Dalam dunia politik, istilah "dinasti politik" sering kali menimbulkan perdebatan dan kontroversi. Dinasti politik adalah serangkaian strategi manusia pada dominasi keluarga atau garis keturunan tertentu dalam posisi politik yang signifikan, seperti kepala negara, perdana menteri, gubernur, atau posisi penting lainnya. Dinasti politik bukanlah hal baru. Sejak zaman kerajaan dan kekaisaran, kekuasaan sering kali diwariskan dalam lingkup keluarga. Di Eropa, misalnya, dinasti Habsburg dan Tudor memiliki pengaruh besar dalam politik dan pemerintahan. Di Asia, dinasti Qing di Tiongkok dan Mughal di India, hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan dapat dikelola secara turun-temurun.
Dinasti politik adalah fenomena kompleks yang dapat memberikan stabilitas politik tetapi juga menimbulkan tantangan etis dan demokratis. Dinasti politik mengundang pertanyaan tentang etika dan keadilan dalam demokrasi, serta kebutuhan akan reformasi politik untuk memastikan proses politik yang lebih inklusif dan transparan. Keterlibatan keluarga dalam politik sering kali memperkuat kekuasaan oligarki, dimana hanya segelintir elit yang mengendalikan keputusan politik. Hal ini dapat menghambat partisipasi politik yang lebih luas dan merusak demokrasi. Dinasti politik sering kali dilihat sebagai bentuk oligarki atau dominasi yang tidak sehat atas kekuasaan politik, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokratis yang mengadvokasi representasi yang adil.
Di negeri demokrasi ini banyak serangkaian praktik dinasti politik yang di lakukan tokoh politik yang berpengaruh. Mungkin kalian sudah tidak asing dengan isu-isu saat ini yaitu "Dinasti Jokowi". Awal mula lahirnya Dinasti Jokowi di akhir masa jabatannya sebagai presiden republik Indonesia. Jokowi melakukan manuver yang luar biasa untuk serangkaian praktik tersebut. Alih-alih mengakhiri jabatanya dengan tenang dan kembali menjadi rakyat biasa.
Namun diakhir jabatannya justru jokowi merancangkan rencana jangka panjang untuk membuatnya tetap berperan signifikan dalam lingkaran kekuasaan. Majunya putra sulung pada pemilihan presiden 2024 dengan mempolitisasi Mahkamah Konstitusi melalui saudara ipar yang merupakan ketua MK yaitu Anwar Usman. Dan dikabarkan juga putra bungsu dari bapak jokowi pun akan mencalonkan sebagai calon wakil Gubernur DKI Jakarta. Apakah salah apabila mereka mencalonkan diri?
Saya tidak menyalahkan mereka yang berusaha untuk mencalonkan diri, karena itu adalah "human rights" semua orang memiliki hak dalam mengambil peran untuk keberlangsungan bangsa ini. Namun yang saya sayangkan adalah proses yang di lancangkan dengan mengubah hukum agar selaras dengan rencana politik. Seperti yang terjadi saat ini bahwasannya ketua umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana mengajukan gugatan terhadap ketua KPU dan hanya membutuhkan 3 hari saja gugatan tersebut di kabulkan oleh Mahkamah Agung.
Disini saya kritik dari "Legal reasoning" atau penalaran hukumnya, Mahkamah Agung itu secara konstitusional tugasnya adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan kalau untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar itu tugas nya Mahkamah Konstitusi. Dengan Mahkamah Agung mengacu pada yang seharusnya di pertimbangkan acuan utamanya adalah undang-undang dasar 1945 ini sudah keluar dari tugas kosntitusionalnya.
"Itu bikin kacau putusan Mahkamah Agung, karena setiap putusan Mahkamah Agung itu mengikat sehingga KPU tak bisa mengelak untuk mengubah UU Pilkada, secara kewenangan ini salah. Oleh sebab itu, ini bukan hanya cacat etik, cacat moral tapi juga cacat hukum." ucap Mahfud dikutip perbincangan "Terus terang Mahfud MD" pada (05/06/2024).
Selanjutnya dari nilai kepastian hukumnya, Saat sebelum putusan ini keluar itu ada kepastiaan hukumnya karena pada tanggal 22 September 2024 menjadi hari penetapan calon kepada daerah di Indonesia, dan setiap calon kepala daerah harus berusia genap 30 tahun tapi ketika perintah ini keluar kepastian hukum ini menjadi buyar, karena syarat tersebut ditetapkan berdasarkan pada saat dia di lantik sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Peraturan KPU tidak berpikir jauh kedepan sampai proses pelantikan jadi hal ini terlihat tidak pasti dan tidak wajar.
"Sekarang kan ada mas kaesang nih, diubah aturannya tapi sekarang mas kaesang di pasangkan dengan pak anis apakah bapak akan bersuara?" ucap wartawan bertanya kepada pak Anis. " begini peraturan itu tidak untuk di ubah ubah peraturan itu di jalani, peraturan itu ditaati itu prinsip yang disebut sebagai aturan main itu tidak diubah-ubah dalam perjalanan, anda main catur di tengah-tengah main catur aturannya diubah repot ya" ujar pak Anis dalam menjawab pertanyaan wartawan dikutip di FB Kompas.com.
Karpet merah untuk keluarga dapat diartikan bahwasanya proses dalam suatu kompetisi yang dilakukan dengan keterlibatan tangan-tangan lain yang bertujuan untuk membantu dalam melancangkan kemenangan dalam kompetisi tersebut. Peristiwa ini sangat terlihat jelas saat ini dengan melegalkan sesuatu yang seharusnya tidak di ubah atas berdasarkan kepentingan pribadi. Semua hal akan mereka tabrak untuk melancangkan semua rencananya, tak peduli dengan demokrasi. Dengan adanya karpet merah untuk keluarga membuat potensi orang lain terpendam dengan ketidakadaan power yang membantunya. Apakah itu keadaan negara demokrasi? Tentu saja tidak.
Saya tidak menutup mata bahwa secara tidak langsung dinasti politik telah mendarah daging di negeri ini, jangan jadikan ini menjadi budaya yang lumrah atau "Asian Value". Kita bisa melihat sebagian besar partai-partai melakukan politik dinasti, di lingkup kecil saja seperti keluarga yang menginginkan anak nya mengikuti jejak ayahnya. Dan berkaca dengan asas demokrasi bahwa setiap warga negara memiliki hak dalam menentukan jalannya, dengan itu saya tidak menyalahkan budaya tersebut. Namun, gunakan proses yang sesuai dengan asas demokrasi yaitu keadilan