Lihat ke Halaman Asli

Jundi Abdulloh

karyawan swasta

Kebohongan Bahasa Politik

Diperbarui: 5 Januari 2024   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pribadi

Anies Baswedan bukan orang yang paling suci, Prabowo bukan orang yang paling militan, Ganjar bukan orang yang paling merakyat. 

Politik merupakan suatu sistem atau mekanisme untuk meraih kekuasaan. Sebuah negara dibangun atas dasar pemikiran atau ideologi. Bahkan nilai yang dianut negara itu sendiri dapat menjadi sebuah ideologi. 

Sebuah negara dapat berdiri dengan satu ideologi atau bahkan lebih, sehingga melahirkan sebuah konklusi yang baru. Indonesia memiliki sejarah yang panjang tentang ideologi bangsa. Karena Indonesia lahir karena berbagai faktor. Pada kondisi faktor internalnya, Indonesia terdiri dari suku, ras dan budaya yang beragam. Pada faktor eksternal, tidak lepas dari pengaruh berbagai pemikiran dan ideologi yang tengah berkembang dan gencar di dunia internasional, melalui tokoh-tokoh nasional Indonesia saat itu.

Ideologi juga membawa kepentingan yang dilandaskan atas dasar pemikiran yang berbeda-beda. Sehingga ketika antar ideologi bertemu dalam sebuah sistem negara, mereka akan membawa dan memperjuangkan pemikiran dan kepentingan masing-masing.

Begitu juga yang direpresentasikan oleh partai politik, serta pasangan calon presiden dan calon wakil presiden atau pemimpin negara. Dibalik sosok capres dan cawapres, terdapat partai dan koalisi yang memiliki pemikiran atau ideologi dan juga kepentingan yang ingin diperjuangkan untuk di menangkan. 

Maka dari itu, menjadi sesuatu yang sangat menakutkan ketika terjadi fenomena masyarakat akar rumput yang membela mati-matian pasangan capres dan cawapres tertentu, serta menjatuhkan pasangan yang lainnya. Bahkan menyebabkan perpecahan masyarakat, atau lebih parahnya, dapat mengakibatkan perceraian pasangan suami-istri hanya dikarenakan perbedaan pilihan capres-cawapres.

Hal tersebut juga tak terlepas dari jahatnya media massa dalam memberikan framing yang bertujuan untuk menggiring opini publik. Entah dalam membangun citra yang positif bagi pasangan yang di dukung ataupun untuk menjatuhkan lawan politiknya. Terlebih, saat ini penggunaan buzzer yang begitu marak menimbulkan perdebatan yang tidak sehat di masyarakat, yang mengakibatkan perpecahan. Sehingga tidak mengherankan ketika netizen Indonesia mendapatkan predikat sebagai netizen yang paling tidak ramah di dunia. Hal ini justru berbanding terbalik dengan sikap masyarakat Indonesia yang terkenal ramah di kehidupan sosial. 

Calon presiden dan wakil presiden beserta koalisinya sedang bertarung untuk meraih kekuasaan. Sehingga ketika mereka menguasai sistem, maka mereka akan menjalankan dan merealisasikan rencana dan tujuan serta kepentingan mereka. 

Menjadi hal yang mengerikan ketika masyarakat membela dengan mati-matian pasangan capres dan cawapres tertentu seolah-olah jika bukan pilihan mereka yang berhasil menjadi presiden dan wakil presiden maka Indonesia akan hancur. Juga sebaliknya, mereka akan menjatuhkan se jatuh-jatuhnya pasangan serta koalisi lainnya, jika mereka yang menjadi presiden dan wakil presiden maka Indonesia akan hancur. Tanpa berfikir serta kemampuan riset dengan sederhana, masyarakat yang sebenarnya tidak tahu menahu mendukung mati-matian orang-orang yang sedang berebut kekuasaan. Jadi, tak perlu untuk membela mati-matian dan berlebihan.

Karena bahasa politik adalah bahasa yang penuh dengan kepalsuan, kebohongan, tipu daya. Yang baik dapat menjadi buruk, yang buruk dapat menjadi baik. Semua itu dilakukan hanya untuk sebuah kekuasaan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline