemberian nilai seperti ini, bisa dibayangkan betapa sulitnya mendapatkan sekadar nilai 7 di India. Jadi, jangan pernah coba-coba bandingkan pemberian nilai di India dengan di Indonesia karena, sebagus apa pun kampus di Indonesia, nilai masih bisa dikatrol dengan gratifikasi ataupun sebab-sebab khusus lainnya yang melegalisasi preferential treatment (ini impresi pribadi, pembaca boleh tidak setuju kok :).

3 Idiots juga menyinggung tentang tekanan yang dialami mahasiswa hingga terdorong melakukan bunuh diri. Percayalah, ini bukan sekadar upaya menjual klimaks dalam film, karena angka bunuh diri di kampus-kampus di India terbilang tinggi bahkan, menurut harian The Guardian (2011), jumlah kasus bunuh diri di kampus-kampus di Mumbai jauh lebih tinggi dibandingkan kasus di Boston, Amerika Serikat. Jika penonton jeli, adegan bunuh diri di film 3 Idiots bukan semata-mata disebabkan kegagalan mendapatkan nilai baik, melainkan terpaksa menelan rasa malu akibat diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang dialaminya di kampus. Syukur alhamdulillah, selama studi di India, tidak ada kejadian tragis yang terjadi, tapi bukan berarti tidak ada diskriminasi juga, karena pada dasarnya humiliation adalah bagian dari kenyataan sehari-hari di India.

Jika merujuk ulasan berita dari berbagai media mainstream di India seperti The Hindu ataupun Times of India, tingginya tekanan akibat ujian dan sulitnya mendapat nilai tinggi (baca: pelitnya dosen memberi nilai layak kepada mahasiswa) disinyalir menjadi penyebab utama tingginya angka bunuh diri di antara mahasiswa/i di India. Namun, menurut berbagai riset mengenai sebab-sebab bunuh diri di India, ada faktor lain yang juga berpengaruh seperti tekanan dari orang tua agar anaknya berprestasi, mendapatkan nilai tinggi, atau membuat pilihan karir yang tidak sesuai kemampuan atau minat pribadi sang anak. Faktor tambahan ini sempat terungkap juga dalam film 3 Idiots, namun hasil riset juga memperlihatkan adanya faktor lain seperti peer pressure, yakni ketika seseorang merasa inferior dibandingkan performa teman-teman di kelompoknya, dan love affairs seperti penolakan oleh orang yang disukainya, hubungan yang tidak direstui oleh masing-masing keluarga, ataupun pre marital relationship di mana perempuan selalu menjadi korbannya.

Kembali ke masalah humiliation. Tidak banyak riset yang membahas tentang turut andilnya faktor ini dalam mendorong terjadinya bunuh diri, tapi sejauh pengamatan saya, inilah sebenarnya underlying driver dari motif bunuh diri. Sekalipun humiliation berasal dari sikap diskriminasi atau pelecehan yang dilakukan oleh oknum, namun karena isu yang dihembuskan tidak jauh dari masalah identitas, seperti kasta, agama, atau gender, day-to-day humiliation di India pada hakikatnya bersifat struktural atau berakar di masyarakat.

Bayangkan saja. Keluarga outcaste (luar kasta) hampir dipastikan memiliki tingkat ekonomi rendah dan ketidakmampuan untuk menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan tinggi. Begitupun dengan muslim yang secara umum mengalami ghettoisasi di dalam sistem pendidikan madrasah dan berbahasa pengantar Urdu, atau suku-suku pedalaman yang--seperti juga terjadi di Indonesia--sulit mencapai akses pendidikan layak. Saat ini, meski pemerintah telah memberikan kesempatan mahasiswa dari kelompok Scheduled Caste/SC (seperti dalit), Scheduled Tribe (seperti orang-orang suku pedalaman), dan Other Backward Class/OBC (seperti muslim) tuntuk kuliah di institut dan universitas ternama di India melalui sistem kuota, namun hal ini tidak serta-merta memutus prejudis yang telah berurat akar di masyarakat.

Sebagai ilustrasi, di dalam institusi pendidikan tinggi, berbagai pelecehan, mulai dari molestasi, pencabulan, hingga pemerkosaan terhadap mahasiswi; ataupun intimidasi dan bully terhadap mahasiswa, dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa/i berkasta tinggi tapi juga oleh aparat pendidikan. Pelecehan seksual adalah hal yang kerap dialami para mahasiswi, dan pelakunya tidak hanya dari oknum mahasiswa tapi juga oknum dosen! Secara umum, mahasiswa SC dan OBC seringkali menjadi obyek intimidasi dalam kehidupan sosialnya di dalam kampus maupun di hostel (asrama kampus). Mereka yang mencoba melawan akan mendapatkan sanksi, mulai dari pemberian nilai yang rendah, vonis tidak lulus mata kuliah, dikeluarkan dari hostel, hingga dikeluarkan dari kampus. Kasus yang terakhir ramai terkait upaya pelecehan terhadap mahasiswa SC, ST, dan OBC adalah kriminalisasi terhadap seorang mahasiswa asal Kashmir di sebuah institusi pendidikan tinggi kebahasaan dan kebudayaan di Hyderabad yang sangat prestisius dan  yang berakhir dengan bunuh diri sang mahasiswa (informasi ini saya peroleh dari artikel berjudul The Criminalization of SC/ST/OBC Students in EFLU oleh Forum Against Caste Discrimination in Education di Round Table of India, tertanggal 18 Mei 2013).

Mereka yang menjadi korban biasanya terpojok di antara dua pilihan: antara membela kehormatan diri dan mencegah ditanggungnya rasa malu oleh pihak keluarga di kampung halaman. Banyak dari mahasiswa/i ini yang mencoba menerima perlakuan diskriminatif itu seraya menahan beban mental selama bertahun-tahun. Tapi banyak pula di antara mereka yang tak tahan hingga mengalami depresi dan berakhir dengan bunuh diri.

Jika media mainstream tak mampu mengungkap faktor-faktor di atas, sebuah media alternatif bersuara vokal bernama Kafila telah berulang kali mengangkat isu ini ke permukaan. Satu di antara artikel yang menurut saya paling ekstensif adalah tulisan Subhash Gatade berjudul "Dronacharyas All" bertanggal 15 Oktober 2012 (jika ingin membaca, sila cek link-nya di http://kafila.org/2012/10/15/dronacharyas-all-2/). Di dalam artikel itu Subhash menjelaskan bagaimana institusi pendidikan tinggi secara sistematis justru menjadi aparatur kekerasan sosial dan budaya yang telah melembaga. Alih-alih membebaskan, pendidikan justru menjadi sarana legitimasi sosial dan budaya yang bersifat prejudis dan diskriminatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline